Banyumas PesantrenPendidikan Lahir Batin

Kiai Umar (almarhum, semoga Allah merahmatinya) memanggil lurah pondok—sebutan khas bagi seorang ketua pengurus pondok pesantren. Dengan serta merta sang Lurah Pondok datang ke rumah Sang Kiai. Kepadanya Kiai Umar meminta untuk dicatatkan nama-nama santri yang selama ini dianggap nakal, sering melanggar aturan pesantren, sekaligus di ranking dari yang paling nakal.

Mendapat perintah demikian Sang Lurah senang. Ia berpikir betapa santri-santri nakal itu bakal kena batunya. Mereka akan ditangani langsung oleh Kiai. Bila sudah demikian, mestilah para santri mbeling akan diberi ta’zir yang cukup berat, bisa jadi sampai dikeluarkan.

Tak lama kemudian lurah itu kembali menghadap. Di tangannya tergenggam selembar kertas berisi catatan para santri nakal. Diberikannya catatan itu pada Sang Kiai, lalu undur diri.

Satu dua hari, satu dua minggu, hingga satu bulan telah lewat. Lurah pondok itu resah. Mengapa belum ada tanda-tanda Kiai Umar memanggil para santri yang kemarin masuk dalam daftar itu. Apalagi pemberian ta’zir. Ia bertanya-tanya, apa maksud sebenarnya Kiai meminta daftar itu.

Meski pakewuh, akhirnya lurah pondok itu memberanikan diri menanyakan langsung pada Kiai. Mendapat pertanyaan dari lurah pondok perihal santri nakal itu, Kiai Umar tersenyum. Jangan salah sangka, katanya. Ia jelaskan bahwa tujuan permintaan daftar santri nakal itu bukan untuk memberikan ta’zir atau hukuman seperti yang diduga, namun untuk agar dengan mengetahui nama-namnya Kiai Umar bisa mendoakannya secara khusus setiap usai salat malam. Bila santri yang lain didoakan dan dimintakan kebaikan kepada Allah secara umum, maka santri-santri nakal itu akan didoakan Kiai Umar secara khusus dengan disebutkan namanya satu per satu di hadapan Allah.
Lurah pondok itu terperangah. Ia malu dengan dugaannya yang keliru. Sekaligus ia kagum, betapa Sang Kiai mendidik para santrinya sepenuh hati. Kiai itu tidak hanya sekedar mendidik para santrinya dengan teori-teori di kelas, menilai hasil pembelajaran santri secara hitam di atas putih, lalu selesai. Tidak.

Setelah keluar dari kelas masih ada pendidikan yang mesti dilakukan oleh Kiai selaku “orang tua” bagi para santri sebagai “anak-anaknya”. Pendidikan yang dilakukan bukan di hadapan anak didik, tapi di hadapan Allah. Kiai Umar memerlukan bangun malam untuk memohon petunjuk dari Yang Maha Alim, Yang Maha Mengetahui. Agar anak didiknya dibuka pintu hatinya. Agar ilmu yang diberikan setiap hari di bangku sekolah menjadi ilmu yang bermanfaat, yang diamalkan sesuai kehendak-Nya. Agar mereka tidak saja menjadi anak pandai, tapi juga anak yang saleh. Juga agar kesalehan mereka tersempurnakan dengan pengetahuan yang baik. Berapa banyak orang yang pandai, namun kepandaiannya digunakan untuk membodohi orang lain karena tak memiliki kesalehan. Sebaliknya, berapa banyak orang yang saleh, namun selalu dibodohi orang lain karena tak memiliki kepandaian.

Begitulah Kiai Umar. Baginya pendidikan bagi generasi penerus bukan hanya sekedar membaca dan menulis. Pendidikan terhadap anak mesti dilakukan lahir dan batin.
Saya juga teringat dengan model pendidikan lahir batin yang pernah disampaikan KH. Muhammad Sidiq (almarhum, mantan Rois ‘Am PBNU) kepada salah satu puteranya.
Satu saat beliau melihat puteranya sedang menghajar anaknya yang dinilainya kelewat nakal dan tak suka mendengar nasehat. Kepada puteranya Kiai Sidiq menanyakan mengapa hal itu sampai terjadi, seorang bapak menghajar anaknya sendiri. Sang putera menjelaskan kekesalannya pada si anak yang dianggapnya kelewat bandel, padahal ia sudah menasehatinya dan mendidiknya sekuat tenaga.

Kiai Sidiq tersenyum. Dalam nada tanya, kepada puteranya beliau berkata; Mendidik anak tidak cukup seperti itu. Sudahkan engkau bangun setiap malam untuk mendoakannya? Setiap usai salat, sudahkah engkau menghadiahinya bacaan Al-Fatihah agar dengannya anakmu mendapat keberkahan? Bahkan saat anakmu masih dalam kandungan, berapa kali dalam sehari engkau doakan dan bacakan Al-Fatihah bagi janinnya? Subhanallah.

Semoga anak-anak kita menjadi anak-anak yang penuh berkah, diberkahi dan memberkahi. Amiin.

Oleh: Yazid Muttaqin, S. Ag. (Penulis Buku Aku Menikah Maka Aku Kaya.)

Similar Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *