Renungan Santri- Bayangkan apabila Rasulullah SAW dengan seizin Allah tiba – tiba mengetuk pintu rumah kita, Beliau datang dengan wajah tersenyum dan muka bersih di muka pintu rumah kita. Apa yang akan kita lakukan? Mestinya kita akan sangat berbahagia, memeluk erat beliau erat-erat dan mempersilahkan beliau masuk rumah kita.
Kemudian kita tentunya akan meminta dengan sangat agar beliau sudi untuk menginap beberapa hari di rumah kita. Beliau tentu tersenyum. Tapi barangkali kita meminta kepada Rasulullah SAW menunggu sebentar di depan pintu, karena kita teringat VCD +18 yang ada di ruangan kita, dan kita tergesa-gesa memindahkan dahulu video tesebut ke dalam. Beliau tentu tersenyum atau barangkali kita teringat lukisan wanita setengah telanjang yang kita pajang di ruang tamu kita, sehingga kita terpaksa memindahkan kebelakang dengan tergesa-gesa. Barangkali kita akan memindahkan lafadz Allah dan Muhammad yang ada di ruangan samping untuk kita letakan di ruang tamu.
Beliau tentu tersenyum. Bagaimana bila kemudian beliau bersedia untuk menginap dirumah kita ? Barangkali kita teringat anak kita lebih hafal lagu barat dari pada menghafal shalawat kepada Rasulullah SAW. Barangkali kita menjadi malu bahwa anak-anak dan istri tidak mengetahui sedikitpun tentang sejarah Rasulullah SAW. kita lupa dan lalai mengajari mereka. Beliau tentu tersenyum.Barangkali kita menjadi malu bahwa anak kita tidak mengetahui satupun nama keluarga Rasulullah SAW dan sahabat-sahabatnya. Tapi lebih hafal di luar kepala mengenai anggota avatar atau kura-kura ninja atau D’Masiv. Barangkali kita menyulap satu kamar menjadi ruangan untuk shalat. Barangkali kita teringat wanita dirumah kita tidak memiliki koleksi pakaian yang patut untuk berhadapan dengan Rasulullah SAW. Beliau tentu tersenyum. Belum lagi koleksi buku-buku kita dan anak-anak kita. Belum lagi koleksi kaset kita dan anak-anak kita. Belum lagi koleksi karaoke kita dan anak-anak kita. Kemana kita harus menyingkirkan semua koleksi tersebut demi menghormati junjungan kita ?
Barangkali kita menjadi malu diketahui Rasulullah bahwa kita tidak pernah ke masjid meskipun suara adzan begitu jelas dalam pendengaran kita. Beliau tentu tetap tersenyum. Barangkali kita menjadi malu pada saat maghrib bahwa keluarga kita menjadi sibuk dengan TV, barangkali kita menjadi malu karena menghabiskan hampir seluruh waktu kita untuk mencari kesenangan duniawi. Barangkali kita menjadi malu karena keluarga kita tidak pernah menjalankan sholat sunnah, barangkali kita menjadi malu karena keluarga kita jarang membaca Al-Qur’an. Barangkali kita menjadi malu karena kita tidak mengenal tetangga-tetangga kita. Beliau tentu tetap tersenyum.
Barangkali kita menjadi malu jika Rasulullah menanyakan kepada kita siapa nama tukang sampah yang setiap hari mengambil sampah kita. Barangkali kita menjadi malu jika Rasulullah bertanya kepada kita tentang nama dan alamat tukang penjaga masjid dekat rumah kita. Betapa senyum beliau masih ada disitu.
Bayangkan apabila Rasulullah tiba-tiba muncul di depan pintu rumah kita. Apa yang akan kita lakukan? Masikah kita memeluk beliau dan mempersilahkan beliau masuk dan menginap dirumah kita ? Ataukah dengan berat hati kita akan menolak beliau berkunjung ke rumah kita karena hal itu membuat kita repot dan malu ?
Maafkan kami Ya Rasulullah. Masihkah beliau tersenyum? Senyum pilu, senyum sedih, dan senyum getir. Oh… betapa memalukannya kehidupan kita saat ini dimata Rasulullah. Kita sangat mengharapkan syafaat beliau pada saat kita luntang-lantung di padang maskhyar kelak, padahal kita jarang sekali menyebut namanya, kondisi kehidupan kita sangat jauh dari yang dicontohkan Rasulullah.
Rekan-rekan sekalian, tanpa kehadiran Rasulullah pun dirumah kita, yakinilah bahwa segala kehidupan kita berada dalam tatapan oleh Allah SWT, tidak ada yang luput dari tatapannya. Semoga bermanfaat dan selalu mengingatkan kita.