Banyumas Pesantren-Bukti Kehadiran
Anak muda itu lega. Ibadah haji telah ditunaikan. Banyak kenangan dan pelajaran penting tentang masjid didapatkannya. Sampai di tanah air, kenangan itu terus saja meningkahi benaknya. Ia teringat setelah tawaf, salat di belakang maqam Ibrahim.
Di tempat itu dulu Nabi Ibrahim AS berdiri saat membangun Kakbah. Begitu guru madrasahnya menerangkan berdasarkan QS Al-Baqarah: 125. Nabi Muhammad SAW juga salat sunah di situ.
Di Madinah ia iktikaf di Masjid Nabawi. Dipilihnya raudhah, tempat di antara mimbar Nabi Muhammad SAW dan kediaman beliau. Ia beruntung masuk kelompok terbang (Kloter) yang nyaris terakhir. Di sana longgar. Ia sempatkan juga ke Masjid Qiblatain (Masjid Dua Kiblat) yang bersejarah, merekam peristiwa perpindahan kiblat (QS Al-Baqarah: 142-144 dan 150).
Semula kiblat umat Islam adalah Baitul Maqdis di Palestina kemudian pindah ke Kakbah di Masjidil Haram Mekah. Perpindahan itu terjadi dalam salat dhuhur hari Senin bulan Rajab tahun ke-2 Hijrah (Ibn al Wardi, 1417 H/1996 M, Juz 1: 109).
Anak muda itu hanyalah satu dari dua ratusan ribu orang jama’ah haji Indonesia yang mencari pelajaran berharga selama haji. Salah satu yang ia catat adalah ihwal bukti kehadiran.Na bi Ibrahim AS hadir di Mekah. Beliau ajarkan agama tauhid. Ikonnya Kakbah. Dari penjuru manapun muslimin salat, ke titik itulah semuanya menghadap. Nabi Muhammad SAW mengajar para sahabat di tempat yang kemudian disebut sebagai raudhah. Dan Masjid Qiblatain adalah bukti kehadiran wahyu tentang perpindahan kiblat.
Anak muda itu melihat beberapa bangunan masjid bersejarah di daerah asalnya berubah. Didengarnya keprihatinan dari seorang ustad senior di Solo. Ustad ini menceritakan pembongkaran sebuah masjid bersejarah.Bukti kehadiran dakwah Islam yang berusia ratusan tahun telah diubah.
Ini berbeda dengan masjid di kota-kota penting dunia Islam. Pembangunan dilakukan, tetapi bagian asli tetap dirawat, sekurang-kurangnya informasi pengganti terpahat pada media yang tahan lintas generasi. Masjid Qiblatain dipugar. Pada dinding yang mengarah ke Masjidil Aqsa terlihat tanda. Prasasti dipasang untuk menegaskan adanya kehadiran perintah perpindahan kiblat. Dengan itu jarak waktu ratusan tahun tidak membuat generasi penerus kehilangan sumber belajar yang berharga.
Kita bersyukur. Prasasti lama dipasang di depan Masjid Al-Muttaqun Prambanan, Klaten. Masjid ini dipugar karena rusak oleh gempa. Prasasti di Masjid Tegalsari Laweyan, Solo, juga patut diapresiasi. Menara Langgar Merdeka di Laweyan diperbaiki. Bentuk dan warna aslinya dijaga.
Masjid bersejarah dirawat agar kearifan para pendahulu tidak asing bagi para penerus. Manfaatnya adalah menjaga kesinambungan sejarah dakwah dan tarbiyah. “Al fadhlu lil mubtadi wa in ahsanal muqtadi”. Kalimat bijak di kitab Majma’ al Amtsal karya Abu al Fadhl an-Naisaburi itu menyadarkan si anak muda bahwa “keutamaan itu bagi pendahulu meskipun penerus lebih baik”.
M Dian Nafi’ Pengasuh Pondok Pesantren Mahasiswa Al Muayyad Windan, Makamhaji, Kartasura, Sukoharjo
Sumber: www.solopos.com