Banyumas Pesantren-Madzhab Maliki: Madzhabnya Pecinta Hadits Rasulullah SAW
Madzhab ini dibangun diatas pondasi utama Al-Quran, sunnah Nabi, dan kemasalahatan umat.
Madzhab fiqih kedua yang mewarnai khazanah peradaban Islam adalah Madzhab Maliki, yang didirikan oleh ulama ahli hadits kenamaan, Abu Abdullah Malik bin Anas Al-Asbahi. Meski dalam sejarah pernah tercatat sebagai madzhab resmi pemerintah Islam di Makkah, Madinah, Irak, Mesir, Aljazair, Tunisia, Andalusia (kini Spanyol), Marokko, dan Sudan, hanya tinggal Kerajaan Marokko saja yang saat ini masih menerapkan Madzhab Maliki sebagai madzhab resmi negara. Sementara di negara lain, jumlah pengikut mazhab Maliki kini semakin menyusut.
Selain fatwa-fatwa Imam Malik, madzhab ini juga merujuk kepada kitab-kitab fiqih terkenal seperti Al-Mudawwanah Al-Kubra, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid (karya Ibnu Rusyd), Matan Ar-Risalah fi Al-Fiqh Al-Maliki (karya Abu Muhammad Abdullah bin Zaid), Ashl Al-Madarik Syarh Irsyad Al-Masalik fi Fiqh Al-Imam Malik (karya Syaikh Shihabuddin Al-Baghdadi), dan Bulghah As-Salik li Aqrab Al-Masalik (karya Syaikh Ahmad As-Shawi).
Ciri khasMadzhab Maliki, selain sangat konsisten memegang teguh hadits, juga amat mengedepankan aspek kemaslahatan. Secara berurutan, sumber hukum yang dikembangkan dalam Madzhab Maliki adalah Al-Qur’an, Sunnah Rasulullah SAW, ucapan dan amalan sahabat Nabi SAW, tradisi masyarakat Madinah (amal ahlil Madinah), qiyas (analogi), al-maslahah al-mursalah (kemaslahatan yang tidak didukung atau dilarang oleh dalil tertentu), istihsan (mengutamakan kenedak maslahah daripada kehendak qiyas), dan saddud dzara’i (melarang suatu perbuatan yang pada dasarnya mubah karena diperkirakan akan memunculkan hal negatif di belakangnya).
Yang paling menarik dari sumber-sumber Madzhab Maliki adalah amal penduduk Madinah, maslahah mursalah dan saddudz dzara’i. Amal ahli Madinah, misalnya, dianggap penting oleh Imam Malik karena di kota inilah Rasulullah menghabiskan belasan tahun terakhir hidupnya. Amaliah Rasulullah secara langsung direkam oleh penduduk Madinah pada masa itu, lalu ditularkan secara turun temurun kepada generasi sesudahnya.
Dengan keistimewaan itu, menurut Imam Malik, amaliah penduduk Madinah pada masa itu setara dengan hadits yang berperingkat mutawatir. Karena itu pula, setiap kali menemukan hadits ahad, hadits yang peringkatnya di bawah mutawatir, yang bertentangan dengan amaliah penduduk Madinah, Imam Malik lebih memilih mengikuti amaliah ahlul Madinah.
Main Kartu
Sedangkan maslahah mursalah, adalah menghukumi sesuatu yang belum ada dalil-nya dengan mempertimbangkan kemaslahatannya. Kemaslahatan yang dimaksud adalah kemaslahatan yang menjadi tujuan pokok syariat, yakni memelihara agama, nyawa, akal, kehormatan, keturunan dan harta. Selain itu kemaslahatan yang dimaksud juga harus sesuai dengan akal sehat dan dapat menghilangkan kesempitan yang jika tidak dihukumi kemungkinan besar akan menghadang manusia.
Salah satu contoh maslahah mursalah adalah fatwa Imam Malik yang membolehkan penguasa menyita barang palsu dari tangan pemalsunya untuk kemudian disedekahkan kepada fakir miskin. Merampas paksa barang yang secara sah dimiliki orang lain pada dasarnya dilarang, namun demi kemaslahatan bersama hal itu boleh dilakukan oleh penguasa. Sebab jika tidak, pemalsuan akan merajalela dan merugikan pembuat barang aslinya.
Sementara syaddudz dzara’i, yang juga sering dgunakan Imam Malik, contohnya barang yang sudah dipasangi label maka tidak boleh dijual dengan harga yang lebih tinggi atau lebih rendah, karena akan membuat peluang munculnya penipuan. Contoh lain, permainan kartu yang tidak diikuti dengan taruhan pada dasarnya berhukum mubah, namun oleh Imam Malik diharamkan karena permainan ini sangat potensial memunculkan perjudian.
Masih banyak lagi contoh fatwa-fatwa madzhab Maliki yang terus dikembangkan oleh ulama generasi berikutnya. Seperti Abu Muhammad Abdullah bin Wahab bin Muslim, Abu Abdillah Abdur Rahman bin Qasim Al-Utaqy, Asyhab bin Abdul Aziz Al-Qaisi, Abu Muhammad Abdullah bin Abdul Hakam, Asbagh bin Farj Al-Umawi, Muhammad bin Abdullah bin Abdul Hakam, dan Muhammad bin Ibrahim bin Ziyad As-Sakandari di Mesir.
Adapun ulama-ulama yang mengembangkan mazhab Maliki di Afrika dan Andalus ialah Abu Abdillah Ziyad bin Abdur Rahman Al-Qurthubi, Isa bin Dinar Al-Andalusi, Yahya bin Yahya bin Katsir Al-Laitsi, Abdul Malik bin Habib bin Sulaiman As-Sulami, Abdul Hasan Ali bin Ziyad At-Tunisi, Asad bin Furat, Abdus Salam bin Said At-Tanukhi.
Sedang fuqaha Malikiyah yang terkenal sesudah generasi tersebut di atas adalah antara lain Abdul Walid Al-Baji, Abdul Hasan Al-Lakhami, Ibnu Rusyd Al-Kabir, Ibnu Rusyd Al Hafiz, Ibnu ‘Arabi, dan Ibnul Qasim bin Jizzi.
Imam Malik yang lahir di Madinah pada tahun 93 H/712 M itu bernama lengkap Abu Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin Haris bin Gaiman bin Kutail bin Amr bin Haris Al-Ashbahi.
Orang tuanya berasal dari keluarga Arab terhormat dan berstatus sosial tinggi sejak sebelum datangnya Islam. Sementara leluhurnya berasal dari Yaman yang hijrah ke Madinah saat masuk Islam. Kakeknya, Abu Amir, adalah anggota keluarga pertama yang memeluk agama Islam pada tahun 2 H. Saat itu, Madinah adalah kota ‘ilmu’ yang sangat terkenal.
Orang tua dan leluhurnya dikenal sebagai ulama hadits di Madinah. Karenanya, sejak kecil Imam Malik tak berniat meninggalkan Madinah untuk mencari ilmu. Ia merasa Madinah adalah kota dengan sumber ilmu yang berlimpah lewat kehadiran ulama-ulama besarnya.
Menjual Tiang Rumah
Tradisi keilmuan yang melekat dalam dirinya juga membuat Imam Malik sejak kecil sangat mencintai ilmua dan rela mengorbankan apa saja untuk mendapatkannya. Dalam sebuah riwayat dikisahkan, imam Malik rela menjual salah satu tiang rumahnya untuk membayar biaya pendidikannya.
Karena keluarganya ulama ahli hadits, maka Imam Malik pun menekuni pelajaran hadits kepada ayah dan paman-pamannya. Kendati demikian, ia pernah berguru pada ulama-ulama terkenal lainnya. Yang menjadi guru pertamanya ialah Abdur Rahman bin Hurmuz, lalu Nafi’ Maula Ibnu Umar dan Ibnu Syihab Az Zuhri. Sedangkan yang menjadi gurunya dalam bidang fiqh ialah Rabi’ah bin Abdur Rahman. Ia juga belajar kepada Abul Zinad, Hasyim bin Urwa, Yahya bin Said al Anshari, Muhammad bin Munkadir dan Imam Jafar Ash-Shadiq.
Dalam usia muda, Imam Malik telah menguasai banyak ilmu. Kecintaannya kepada ilmu menjadikan hampir seluruh hidupnya diabdikan dalam dunia pendidikan. Tidak kurang empat khalifah, mulai dari Al Mansur, Al-Mahdi, Harun Ar-Rasyid, dan Al-Ma’mun, pernah jadi muridnya. Imam Syafi’i yang kelak mendirikan madzhab Syafi’i pun pernah menimba ilmu dari Imam Malik. Masih banyak lagi nama-nama tokoh yang pernah menjadi muridnya. Bahkan menurut sebuah riwayat, murid terkenal Imam Malik mencapai 1.300 orang.
Ciri pengajaran Imam Malik adalah disiplin, ketentraman, dan rasa hormat murid kepada gurunya. Prinsip ini dijunjung tinggi olehnya sehingga tak segan-segan ia menegur keras murid-muridnya yang melanggar prinsip tersebut. Pernah suatu kali Khalifah Mansur membahas sebuah hadits dengan nada agak keras. Sang imam marah dan berkata, ”Jangan berteriak bila sedang membahas hadits Nabi.”
Imam Malik memeng terkenal sangat memuliakan hadits Nabi. Setiap kali ada orang yang ingin meminta fatwa atau penjelasan kepada beliau selalu ditanya, “Engkau akan bertanya masalah hadits atau bukan?”
Jika yang akan ditanyakan tidak berkaitan dengan hadits, Imam Malim langsung menjawabnya. Namun jika berkaitan dewngan hadits Nabi SAW, sang imam terlebih dulu mandi, lalu berganti pakaian yang lebih baik dan memakai wewangian, baru kemudian menjawabnya.
Ketegasan sikap Imam Malik bukan sekali saja. Berulangkali, manakala dihadapkan pada keinginan penguasa yang tak sejalan dengan aqidah Islamiyah, Imam Malik menentang tanpa takut risiko yang dihadapinya. Salah satunya dengan Ja’far, gubernur Madinah.
Suatu ketika, gubernur yang masih keponakan Khalifah Abbasiyah, Al Mansur, meminta seluruh penduduk Madinah melakukan bai’at (janji setia) kepada khalifah. Namun, Imam Malik yang saat itu baru berusia 25 tahun merasa tak mungkin penduduk Madinah melakukan bai’at kepada khalifah yang mereka tak sukai.
Ia pun mengingatkan gubernur tentang tak berlakunya bai’at tanpa keikhlasan seperti tidak sahnya perceraian paksa. Ja’far meminta Imam Malik tak menyebarluaskan pandangannya tersebut, tapi ditolaknya. Gubernur Ja’far merasa terhina sekali.
Ia pun memerintahkan pengawalnya menghukum dera Imam Malik sebanyak 70 kali. Dalam kondisi berlumuran darah, sang imam diarak keliling Madinah dengan untanya. Dengan hal itu, Ja’far seakan mengingatkan orang banyak, ulama yang mereka hormati tak dapat menghalangi kehendak sang penguasa.
Karena Dipaksa
Ketika kabar penyiksaan Imam Malik itu sampai ke telinga Khalifah Al-Manshur, sang Khalifah murka lalu mengirim utusan untuk menghukum keponakannya dan memerintahkan untuk meminta maaf kepada sang imam. Dan untuk menebus kesalahan itu, khalifah meminta Imam Malik bermukim di ibukota Baghdad dan menjadi salah seorang penasihatnya. Tak hanya itu khalifah juga mengirimkan uang 3.000 dinar untuk keperluan perjalanan sang imam.
Namun, undangan itu pun ditolaknya. Imam Malik yang sangat mencintai Rasulullah lebih suka tidak meninggalkan kota Madinah. Bahkan hingga akhir hayatnya, ia tak pernah pergi keluar Madinah kecuali untuk berhaji.
Dalam lain riwayat dikisahkan, dalam sebuah kunjungan ke kota Madinah, Khalifah Bani Abbasiyyah, Harun Al-Rasyid (penguasa saat itu), tertarik mengikuti pengajian kitab Al-Muwaththa’ yang diadakan Imam Malik. Khalifah pun mengutus seseorang memanggil Imam. Namun sang imam merasa keberatan
“Khalifah,” jawab Imam Malik melalui utusannya, “leluhur Anda selalu melindungi pelajaran hadits. Mereka amat menghormatinya. Bila sebagai khalifah Anda tidak menghormatinya, tak seorang pun akan menaruh hormat lagi. Manusialah yang seharusnya mendatangi ilmu, bukan ilmu yang mendatangi manusia.”
Sedianya, khalifah ingin jamaah meninggalkan ruangan tempat ceramah itu diadakan. Namun, permintaan itu tak dikabulkan Malik. ”Saya tidak dapat mengorbankan kepentingan umum hanya untuk kepentingan seorang pribadi.” Sang khalifah pun akhirnya mengikuti ceramah bersama dua putranya dan duduk berdampingan dengan rakyat kecil.
Ulama besar itu wafat pada tahun wafat tahun 179 H/796 M, dalam usia 86 tahun. Imam Malik meninggalkan 3 orang putera dan seorang puteri, serta sebuah madzhab fiqih yang terus berkembang mengikuti perputaran zaman.
Membicarakan Imam Malik tentu tidak lengkap tanpa mengulas kitab Al-Muwaththa’, sebuah kitab fikih berdasarkan himpunan hadits-hadits pilihan. Karya terbesar Imam Malik ini dinilai memiliki banyak keistimwaan. Ia disusun berdasarkan klasifikasi fikih dengan memperinci kaidah fikih yang diambil dari hadits dan fatwa sahabat.
Menurut beberapa riwayat, sesungguhnya Al Muwaththa’ tak akan lahir bila Imam Malik tidak ‘dipaksa’ Khalifah Al-Mansur. Setelah permintaannya agar Imam Malik hijrah ke Baghdad ditolak, Khalifah Al-Mansur meminta Imam Malik mengumpulkan hadits dan membukukannya. Awalnya, Imam Malik enggan melakukan itu.
Baru setelah didesak dengan alasan kemaslahatan, sang Imam bersedia menulis. Lahirlah kitab Al-Muwaththa’ yang mulai ditulis pada masa Al-Mansur (754-775 M) dan baru selesai di masa pemerintahan Al-Mahdi (775-785 M).
Semula, kitab ini memuat 10 ribu hadits. Namun, lewat penelitian ulang, Imam Malik hanya memasukkan 1.720 hadits. Kitab ini telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa dengan 16 edisi yang berlainan. Selain Al Muwaththa’, Imam Malik juga menyusun kitab Al-Mudawwanah Al-Kubra, yang berisi fatwa-fatwa dan jawaban Imam Malik atas berbagai persoalan.
Oleh: Ahmad Iftah Sidik, (Santri Asal Tangerang).