Purwokerto Pesantren-Sebagian santri yang sedang berlatih khithabah atau pidato mendapatkan aplaus yang menggembirakan. Tidak jarang santri lainnya mendapatkan respons dingin atau bahkan para pendengar mengantuk.

Jika isi khithabah itu sudah baik, lantas apa yang salah? Bisa jadi karena penyaji khithabah itu tidak mewakili perasaan pendengar.

Perasaan butuh diwakili juga. Jika mendengarkan pidato, tetapi perasaan kita tidak terwakili di dalamnya, kita menjadi bosan. Kita butuh hadir di dalam pidato yang ingin kita perhatikan. Demikian pula dalam perbincangan sehari-hari.

Oleh karena itu ada pesan penting agar kita berbicara setala dengan nalar mitra bicara (Al Muwaththa’, Juz 1: 24).

Pesan itu menjadi bahan kajian panjang lebar di Jurusan Komunikasi Massa dan selalu menarik mengikuti perkembangannya, karena nalar manusia juga berkembang.

Kita hidup dan berkembang di dalam sebuah lingkungan yang memberi pengetahuan-pengetahuan awal. Setiap pribadi kita memiliki kisah hidup. Ketika mulai mengenal diri dan lingkungan, kita mengasup rujukan dari sumber belajar yang kita manfaatkan.

Kita juga dibekali oleh Sang Pencipta dengan perasaan, intuisi atau hati. “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur,” (QS An-Nahl [16]: 78).

Berbekal itu semua, kita kemudian memegang nilai-nilai tertentu dalam menanggapi berbagai hal di lingkungan kita. Nilai-nilai itu memungkinkan kita menentukan yang baik dan buruk, pantas dan wagu, dan sebagainya. Beruntunglah kita jika sejak dini sudah mendapatkan bimbingan agamis, sehingga nilai-nilai dalam hidup kita tidak hanya sekadar merujuk kepada selera atau sekadar mengikuti arus.

Keterwakilan perasaan
Tautan
Dan nilai-nilai selalu terbangun di dalam hubungan bersama manusia lainnya dalam lingkungan pergaulan yang semakin lama semakin luas. Yang menetap dan diwariskan lintas generasi akan menjadi ingatan kolektif. Pertemuan antara kisah hidup, rujukan, perasaan, nilai-nilai dan ingatan kolektif ini menempatkan seseorang di dalam kelompoknya (Deaux dan Philogene, 2001: 296).

Oleh karena itu minat orang selalu dapat ditemukan persamaannya dengan orang-orang lain, baik di dalam kelompoknya sendiri maupun lingkup pergaulan yang lebih luas. Demikian pula dengan opini dan kepentingannya.

Minat, opini dan kepentingan tiap kelompok itulah yang penting untuk diwakili jika kita berbicara kepada orang-orang di sekitar kita. Orang Jawa Soloraya mungkin tertarik berbicara tentang batik saat ia tampak menunjukkan batiknya yang bercorak khas. Dan mahasiswa yang sedang menyusun skripsi mungkin lebih tertarik jika diajak membicarakan perihal kemajuan penelitiannya.

Demikianlah keterwakilan perasaan itu penting untuk dipertimbangkan di dalam pergaulan sehari-hari. Dan menghargai keterwakilan perasaan itu termasuk bagian komunikasi humanis yang sangat penting di dalam dakwah kita.

HM Dian Nafi’

Pengasuh Pondok Pesantren Mahasiswa Al Muayyad Windan, Makamhaji, Kartasura, Sukoharjo – Oleh : HM Dian Nafi’
Sumber:www.solopos.com

Similar Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *