Banyumas Pesantren-K.H.M. Hanif Muslih, Lc: Mursyid Thariqah Yang Rajin Menulis Buku

Berawal dari perdebatan dengan kawannya, ulama yang satu ini mulai menulis buku unik, yang menjadikan rujukan lawannya sebagai bahan “memukul” balik.

Buah selalu jatuh tak jauh dari pohonnya, begitulah peribahasa yang tepat disematkan kepada kiai yang satu ini. Mewarisi tradisi ayah, paman dan kakaknya, ia adalah mursyid salah satu thariqah besar. Ia juga mewarisi keterampilan dan kegemaran ayahnya menulis risalah-risalah agama yang kemudian dibukukan.

Karya-karyanya menyoroti topik-topik yang menjadi perdebatan dalam umat Islam, seperti tahlilan, tarawih, ziarah kubur dan sebagainya. Uniknya, dalam membela masalah-maalah “kontroversial” tersebut ia mengedepankan sumber-sumber yang selama ini sering dijadikan rujukan oleh kalangan yang menentangnya.

Menurutnya, kalangan yang anti terhadap ritual kaum nahdliyyin selama ini bertindak tidak adil, karena dalam mengutip pendapat para ulama salaf hanya mengambil bagian-bagian yang menguntungkannya saja. Sedangkan keterangan pendapat berikutnya yang lebih luas justru diabaikan karena menolerir pendapat yang dijadikan rujukan oleh kaum nahdliyyin.

Sukses dengan enam buku pertamanya, saat ini ia tengah menyelesaikan penulisan buku tentang tawassul. Tentu dengan mengedepankan sumber-sumber dari ulama yang sebelumnya dicap anti tawassul.

Cukup menarik sekali apa yang dilakukan oleh sanga kiai di sela-sela kesibukannya mengasuh sebuah pesantren besar, membimbing murid-murid thariqahnya dan menjadi anggota legislatif di propinsinya. Siapakah ulama yang kreatif tersebut?

Dialah K.H. Muhammad Hanif Muslih, Lc., pengasuh Pesantren Futuhiyyah Mranggen, Demak, jawa Tengah, yang juga mursyid Thariqah Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah.

Diwawancarai alKisah di rumahnya yang terletak di tengah kompleks Pesantren Futuhiyyah, kiai yang nada bicaranya lembut ini bertutur panjang lebar tentang latar belakang penulisan buku-bukunya, kiprah keulamaannya serta sekelumit perjalanan hidupnya.

Penulisan buku pertamanya yang mengangkat topik tahilan, kenang Kiai Hanif, berawal dari kunjungan seorang tamu yang tidak lain adalah kawannya semasa mengaji di Pesantren Futuhiyyah. Sang tamu yang juga pernah menjadi menantu pamannya itu bertanya, “Di Arab Saudi ada tahlilan atau tidak?”

Kiai Hanif yang alumnus Universitas Madinah itu terkejut dan mencoba membaca tujuan pertanyaan tersebut. “Sebenarnya sampeyan menanyakan tentang tahlilan, seperti yang lazim di negeri kita ini, atau tentang sampainya hadiah pahala mayyit?,” sang tuan rumah bertanya balik.

Perdebatan Tertulis
Akhirnya sang tamu mengaku, bahwa inti pertanyaannya adalah yang kedua, tentang sampaikah hadiah pahala untuk orang meninggal. Kiai Hanif pun lalu menjelaskan, bahwa tahlilan dalam arti membaca La ilaha illallah dan menghadiahkan pahalanya kepada orang meninggal juga diamalkan oleh sebagian besar golongan di Saudi.

Mendengar jawaban itu sanga tamu pun membantah dan terjadilah perdebatan sengit hingga larut malam. Belum puas dan tuntas, perdebatan berlanjut hingga beberapa malam berikutnya.
Pendengaran sang tamu yang sudah agak terganggu membuat Kiai Hanif harus bersuara keras dalam menjelaskan pendapatnya. Giliran Istri Kiai Hanif yang protes, anak mereka yang masih kecil tidak bisa tidur karena terganggu oleh suara keras mereka. Akhirnya kiai Hanif memutuskan untuk menulis penjelasannya secara panjang lebar dalam sepucuk surat.

Melalui surat menyurat, perdebatan pun kembali berlanjut dengan seru, sampai akhirnya sang tamu menyerah, dan menyudahi perdebatan itu. “Sudahlah, Kang. Sekarang kita beramal menurut keyakinan masing-masing. Yang jelas keyakinan saya ini mengacu kepada ulama anu, anu dan anu,” katanya dengan nada merendahkan.

Kiai Hanif tidak terima dengan nama-nama ulama yang dicatut sang teman sebagai narasumbernya. Dengan penasaran ia lalu melacak kitab rujukan sang lawan, memfotokopi pendapat para ulama yang disebut-sebut dan mempelajarinya dengan lebih seksama.

Hasilnya? “Ternyata kebanyakan mereka hanya mengutip ucapan para ulama hanya pada bagian yang mendukung pendapatnya saja. Sementara sisa keterangannya yang mendukung aktivitas tahlil dipotong dan dianggap tidak ada,” kata Kiai Hanif.

Belakangan hasil kajian dan penulusurannya tentang dalil-dalil tahlil dan pendapat para ulama tersebut sering dipinjam rekannya sesama kiai untuk dijadikan bahan rujukan diskusi. Karena kerap berpindah-pindah tangan dan dikhawatiran hilang, akhirnya Kiai Hanif memutuskan untuk mencetaknya dalam bentuk buku. Kebetulan ketika itu Rabithah Ma’ahidil Islamiyyah (RMI), organisasi persatuan pesantren NU, bersedia mencetaknya.

Sukses dengan buku pertama, Kiai Hanif pun mulai ketagihan mengkaji dan menulis tema-tema serupa. Ketika ada orang yang bertanya tentang hukum tarawih dua puluh rakaat, misalnya, ia pun menjawabnya dengan menulis sebuah buku. Tentu dilengkapi dengan kutipan pendapat para ulama yang dianggap menentang praktik tarawih 20 raka’at, yang tanpa potongan di sana-sini.

Sejak itu berturut-turut ia menulis beberapa buku lagi. Dan saat ini ia tengah menyelesaikan buku terahirnya yang mengupas kontroversi seputar masalah tawassul.

Dari pengalamannya menulis, Hanif menyimpulkan, “Kelemahan kita ini adalah karena sering menggampangkan segala urusan. Pokoknya kalau sudah diajarkan dan diamalkan oleh kiainya, dianggap cukup. Tanpa perlu ikut menyusuri dasar hukumnya, atau taqlid buta.”

Ditambah lagi kebanyakan kiai juga nggampangke, tambahnya. Kalau mengutip kitab cukup dengan mengambil pendapat ulamanya, tanpa menukilkan dasar Al-Quran dan haditsnya.
“Makanya dalam forum bahtsul masail saya selalu mengusulkan untuk mencantumkan juga dasar hukum dari Al-Quran dan haditsnya. Biar anak-anak kita nggak mudah tergoda oleh kelompok yang menganggap kita sesat dengan dalih pendapat kita lemah karena hanya berdasarkan keterangan ahli fiqih. Sementara pendapat mereka lebih kuat karena langsung mengambil dari Al-Quran dan hadits. Padahal, kitab fiqih adalah penjabaran dari hukum Al-Quran dan hadits,” kata Kiai Hanif bersemangat.

Dicekoki Paham Wahhabi
Berbincang-bincang dengan Kiai Hanif Muslih memang sangat menyenangkan. Wawasannya yang luas ditopang dengan pengetahuan agamanya yang dalam.

K.H. Muhammad Hanif lahir di Mranggen pada bulan Desember 1955 sebagai anak keempat dari sebelas bersaudara putra pasangan K.H. Muslih Abdurrahman dan Nyai Hj. Marfu’ah. Ayahnya adalah ulama besar pada era 1950an hingga wafatnya pada tahun 1981. Mbah Muslih juga pernah menduduki posisi rais ‘am di Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah (Jatman), organisasinya para pengamal thariqah di tanah air.

Meski anak ulama pengasuh pesantren, oleh orang tuanya pendidikan dasar agama Hanif kecil lebih banyak diserahkan kepada para pengajar madrasah di lingkungan pesantrennya. Hanya setiap bulan Ramadhan, Hanif mengikuti pengajian kitab yang diasuh langsung oleh sang ayah di masjid Pesantren Futuhiyyah.

Kelas duduk di kelas tiga Madrasah Aliyah, Hanif diajak kakak iparnya, Kiai Muhammad Ridwan untuk menunaikan ibadah haji, dengan menumpang kapal laut. Tepat ketika usai menuntaskan seluruh rangkaian ibadah haji, Hanif menerima surat dari sang ayah yang memerintahkannya untuk tetap tinggal dan menuntut ilmu di Tanah Suci. Namun karena waktu masa penerimaan murid baru baru saja usai, terpaksa Hanif harus menunggu tahun ajaran baru berikutnya.

Selama hampir setahun itu ia menghabiskan waktu dengan bekerja sebagai sekretaris seorang syaikh yang memiliki usaha pengelolaan haji di siang hari. Di rumah sang syaikh itu pula Hannif tinggal bersama beberapa kawan Indonesianya. Dan malam harinya, usai shlat maghrib, ia mengikuti pengajian Tafsir Ibnu Katsir di Babussalam, Masjidil Haram yang diasuh oleh Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki.

Tahun 1976 Hanif mendaftarkan diri di Universitas Madinah dengan ijazah Madrasah Aliyah Futuhiyyah yang dikirimkan ayahnya. Namun sayangnya, almamaternya waktu itu belum mu’adalah (disetarakan) di Saudi. Karena itu ia harus mengulang sekolah lagi selama setahun di kelas tiga Madrasah Aliyyah Madinah. Baru pada tahun berikutnya, 1977, ia bisa masuk Universitas Madinah.

Bersamaan dengan Hanif ada lima alumnus Pesantren Futuhiyyah lain yang diterima di Universitas Madinah. Kebetulan kelimanya juga berasal dari daerah Mranggen. Mereka pun lalu bersepakat akan mengambil jurusan yang berbeda-beda, agar saat kembali ke tanah air nanti akan bersama-sama memperkaya pesantren almamater dengan keilmuan yang beragam.

“Ternyata, setelah pulang ke tanah air, semua teman-teman saya diambil menantu oleh para kiai dari berbagai daerah. Tinggal saya saja yang masih tinggal di Mranggen,” kenang Kiai Hanif sambil terkekeh..

Dalam rembugan itu, Hanif sendiri kebagian tugas mengambil jurusan Bahasa Arab, yang terus digelutinya hingga meraih gelar Lc.

Banyak hal berkesan yang dialami Kiai Hanif ketika belajar di negeri yang dikuasai oleh kelompok Wahhabi. Di antaranya adalah upaya mencekoki mahasiswa dengan paham Wahhabi.
Untungnya, menurut Kiai Hanif, waktu itu masih banyak dosen di Universitas Madinah yang non wahhabi dan berasal dari luar Saudi. “Hanya mata kuliah aqidah saja diampu oleh dosen-dosen asli Saudi yang berpaham Wahhabi, Itu pun mata kuliahnya jarang diminati oleh mahasiswa, karena cara mengajar mereka rata-rata kurang enak,” ungkapnya kemudian.

Pilihan Allah
Kebetulan pengawasan terhadap kegiatan ekstra kampus saat itu juga belum seketat sekarang. “Jaman saya dulu masih ada organisasi KMNU (Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama) yang diantara kegiatannya adalah tahlilan, barzanjen dan manaqiban,” kenangnya.
Usai menyelesaikan program S1-nya, Hanif pulang ke tanah air pada bulan Desember 1982 untuk membantu kakaknya, K.H. Luthfi Hakim, mengasuh pesantren Futuhiyyah. Kebetulan setahun sebelumnya, 1981, ayah mereka wafat di Tanah Suci ketika tengah menunaikan umrah Ramadhan.

Tak ingin nantinya pusing mencari pendamping hidup, sebelum pulang ke tanah air Hanif pun berpesan kepada sang kakak untuk mencarikan jodoh baginya. Alhamdulillah, kata Kiai Hanif, proses itu tidak memakan waktu lama. Ketika ia tiba di tanah air seorang calon istri sudah menunggunya. Dan tepat bulan maret 1983 ia pun dinikahkan dengan Fashihah gadis asal kendal yang sedang nyantri di Jombang.

Dari perkawinan tersebut Kiai Hanif dianugerahi empat anak yang mewarisi semangat belajarnya yang menyala-nyala. Dalam mendidik anak, Kiai Hanif mengikuti tradisi keluarganya. Dari tingkat MI sampai MTs harus di Futuhiyyah, setelah baru anak-anaknya disuruh nyantri di pesantren lain.

“Terserah mereka maunya di mana. Kalau ternyata belum ada gambaran, biasanya saya ajak mereka keliling ke pesantren-pesantren sambil melihat-lihat.”

Kiai Hanif mengaku tidak mau memaksakan kehendak kepada anak, apalagi memaksa mereka menjadi ulama. “Menjadi ulama atau tidak itu adalah pilihan Allah. Tugas saya sebagai orang tua hanya membekali anak dengan ilmu dan mengarahkan,” kata Kiai Hanif bersungguh-sungguh.
Sebagai putra ulama besar yang terkenal di Nusantara, banyak kenangan berkesan yang dialami Hanif bersama sang ayah. Hal yang paling berkesan dari ayahnya yang ulama sufi adalah kedisiplinan dan kewira’iannya. Kiai Muslih, menurut Hanif, sangat tidak menyukai gemerlap kehidupan dunia.

“Seumur hidupnya Abah tidak pernah terdengar bernyanyi. Beliau juga tidak mau memiliki televisi, karena takut melenakannya dari Allah SWT,” kenang Kiai Hanif. “Jika belakangan Mbah Muslih menyuruh saya membeli radio, hal itu tidak lain karena setiap bulan Ramadhan beliau ingin mendengarkan adzan maghrib langsung dari Masjid Jami’ Baiturrahman, Semarang, yang selalu direlay oleh RRI.”

Pernah juga suatu ketika Hanif yang sedang menunggu abahnya pulang mengajar di masjid bernyanyi-nyanyi di ruang tamu. Tanpa ia sadari, ayahnya masuk dan terus memandanginya tanpa ekspresi marah. Dengan lembut Mbah Muslih berucap, “Opo kowe wis ora eling mati, Le? (Apa kamu sudah tidak ingat mati, Nak?)”.

Meski dikenal sebagai ulama yang linuwih dan waskita, ayahnya juga tidak pernah mengajarkan ilmu yang macam-macam kepada para santri apalagi keluarga. Ketika terjadi gegeran tahun 1966-1970, misalnya, banyak kiai yang mengijazahkan ilmu hikmah kepada santri-santrinya. Namun tidak dengan Kiai Muslih. Ulama sufi itu hanya menganjurkan santri-santrinya untuk memperbanyak berdoa memohon perlindungan kepada Allah.

Gudang Ilmu Hikmah
Namun sebagaimana anak-anak seusianya, Hanif sangat penasaran terhadap ilmu hikmah. Karena tidak berani meminta kepada ayahnya, ia pun mengikuti teman-temannya berguru ilmu kanuragan kepada beberapa kiai ahli hikmah yang tinggal di sekitar Mranggen. Lucunya, begitu tahu Hanif adalah anak Kiai Muslih Mranggen, tak ada satu pun kiai yang mau memberikan ijazahnya kepada bocah itu.

“Minta saja sama ayahmu,” kata mereka, “Beliau itu gudangnya ilmu hikmah.”
Betapa sedihnya Hanif mendengar penolakan itu. Untungnya tak lama kemudian desanya kedatangan tamu, seorang kiai ahli hikmah dari Jawa Timur, yang mau memberikan ijazah berbagai ilmu hikmah kepada siapa saja. Dengan semangat Hanif lalu ikut berguru. Ia mendapat ijazah sebuah amalan yang harus disertai puasa.

Tak disangka, ternyata lelakonnya itu ketahuan sang abah. Hanif pun dipanggil ke kamar pribadi Kiai Muslih dan dimarahi. “Kalau kamu senang mempelajari ilmu hikmah, nanti abah sendiri yang akan menjajal ilmu kamu,” bentak Kiai Muslih. Tentu saja wajah Hanif langsung pucat pasi karena ketakutan.

“Ilmu hikmah itu tidak usah dipelajari,” lanjut Mbah Muslih. “Yang penting sekarang kamu belajar ilmu agama dan ilmu pengetahuan sebaik-baiknya. Setelah menjadi orang alim, lalu kamu mengajar agar ilmumu mendapat keberkahan. Setelah itu insya Allah semua ilmu hikmah akan datang sendiri.”

Uniknya, meski marah, Kiai Muslih tidak menyuruh Hanif menghentikan puasanya. Sebaliknya, Sang Allamah justru menambah sebuah wirid yang dimaksudkan sebagai penyeimbang amalan ilmu hikmahnya tersebut.

Ketika disinggung mengenai aktivitas kethariqahannya, Kiai Hanif mengaku sudah ditawari untuk berbai’at oleh ayahnya sejak ia masih kuliah di Madinah. Namun waktu ia yang merasa belum siap menolak tawaran abahnya.

Ketika sang ayah wafat, dan Hanif pulang ke tanah air, kakaknya, Kiai Luthfi Hakim juga menawarinya untuk dibai’at. Namun lagi-lagi Kiai Hanif menolak karena merasa belum siap. Ia merasa sebagian besar waktunya saat itu habis untuk mengurus Rabithah Ma’ahidil Islamiyyah (RMI) Jawa Tengah yang selama tiga periode dipimpinnya.

“Selain itu, saat itu juga saya merasa masih banyak maksiat,” ungkap Kiai Hanif merendah.
Sejak pulang dari Madinah, Kiai Hanif dan Kiai Luthfi memang berbagi tugas. Sang kakak konsentrasi di dalam pondok mengurus santri dan thariqah. Dan Hanif yang kebagian tugas urusan luar pesantren dan masalah keumatan.

Namun pada tahun 2003, tepat dua tahun sebelum Kiai Luthfi wafat, Hanif dipanggil sang kakak dan diultimatum, “Mau atau tidak mau, sekarang juga kamu saya bai’at.”

Kiai Hanif yang sudah merasa semakin tua dan lebih tenang pun menerima. Ia menjalani tarbiyyah (pendidikan sufistik) dari sang kakak dan pamannya K.H. Ahmad Muthohhar yang juga diangkat sang ayah menjadi mursyid. Tak lama menjalani tarbiyyah, Hanif telah dianggap cukup dan diangkat menjadi khalifah, kemudian mursyid penuh.

Mursyid Pengganti
Meneruskan tradisi ayahnya, yang menjelang wafat mengangkat adiknya K.H. Ahmad Muthohhar Abdurrahman, putranya K.H. Luthfil Hakim, dan menantunya K.H. Makhdum Zein. K.H. Muhammad Ridwan, dan Kiai Abdurrahman Badawi sebagai pengganti, tak lama setelah dua mursyid seniornya wafat Kiai Hanif juga mengumpulkan keponakan-keponakannya. Lima ustadz muda yang merupakan putra lima mursyid sebelumnya itu ditawari untuk dibai’at dan dididik menjadi calon mursyid pengganti.

Namun diantara kelimanya hanya K.H. Said Lafif bin Luthi Hakim saja yang bersedia, sementara yang lain mengaku belum siap. Baru belakangan, putra K.H. Ahmad Muthohhar menyusul. Maka jadilah tiga mursyid itu yang secara bersamaan meneruskan tradisi kethariqahan Qadiriyyah wan Naqsyabandiyyah di Mranggen.

Selain membimbing di pesantrennya, belakangan Kiai Hanif juga sering menghadiri undangan murid-muridnya, untuk memimpin tawajjuhan (penhgajian thariqah) dan membai’at murid-murid baru. Saat ini murid TQN Mranggen memang telah tersebar hingga ke pulau-pulau lain di Nusantara, terutama Sumatera.

“Saya cuma meneruskan langkah Kiai Luthfil Hakim,” kata Kiai Hanif.

Dalam kehidupan modern ini, menurut Kiai Hanif Muslih, setiap orang idealnya masuk ke dalam salah satu thariqah yang mu’tabarah. Sebab seiring kemajuan zaman, problematika kehidupan yang dihadapi umat islam menjadi semakin kompleks.

“Dan dalam banyak kompleksitas itu menyebabkan banyak orang yang menderita stress. Di sinilah thariqah menawarkan sebuah solusi kedamaian dan ketentraman dengan pendekatan diri kepada Allah,” tutur Kiai Hanif.

Demikianlah sekelumit lagi tentang ulama unik dari pesantren, yang terus berkarya dalam ruang lingkup yang semakin sempit dikepung kemajuan zaman. Menutup perbincangan siang itu, Kiai Hanif berharap, thariqah akan semakin banyak diamalkan dan akan semakin menentramkan jiwa banyak orang. Amin.

Ahmad Iftah Sidik, (Pemerhati Kiai Kharismatik NU)
Analysis: Large pharma companies do little new drug innovation – STAT anadrol pills for sale write an essay: essays on anabolic steroids

Similar Posts

One Comment

  1. Assalamu’m Wr.Wb..

    Alhamdulillah..

    Maaf kalau boleh tahu, kalau mauenghubungi beliau KHM Hanif dimana ya.?
    Telpon ?

    !Wassalam,

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *