Banyumas Pesantren-Tafsir Ath-Thabari: Karya Besar Sang Ulama Multidisiplin
Satu lagi karya legendaris dari ulama besar yang juga dikenal sebagai sejarawan dan ahli fiqih. Kitab tafsir ini diakui keunggulannya oleh ulama sepanjang zaman karena keluasan ilmu dan wawasan yang ditampilkannya.
Melanjutkan telisik kita terhadap khazanah kekayaan keilmuan Islam dalam ranah tafsir Al-Quran, kali ini kita akan mengupas tentang sebuah kitab tafsir yang sangat legendaris. Kitab yang ditulis oleh ulama besar multidisiplin ilmu abad ketiga hijriah itu bertajuk Jami’ul Bayan Min Ta’wili Ayil Quran li Ta’rifi Tafsir Ath-Thabari, yang lebih akrab dengan sebutan Tafsir Ath-Thabari. Penyusunnya adalah ulama besar yang dikenal dengan nama Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari.
Karena banyak mengutip hadits Nabi dan keterangan sahabat serta tabiin, maka kitab tafsir Jami’ul Bayan dikelompokkan dalam kitab tafsir bil ma’tsur. Bahkan bisa dibilang, kitab tafsir Ath-Thabari ini adalah kitab tafsir generasi awal yang sangat komprehensif sehingga selalu menjadi rujukan ulama generasi sesudahnya.
Keluasan ilmu pengarangnya terpapar dengan jelas melalui keluasan kajian dalam mengulas ayat demi ayat berdasarkan nash-nash hadits atau keterangan sahabat dan tabi’in. Secara konsisten Imam Ath-Thabari juga menyebutkan semua sanad (jalur) periwayatan hadits-hadits tersebut secara lengkap, tanpa tambahan komentar yang menshahihkan ataupun melemahkannya.
Tak hanya itu, dalam Jami’ul Bayan, Imam Ath-Thabari juga menguraikan hukum-hukum fiqih yang terkandung dalam ayat, berdasarkan pendapat para fuqaha dan imam-imam madzhab.
Berbeda dengan sikapnya kepada hadits-hadits yang dikutipnya, Imam Ath-Thabari memberikan komentarnya terhadap pendapat para fuqaha. Ia memilih salah satu pendapat dan menguatkannya dengan dalil-dalil ilmiah serta menyebutkan ijma’ (kesepakatan) umat dalam hal tersebut. Pendapat-pendapat Ath-Thabari yang juga ahli fiqih itu hingga kini sering dikutip para ahli tafsir yang tengah menggali kandungan hukum suatu ayat.
Pengakuan atas kualitas kitab tafsir tersebut tak diragukan lagi banyaknya. Salah satunya adalah komentar Ibn Taimiyyah dalam mukaddimah kitab Ushûl at-Tafsîr-nya, “Kitab Jami’ul Bayan termasuk kitab tafsir bil ma’tsur yang paling agung dan paling besar kedudukannya.
Sebab Imam Ath-Thabarai sendiri menguasai berbagai cabang ilmu al-Qur’an seperti Qira`at (aspek-aspek bacaan), ma’ani (kajian atas kandungan makna), hukum-hukum fiqih yang diintisarikan dari ayat-ayatnya, penjelasan makna-makna ayat yang diambil dari bahasa orang Arab, dan kandungan sya’irnya.”
Ini bisa dimaklumi, karena Imam Thabari sendiri termasuk ulama Qira`at Al-Quran yang termasyhur. Kedalam ilmunya dalam bidang yang satu ini membuatnya sangat memperhatikan sisi Qirâ`ât dan makna-maknanya, membantah aspek-aspek bacaan yang Syâdz (aneh/langka), termasuk cakupannya yang dapat menyebabkan perubahan dan penggantian terhadap makna Kitabullah.
Kitab Jami’ul Bayan juga banyak memuat kajian bahasa dan tata bahasa. Kebanyakannya, ia merujuk kepada bahasa orang-orang Arab dan terkadang menguatkan sebagian pendapat. Ia juga memaparkan syair-syair Arab kuno, seraya memberikan penilaiannya dengan mengutip sebagian pendapat ahli Nahwu.
Santri Pengelana
Ibnu Jarir Ath-Thabari, yang lahir pada tahun 224 H di Amil, Tabaristan (daerah di selatan Laut Kaspia), itu mempunyai nama lengkap Abu Ja’far Muhammad bin Jarir bin Yazid ath-Thabari. Daerahnya dikenal dalam sejarah sebagai penghasil ulama besar dan menjadi salah satu pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Di masa remajanya, setelah menyelesaikan pengajian dasar mengenai Al-Quran, Fiqih dan sejarah kepada ulama di daerahnya, Ibnu Jarir Ath-Thabari lalu berkelana ke daerah-daerah Islam lain untuk mempelajari berbagai cabang ilmu pengetahuan. Tempat pertama yang dikunjunginya adalah kediaman Imam Ahmad bin Hanbal di Baghdad. Namun sayang, sang allamah pendiri madzhab Hanbali itu keburu wafat sebelum Ibnu Jarir Ath-Thabari tiba di ibukota Dinasti Abbasiyyah itu.
Mendengar kabar wafatnya Imam Ahmad bin Hanbal, Ibnu Jarir pun mengubah arah perjalanannya ke kota Kufah. Di kota bersejarah itu ia mendalami hadits dan ilmu-ilmunya. Ketajaman otak dan kekuatan hafalan Ibnu Jarir membuat guru-gurunya di kota itu terkagum-kagum.
Dari kufah ia lalu pindah ke Baghdad untuk mendalami fiqih Syafi’i, sebelum pindah lagi ke Syam dan kemudian Mesir. Di Mesir ia kembali berjumpa dengan para ulama besar madzhab Syafi’i, seperti Ar-Rabi’ bin Sulaiman dan Al-Muzanni.
Di negeri itu ia juga berjumpa dan belajar kepada ulama sejarawan besar Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah, penyusun kitab As-Sirah yang termasyhur. Dari Ibnu Khuzaimahlah Ibnu Jarir mendapatkan inspirasi untuk menyusun kitab Tarikh Al-Umam wa Al-Muluk, atau Tarikh Ath-Thabari, yang belakangan dikenal sebagai salah satu sumber sejarah Islam periode awal terlengkap. Karena dianggap sangat lengkap itu pula pada abad keempat belas kitab Tarikh Ath-Thabari diterjemahkan ke Bahasa Latin oleh para ilmuwan barat.
Pergulatan pemikirannya dengan para fuqaha madzhab Syafi’i juga menghasil sebuah karya besar di bidang ilmu fiqih, yakni kitab Ikhtilaf al-Ulama (perbedaan pendapat para ulama). Meski bercorak Syafi’i, kitab tersebut dianggap membawa warna baru dalam khazanah ilmu fiqih, sehingga ada sebagian ilmuwan yang mengatakan bahwa Imam Ath-Thabari sebenarnya juga layak dianggap sebagai pendiri madzhab tersendiri.
Setelah puas berkelana dan berkarya di Mesir Ibnu Jarir lalu kembali ke Baghdad, tempat ia mendedikasikan sisa hidupnya untuk menulis buku dan mengajar. Selain karya besarnya di bidang tafsir, tarikh (sejarah) dan fiqih, Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari yang dikenal mempunyai keahlian di banyak bidang ilmu juga telah menghasilkan karya-karya besar di bidang tauhid, paramasastra Arab, ilmu hisab dan aljabar serta ilmu kedokteran.
Keadalam ilmunya juga sempat menarik perhatian penguasa Abbasiyyah. Beberapa kali Imam Ath-Thabari diminta menjadi hakim di pengadilan kota Baghdad. Namun dengan penuh ketulusan dan kerendah hatian, semua tawaran itu ia tolak. Hingga akhir hayatnya Ath-Thabari memilih menjadi guru bagi umat dan penulis buku-buku berbobot.
Akhirnya, setelah delapan puluh enam tahun hidup bergelimang keagungan ruhaniah, pada tahun 310 H ulama besar yang lembut dan santun itu tutup usia di kota Baghdad.
Ahmad Iftah Sidik, Santri Asal Tangerang