Banyumas Pesantren-Shahih Bukhari: Kitab Tershahih Kedua Setelah Al-Quran

Setelah Al-Quran, hadits nabi adalah panduan kedua umat Islam dalam menjalani kehidupannya. Dan di antara kitab-kitab hadits yang jumlahnya puluhan, Shahih Bukhari lah yang keakuratannya paling terpercaya.

Dalam khazanah hukum Islam, kitab-kitab hadits mempunyai kedudukan yang sangat penting, sebagai sumber kedua hukum Islam setelah Al-Quran. Dalam ranah keilmuan hadits, dikenal istilah kutubus sittah yang berarti enam kitab induk kumpulan hadits nabi yang diakui sebagai rujukan.

Kemudian, berdasarkan kuantitas hadits-hadits shahihnya, keenam kitab tersebut dibagi menjadi dua kelompok : kitab shahih, yang jumlah hadits tidak shahihnya (yakni hadits hasan dan dhaif) secara proporsional sangat sedikit sekali, dan kitab sunan, yang jumlah proporsi hadits tidak shahihnya lebih besar dari pada kitab shahih.

Yang termasuk kitab shahih adalah Shahih Bukhari karya Al-Imam Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah Al-Bukhari dan Shahih Muslim karya Al-Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi. Sedangkan yang termasuk kitab-kitab sunan adalah Sunan Abu Dawud karya Al-Imam Abu Dawud Sulaiman bin Al-Asy’ats As-Sijistany, Sunan Turmudzi karya Al-Imam Abu Isa Muhammad bin Isa bin Surah At Turmudzi, Sunan An-Nasa-i karya Al-Imam Ahmad bin Syu’aib An-Nasa’i Al-Khurasany, dan Sunan Ibnu Majah karya Abu Abdullah Muhammad bin Yazid bin Abdullah bin Majah Al-Quzwaini.

Selain itu, ada juga kitab-kitab hadits berperingkat di bawah kutubus sittah. Sebut saja kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik, yang berisi ribuan hadits, dan Al-Musnad karya Imam Ahmad bin Hanbal, yang juga berisi ratusan ribu hadits.

Selain kutubus sittah, ulama hadits juga memberikan beberapa sebutan lain kepada kitab-kitab kumpulan hadits tersebut. Ada yang disebut kutubus sab’ah, yang berarti kitab tujuh, yang berisi kutubus sittah plus Musnad Ahmad. Belakangan juga ada istilah kutubut tis’ah, atau kitab sembilan, yang ditujukan kepada kutubus sab’ah plus Al-Muwaththa’ dan Sunan Ad-Darimi.

Terkait dengan status hadits-hadits dalam kutubus sittah, ternyata sebagian sudah diberi status hukum (shahih, hasan dan dhaif) dan sebagian lagi belum. Yang sudah mendapat status hukum adalah dua kitab induk, yaitu Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Paling tidak, hadits-hadits itu telah dishahihkan oleh kedua penulisnya, yang integritasnya sudah sangat diakui oleh dunia ulama hadits. Di bawah dua kitab shahih di muka, Sunan Abu Daud menurut para ahli hadits juga dinyatakan banyak mengandung hadits-hadits yang shahih.

Menangkal Musibah
Di bawahnya lagi ada Sunan At-Tirmidzi atau At-Turmudizi, yang oleh penyusunnya, Al-Imam At-Tirmizy, juga telah diberi status hukum. Maka jika kita membaca hadits yang diriwayatkan Imam At-Tirmidzi, biasanya ada tambahan kalimat wa shahhahu At-Tirmizi, yang artinya, At-Tirmidzi telah menshahihkannya, atau kalimat wa qalat Tirmidzi hasanun shahih, artinya At-Tirmizi mengatakan hadits ini berstatus hasan shahih. Sedangkan dua kitab sisanya, yaitu Sunan An-Nasa’i dan Sunan Ibnu Majah, belum diberi status oleh penyusunnya.

Pada edisi kali ini kita akan mengupas tentang kitab terpenting dari kutubus sittah, yakni Shahih Bukhari.

Shahih Bukhari adalah karya terbesar dan terpenting di bidang hadits. Sejak dulu banyak ulama yang meyakini, jika kitab Shahih Bukhari dibaca secara berjamaah akan mucul fadhilahnya, seperti untuk menangkal musibah dan memulihkan keamanan suatu daerah. Tak hanya itu, Imam Sya’rani pernah mengajarkan, menyebut nama Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari juga bisa menjadi wasilah untuk meminta turunnya rahmat Allah.

Nama asli Imam Bukhari adalah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah Al-Ju’fi Al-Bukhari. Kun-yah (julukan penghormatan)-nya Abu Abdullah. Sedangkan nama Bukhari dinisbatkan kepada desa tempat kelahiran beliau, Bukhara.

Imam Bukhari lahir pada hari Jum’at 13 Syawal 194 H (810 M), di Bukhara, Uzbekistan. Ayahnya, meski tak sepopuler anaknya, juga dikenal sebagai ulama ahli hadits yang pernah berguru kepada beberapa tabi’in dan tabiut tabi’in, seperti Imam Malik bin Anas, dan Imam Abdullah bin Al-Mubarak.

Imam Bukhari sendiri tak pernah belajar langsung kepada sang ayah, karena Syaikh Ismail telah wafat saat usia Imam Bukhari baru 5 tahun. Meski begitu, buku-buku peninggalan sang ayah dan pendidikan dari ibu serta saudara yang lain, telah mencetak Imam Bukhari sebagai pecinta ilmu sejati.

Ketika usianya menginjak 10 tahun, Imam Muhammad Al-Bukhari yang mempunyai kecerdasan dan daya ingat yang diatas rata-rata, mulai belajar dan menghafal hadits. Merasa tak cukup dengan sekedar berguru di desanya, ia pun mulai mendatangi tokoh-tokoh ahli hadits di sekitar desanya.

Ketika berusia 16 tahun, nama Muhammad bin Ismail Al-Bukhari mulai dikenal di kalangan muhaditsin sebagai pemuda yang cerdas yang telah hafal Al-Qur’an dan beberapa kitab hadits yang ditulis Imam Abdullah bin Al-Mubarak dan Imam Waki’ (guru Imam Syafi’i), ahli hadits pada masanya.

Tahun 210 H (menurut riwayat lain 216 H), Muhammad Al-Bukhari diajak menunaikan ibadah haji olej ibunya. Betapa gembiranya hati pemuda yang sejak dulu bercita-cita ingin berkelana mencari para ulama ahli hadits itu. Kali ini ia akan mendapatkan kesempatan kepada ulama yang tinggal sepanjang jalur hajinya.

Dan seperti yang telah diduga sebelumnya, ketika ibunya dan Ahmad, saudaranya, kembali ke Bukhara, Muhammad memilih untuk tinggal di Mekkah. Di tanah suci ia berguru kepada ulama ahli hadits pada masa itu, seperti Al-Walid, Al-Azraqi, dan Ismail bin Salim. Ia juga ia mengunjungi kota Madinah, untuk menemui para anak cucu sahabat Nabi SAW dan mendengarkan hadits dari mereka.

Selama setahun bermukim di Madinah, Imam Bukhari yang bar berusia 18 tahun menulis dua buku yang berjudul Qadhaya Ash-Shahabah wa At-Tabi’in dan At-Tariikh Al-Kabiir. Kedua buku tersebut merupakan karya pertama dari penulis yang cukup produktif itu.

Kitab Fenomenal
Setelah dirasa cukup, Imam Muhammad Al-Bukhari pun meninggalkan Mekkah dan Madinah, untuk memulai pengembaraan panjangnya menemui para ulama hadits di berbagai pelosok daerah. Ia tercatat sebagai orang pertama melakukan perjalanan terpanjang dalam mencari hadits.

Selama kurun 16 tahun, ia menjelajahi Syam, Baghdad, Washit, Basrah, Kufah, Mesir, Maru, Asqalan, Rei, Maisabur, Himsha, Khurasan dan masih banyak lagi daerah lainnya. Lebih dari seribu ahli hadits sempat ditemuinya, dan sekaligus menjadi guru dan perawi hadits yang dihimpunnya.

Selama pengembaraannya, Muhammad Al-Bukhari juga sempat menulis beberapa buku tentang hadits. Di antaranya Al-Adab Al-Mufrad, Ra’fu Al-Yadain fii As-Shalah, Birru Al-Walidain, At-Taariikh Al-Ausat, Ad-Dhuafa’, Al-Asyribah, dan Al-Hibah. Namun dari sekian banyak karyanya tersebut, Al-Jami’ush Shahih atau Shahih Bukhari lah yang mengabadikan nama Imam Muhammad Al-Bukhari dalam khazanah keilmuan Islam.

Setelah mengembara selama 16 tahun, konon Imam Bukhari berhasil menghimpun sekitar 600.000 hadits, yang diperolehnya dari puluhan negeri dan ribuan guru. Setelah diadakan penyeleksian, menurut perhitungan Ibnu Shalah dan Imam Nawawi, terjaring 7.275 hadits yang dianggap shahih. Jumlah itu termasuk pengulangan hadits dalam beberapa bab berbeda. Sedangkan bila tanpa pengulangan, tercatat sekitar 4.000 hadits.

Lain lagi menurut perhitungan Al-Imam Al-Hafidz. Jumlah hadits shahih dalam kitab karya Al-Bukhari adalah sebanyak 7.397 hadits dengan pengulangan. Sedang bila tanpa pengulangan sebanyak 2.602 hadits.

Kitab Shahih Bukhari memang sangat fenomenal. Hingga saat ini kini lebih dari 100 kitab syarah (penjelasan) Shahih Bukhari telah disusun oleh para ulama. Yang paling terkenal diantaranya adalah : Fathu Al-Baari yang disusun Imam Syihabuddin Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Hajar Al-‘Asqalani (wafat tahun 853 H), Irsyadu As-Saari disusun Imam Ahmad bin Muhammad Al-Mishri Al-Qashthalani (wafat tahun 923 H), ‘Umdatu Al-Qaari karya Al-‘Aini (wafat 855 H) dan At-Tawsyih karya Jalaluddin As-Suyuthi.

Dan diantara semua kitab syarah Shahih Bukhari yang pernah dibuat, Fathu Al-Baari dianggap sebagai yang paling bagus, hingga digelari “Penghulu Syarah Bukhari”. Selain syarah, ada juga beberapa kitab yang men-ta’liq (memberi komentar/penjelasan pada bagian-bagian tertentu).
Ada juga ulama yang meringkas kitab tersebut, yang lazim disebut mukhtashar (ringkasan), seperti : At-Tajridu As-Shahih disusun Al-Husain bin Al- Mubarak (wafat tahun 631 H), dan At-Tajridu As-Shahih, oleh Ahmad bin Ahmad bin Abdul Latif Asy-Syiraji Az-Zabidi (wafat 983 H).

Seabad setelah Shahih Bukhari tersusun, beberapa ulama hadits, seperti Al-Imam Ad-Daraqutni (wafat 385 H), dan Abu Ali Al-Ghassani (wafat 365 H), mengkritik kitab tersebut. Menurut mereka di antara ribuan hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari, terdapat juga seratusan hadits yang dhaif. Tiga abad kemudian muncul lagi ulama ahli hadits yang membela dan membantah semua kritikan ulama sebelumnya. Bahkan Ibnu Shalah (wafat 643 H) mangatakan bahwa kitab Shahih Bukhari adalah afshah al-kutub ba’da Al-Qur’an (kitab yang paling shahih/otentik setelah Al- Qur’an).

Membohongi Kuda
Pendapat ini juga didukung oleh ulama setelahnya, seperti Imam Nawawi (wafat 852 H), dan Ibnu Hajar Al-Asqalani (wafat 852 H), yang akhirnya menjadi kesepakatan jumhur ulama Ahlus Sunnah. Imam Nawawi mengatakan, “Kritikan Ad-Daraqutni dan yang lainnya itu hanyalah berdasarkan kritikan-kritikan yang ditetapkan sejumlah ahli hadits, yang justru dinilai lemah sekali jika ditinjau dari ilmu hadits.”

Di luar kajian kualitas hadits secara ilmiah, kisah penyusunan kitab hadits karya Imam Al-Bukhari sendiri memang sangat menarik dan menggetarkan. Dalam sebuah riwayat diceritakan, Imam Bukhari berkata, “Kutulis kitab ini dari 1.080 orang yang semuanya ahli hadits dan semuanya mengatakan bahwa iman itu adalah kata dan perbuatan yang dapat bertambah dan berkurang. Setiap kali aku hendak menuliskan sebuah hadits dalam kitab Shahih, sebelum memegang pena, aku selalu mandi dan sholat 2 rakaat terlebih dahulu, sebagai perwujudan rasa syukur kehadirat ilahi.”

Para sahabat Nabi SAW memang sangat berhati-hati dalam meriwayatkan hadits. Begitu juga para ulama periwayat hadits sesudahnya. Imam Bukhari, misalnya, pernah menempuh jarak ratusan mil untuk menemui seorang perawi hadits. Saat tiba di lokasi, ternyata si perawi sedang sibuk mengejar seekor kudanya.

Imam Bukhari melihat orang itu mendekati kudanya sambil membawa sebuah ember seolah ingin memberi makan, padahal ember itu kosong. Melihat pemandangan ini, Imam Bukhari membatalkan niatnya untuk mengambil hadits dari orang itu. Sang imam beranggapan, bila terhadap binatang saja ia berlaku tidak jujur, dia juga bisa berbohong dalam meriwayatkan hadits.

Ada juga kisah unik tentang penyusunan kitab Shahih Bukhari. Suatu malam Imam Bukhari bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW yang seolah-olah tengah berdiri dihadapannya. Sang Imam lalu menanyakan makna mimpi itu kepada ahli mimpi.

Ahli mimpi itu menjawab, Al-Bukhari akan menghancurkan dan mengikis habis kebohongan yang disertakan orang dalam sejumlah hadits Rasulullah SAW. “Mimpi inilah, yang antara lain mendorong saya untuk menulis kitab Al-Jami’us Shahih,” tutur Imam Bukhari.

Kehati-hatian Imam Bukhari dalam menyusun kitab Shahihnya juga dikisahkan Al-Firbari, salah seorang muridnya. Ia mendengar Imam Bukhari berkata, “Saya menyusun Al-Jami’ush Shahih ini di Masjidil Haram, Makkah. Dan saya tidak mencantumkan sebuah hadits pun tanpa shalat dua rakaat terlebih dahulu untuk memohon pertolongan kepada Allah, dan sesudah meyakini betul bahwa hadits itu benar-benar shahih.”

Dalam sejarah memang diceritakan bahwa Imam Bukhari menyusun dasar pemikiran dan bab-babnya secara sistematis di Masjidil Haram. Setelah itu ia menulis mukaddimah dan pokok pokok bahasannya di Raudhah, sebuah tempat antara makam Rasulullah dan mimbar di Masjid Nabawi di Madinah.

Setelah itu barulah ia mengumpulkan sejumlah hadis dan menempatkannya dalam bab-bab yang sesuai. Dengan bersungguh-sungguh ia meneliti dan menyelidiki kredibilitas para perawi sehingga benar-benar memperoleh kepastian akan kesahihan hadits yang diriwayatkannya.
Ia juga selalu membandingkan hadits satu dengan yang lainnya, memilih dan menyaring, mana yang menurut pertimbangannya secara nalar paling sahih. “Saya tidak memuat sebuah hadits pun dalam kitab ini kecuali hadits-hadits shahih,” katanya suatu ketika.

Imam Bukhari yang setiap bulan Ramadhan mengkhatamkan Al-Quran tiga hari sekali, itu wafat pada malam 1 Syawal 256 H (870 M), di Khartanak, Samarqand. Di akhir hayatnya is berucap, “Aku ingin menghadap Allah dalam keadaan bebas dari segala tuntutan. Karena itu aku tidak pernah membicarakan kejelekan orang lain.”

Ahmad iftah Sidik, Santri Asal tangerang

Similar Posts

One Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *