Banyumas Pesantren-Tafsir Baidhawi:Karya Besar Sang Hakim Agung

Kitab Tafsir ini disusun oleh seorang ahli fiqih dan hakim agung terkemuka. Gagasannya cemerlang dan isinya padat, demikian kata ulama generasi sesudahnya.

Sekali lagi, sebuah Tafsir Al-Quran ditulis oleh seorang ahli hadits dan fiqih kenamaan abad pertengahan. Hebatnya, karya sang imam tersebut begitu menarik perhatian mufassir-mufassir generasi sesudahnya untuk menuliskan hasyiyah (komentar)-nya. Tercatat dalam sejarah, tak kurang dari sebelas kitab hasyiyah telah ditulis para ulama besar sekaliber Jalaluddin As-Suyuthi, Ibnu Tamjid, Al-Khatib Al-Kazaruni, Al-Kirmani dan lain-lain.

Itulah kitab Anwar At-Tanzil wa Asrar At-Ta’wil karya Al-Imam Abul Khair Nashiruddin Abdullah bin Umar bin Muhammad bin Ali Al-Baidhawi, yang lebih populer dengan sebutan Tafsir Baidhawi. Bersama kitab Al-Minhaj fil Wushul ila ‘Ilmi Al-Ushul (bidang ushul fiqih) dan Ath-Thawali’ (bidang ilmu kalam), kitab tafsir adalah salah satu dari tiga masterpiece Imam Al-Baidhawi.

Selain di Timur Tengah, Tafsir Baidhawi juga telah sejak lama dikenal di Indonesia melalui terjemahan ulama besar Aceh, Syaikh Abdul Rauf Singkel, yang diberi judul Turjuman Al-Mustafid. Melalui para santri yang belajar di negeri Serambi Makkah dan jaringan murid Thariqah Syathariyyah yang disebarkan sang syaikh, kitab itu lalu menyebar ke seluruh nusantara.

Karena disusun oleh ahli fiqih dan hadits, tak mengherankan jika Tafsir Baidhawi sangat kaya dengan penjelasan hadits dan uraian fiqih. Ulasan-ulasan Imam Baidhawi tentang kandungan hukum suatu ayat cukup luas dan mendalam.

Imam Abdullah Al-Baidhawi lahir di kota Baidha, Shiraz, Persia. Tahun kelahirannya hingga kini tak banyak diketahui. Ayahnya hakim agung di kota Fars, kini berada di Iran bagian barat daya. Setelah menuntut ilmu dari ayahnya, Al-Baidhawi kemudian belajar kepada ulama besar masa itu di berbagai kota besar yang menjadi pusat peradaban Islam saat itu.

Kegigihannya dalam belajar belakangan terbukti dengan penguasaannya yang mendalam di berbagai cabang keilmuan Islam. Ya, di usia yang masih relatif muda Imam Al-Baidhawi telah dikenal sebagai seorang mutakallim (theolog) besar pembela paham Asy’ariyyah, ahli ushul fiqih madzhab Syafi’i, serta mufassir dan muhaddits kenamaan.

Kepercayaan ulama dan umara lain atas kredibilitas keilmuan dan kejujuran Al-Baidhawi juga tampak dari pengangkatan sang imam menjadi qadhi (hakim agung) di kota Shiraz. Yang menarik, meski telah menduduki jabatan keulamaan tertinggi di kotanya ia tetap dikenal sebagai figur yang sangat santun, rendah hati dan rajin beribadah. As-Subki, ulama besar generasi sesudahnya, mengatakan, “Al-Baidhawi adalah seorang imam yang bepikiran cemerlang, berperangai shalih dan ahli ibadah.”

Mendalam Tapi Rumit
Kedalaman ilmunya juga tampak dari karya-karya tulisnya yang sangat berbobot yang sebagian besar masih bisa dijumpai saat ini. Selain tiga masterpiece-nya yang telah disebutkan di muka, Al-Baidhawi juga menulis Al-Ghayah Al-Quswa (Sasaran Terakhir) dan At-Tadzkirah (Peringatan) di bidang fiqih, Al-Mishbah (pelita) di bidang ilmu kalam, serta Syarh Mashabih As-Sunnah (komentar atas kitab Pelita Sunnah) dan Mukhtashar Al-Kafiyyah (ringkasan yang memadai) di bidang ilmu hadits.

Meski menjadi masterpiece, kitab Al-Minhaj fil Wushul dianggap sebagian besar ulama sebagai kitab yang sangat sulit dipahami. Namun demikian tak kurang pula banyaknya ulama generasi sesudahnya yang berusaha membuat syarah (penjelasan) atas karya tersebut. Salah satunya yang dianggap paling baik adalah Nihayah As-Sul Syarh Al-Minhajul Wushul yang disusun oleh Imam Al-Asnawi.

Pendapat Imam Baidhawi dalam bidang secara umum hampir sama dengan ulama madzhab Syafi’i pada umumnya. Hanya dalam beberapa hal tertentu ia berbeda pendapat dengan mayoritas ulama syafi’iyyah. Misalnya dalam pengertian sabilillah sebagai salah satu golongan yang berhak menerima zakat.

Pandangan umum madzhab Syafi’i mengkhususkan sabilillah hanya kepada tentara yang secara sukarela berperang di jalan Allah tanpa mendapat gaji dari negara. Sedangkan Imam Baidhawi memasukkan juga segala macam amal kebajikan yang bermanfaat bagi kemaslahatan umum seperti pembangunan masjid, jembatan atau jalan raya ke dalam kelompok Sabilillah, sehingga juga berhak menerima bagian dari harta zakat. Masih banyak lagi fatwa-fatwa khas Al-Baidhawi yang meski sekilas tampak berbeda, namun sesungguhnya justru mengedepankan aspek kemaslahatan umum.

Setelah hidup bergelimang dengan kebajikan terhadap sesama sebagai hakim, di masa tuanya Al-Baidhawi hijrah ke kota Tabriz dan menghabiskan sisa usianya di sana sebagai guru dan penulis kitab. Ulama berbeda pendapat mengenai tahun wafat sang imam. Tajudin As-Subki dan Al-Asnawi (keduanya ulama madzhab Syafi’i) berpendapat bahwa sang imam wafat pada tahun 691 H/1291 M. Sedangkan As-Suyuthi dan Ibnu Katsir berpendapat sang Imam wafat pada tahun 685 H/1286M.

Ahmad Iftah Sidik, Santri Kalong dari Tangerang

Similar Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *