Jakarta-Turats atau yang lebih dikenal dengan sebutan kitab kuning oleh sebagian kelompok sering dianggap sebelah mata, karena dianggap kuno dan tidak bias mengikuti perkembangan zaman. Namun apa sesungguhnya isi kitab kuning tersebut dan bagaimana relevansinya dengan pemahaman keagamaan sekarang ini, masih banyak yang belum memahaminya secara detail. Muhtadin AR dan Sarmidi Husna (MS) dari www.pondokpesantren.net melakukan wawancara dengan Prof. Dr. KH. Said Aqiel Siradj, MA (SAS) Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta untuk menggali persoalan tersebut.
MS: Apa itu kitab kuning dan bagaimana sejarah pembentukannya?
SAS: Kitab Kuning adalah kitab-kitab keagamaan berbahasa Arab atau berhuruf Arab karya ulama salaf, ulama zaman dulu, yang dicetak dengan kertas kuning. Sebenarnya yang paling tepat disebut dengan kutub al-turats yang isinya berupa hazanah kreatifitas pengembangan peradaban Islam pada zaman dahulu. Dalam hazanah tersebut terdapat hal-hal yang sangat prinsip yang kita tidak dapat mengabaikannya. Selain itu, hazanah tersebut juga terdapat hal-hal yang boleh kita kritisi, kita boleh tidak memakainya dan ada juga yang sudah tidak relevan lagi. Tetapi kalau yang namanya kitab usul fiqh, mushtalah al-hadits, nahwu-sharaf, ilmu tafsir, ilmu tajwid itu semua adalah prinsip, mau atau tidak mau sekarang kita harus menggunakan kita-kitab tersebut.
MS: Apa yang menjadi batasan suatu kitab itu disebut sebagai kitab turats?
SAS: singkatnya, kitab turats itu adalah kitab yang ditulis oleh ulama salaf, baik ulama asing maupun ulama Indonesia sendiri yang secara turun-temurun menjadi rujukan yang dipedomani oleh para ulama sekarang. Seperti yang saya kemukakan tadi, kutub al-turats itu ada yang bersifat prinsip dan ada yang tidak. Yang prinsip, mau tidak mau harus kita pakai. Karena, misalnya, kita tidak bisa membaca teks Arab kalau tidak memakai nahwu-saraf; kita tidak bisa membaca Al-Qur’an kalau tidak menggunakan ilmu tajwid; kita tidak bisa mengambil hukum dari Al-Qur’an dan al-Hadits kalau tidak menggunakan usul fiqih dan qawaid al-fiqhiyah. Adapun furu’-nya atau pengembangannya, kita dapat mensikapi dengan mengkritisinya. Walhasil, kita ini, pada zaman sekarang, harus taqlid, tetapi taqlid yang kreatif dan taqlid yang dinamis, karena tanpa taqlid kita tidak dapat berbuat apa-apa.
MS: Apa yang membedakan antara kitab-kitab turats dan kitab-kitab kontemporer?
SAS: Kitab-kitab kontemporer sekarang ini tidak bisa lepas dari kitab-kitab zaman dahulu. Siapa pun penulis kitab-kitab kontemporer pasti merujuk kepada kitab-kitab zaman dahulu, seperti Dr. Ali Saminasar, Dr. Abdul Chalid Badawi, Dr. Yusuf Qordowi, Dr. Harun Nasution, Dr. Nur Cholis Madjid dan lain sebagainya, semua itu tetap bersandar pada kitab turats. Artinya, dalam rangkan menjaga orsinilitas kitab-kitab tersebut, maka kitab-kitab turats tersebut harus kita jaga. Adapun pengembangannya baru kita kontekstualkan dengan masa sekarang.
MS: Bagaimana kekuatan kitab turats sebagai rujukan untuk memutuskan hukum keagamaan?
SAS: Kalau yang namanya kitab seperti ulumul Quran, mushtalah al hadits, nahwu-sharaf, kita tidak dapat mengembangkannya. Apa yang tertulis dalam kitab-kitab tersebut sudah menjadi standar baku, ya seperti itu, kita tidak dapat mengembangkan lagi. Tetapi kalau kitab seperti fiqih, kita harus mengembangkannya dan mengontekskannya dengan situasi sekarang. Itu pun masih ada aturannya. Cara mengembangkannya tidak sembarangan dan asal-asalan, harus mengikuti aturannya, seperti adanya qiyas (analogi) dan juga ilhaq yang dapat dijadikan titik temu antara persoalan baru dengan persoalan yang lama. Misalnya saja, narkoba atau sabu-sabu ya dapat kita qiyaskan dengan khamr. Tetapi ada juga yang sama sekali, sejak dari dulu sampai sekarang, tidak bisa diotak-atik. Ilmu nahwu, ilmu sharaf, mushtalah hadits, ilmu quran, ilmu tajwid semua itu kita dapat menambah apa-apa lagi. Mengenai tajwid, seperti qalqalah, mad lazim, mad jaiz dan lainnya, kita tidak dapat menambahi apa-apa lagi.
MS: Mayoritas pesantren menggunakan turats sebagai kitab rujukan. Tapi ada juga yang tidak. Lalu di mana keunggulan pesantren yang menggunakan kitab turats dibanding dengan pesantren yang tidak menggunakannya?
SAS: Mayoritas pesantren, terutama di Jawa, masih menggunakan kitab turats sebagai sarana pembelajaran, seperti pesantren Lirboyo, pesantren Langitan, pesantren Situbondo, pesantren Kajen Pati, dan lain sebagainya masih mengutamakan kajian dengan menggunakan kitab-kitab turts, seperti Fathul Wahhab, Ihya’ Ulumudin, Jam’ul Jawami’, I’anah al-Thalibin dan lain-lainnya.
Mengenai keunggulan itu masing-masing mempunyai keunggulan sendiri-sendiri. Tetapi yang harus kita perbaharui adalah sarana dan metode, bagaimana cara memahami nash atau teks dan bagaimana memodernisasi sarananya, apakah mau memakai komputer atau laptop. Tetapi untuk merubah hal-hal yang sangat prinsip itu sulit. Bahwa kaidah usul fiqh mengenai dilalatu al alfadz ‘ala ma’aniha itu sudah tidak bisa menambah dan tidak bisa mengurangi. Dan juga al-amru yadullu ‘ala al-wujub illa min qarinatin (amar/perintah itu menunjukkan wajib kecuali ada tanda bahwa itu bukan wajib) itu sudah baku sekali.
Kemudian kalau ada yang berpendapat mengarah kepada pemahaman liberal, seperti bahwa amar itu harus sama, kalau aqim al-shalah wajib maka kulu wasyrabu juga wajib. Tetapi kalau kulu wasyrabu itu ibahah, maka aqim al-shalah juga ibahah, ini adalah pemahaman yang “ngawur”. Karena aqim al-shalah menunjukkan wajib dengan tanda-tanda atau qarinah tentang perintah shalat berkali-kali disebutkan dalam Al-Qur’an dan Nabi Muhammad saw itu juga sangat disiplin sekali dalam menjalankan shalat. Tetapi kalau kulu wasyrabu, walaupun sama-sama amar, tetapi itu adalah perintah yang ibahah. Tidak ada qarinah seperti dalam perintah shalat inna al-shalata kanat lil mu’minina kitaban mauquta. Dengan demikian, ada tanda-tanda bahwa amar/perintah kulu wasyrabu itu adalah ibahah, tetapi kalau amar/perintah aqim al-shalat wa ati’u al-zakat itu wajib dengan tanda atau dukungan faktor yang lain. Kalau yang mengatakan bahwa amar harus disamakan, yang wajib-wajib semua itu namanya “ngawur”.
MS: Di mana pokok masalahnya?
SAS: Kalau kutub turats itu kan materi ilmiahnya, kalau yang sekarang itu kan metodenya. Menurut saya yang paling bagus kalau digabungkan, materi yang kita pelajari adalah kitab-kitab klasik, seperti Fathul Wahab, Muhadzdzab, Al-Umm dan sebaginya, kemudian kita pelajari dengan menggunakan cara pandang yang baru (jadidah), nah ini yang paling tepat. Sedangkan kalau hanya mempunyai metode tetapi tidak mempunyai materinya, apa yang akan dibahas? Misalnya, kita mengerti metodologi, kita mengerti tentang menganalisa secara kritis dan lain sebaginya, tetapi yang dibahas apa, kalau kita tidak menguasai apa-apa.
Memang sekarang sudah terjadi erosi pemahaman, tidak sedikit sekarang ini alumni pesantren yang tidak dapat menguasai kitab turats lagi. Karena lebih mengedepankan belajar metodologi saja. Nah, kalau orang belajar metodologi saja dan tidak memahami materinya, maka yang mau dipahami itu apa, untuk apa metodenya itu? Tetapi metodologi juga penting. Para kiai yang alim baca kitab besar-besar, karena tidak bisa menguasai metodologi kan juga tidak bisa memahami dan mengontekskan dengan kondisi sekarang. Tetapi kalau yang hanya menguasai metodologi dan mereka sama sekali tidak pernah membuka kitab, seperti fathul wahhab, jam’ul jawami’ atau yang lainnya, lalu metodologinya itu untuk apa, kalau dia miskin materi.
MS: Apakah kitab turats tadi itu masih relevan dengan kehidupan sekarang?
SAS: Ya sangat relevan sekali, karena tanpa kitab turats kita tidak dapat berbuat apa-apa. Membaca Al-Qur’an saja, kita tidak bisa kalau tidak menggunakan kitab turats tadi. Kita tidak usah jauh-jauh, baca Al-Qur’an saja, kita harus menggunkan ilmu tajwid. Dan ilmu tajwid itu muncul sejak tahun 200-an hijriyah oleh Ka’ab ibn Abdussalam. Kemudian kalau kita tidak menggunakan ilmu mushtalah hadits, yang diciptakan tahun 99 hijriyah oleh Sihabudin Ramuzi, kita tidak bisa mengerti apa-apa, mana hadits shahih, mana hadits yang dlo’if dan sebagainya. Kalau kita tidak menggunakan usul fiqh yang diciptakan pertama kali secara sempurna oleh Imam Syafi’i, kita tidak bisa memahami nash Al-Qur’an dan hadits.
Walaupun harus bagaimana pemahamannya yang kritis itu boleh, tetapi pada prinsipnya, usul fiqh, mustalah hadits, tajwid, qiraat dan sebaginya itu kita harus taqlid. Kita tidak taqlid yang membabi buta, namun pada masalah ini kita harus berpulang pada kitab turst. Buya Hamka membuat kitab tafsir al-Azhar merujuk kepada kitab-kitab tafsir yang lama. Bapak Harun Nasution dan Nur Cholis Madjid mengarang buku juga mengambil dari kitab maqalatul islamiyin, al-milal wa al-nihal dan sebagainya. Tulisan-tulisan ilmiah juga harus memakai literatur dan referensi-referensi yang lama.
MS: Kemudian sejauh mana pengaruh kitab turats dalam pemahaman keberagamaan masyarakat Indonesia?
SAS: Pengaruhnya sangat besar sekali, kita mengamalkan ajaran agama Islam ini berdasarkan pemahaman yang kita petik dari kitab turats tadi. Dan pengaruh kitab turats bukan hanya di Indonesia saja, tetapi juga di dunia, seperti al-Azhar, al-Zaitun, Ummul Qura’, dan lain sebagainya adalah universitas-universitas ternama yang ketika mahasiswanya menulis desertasi maupun menulis karya ilmiah apapun itu pasti merujuk kepada kutub al-turats. Tanpa kitab turats kita tidak bisa apa-apa. Bukan saya melarang, silahkan kalau bisa, tetapi saya yakin tidak bisa apa-apa tanpa kitab turats. Kalau hanya kembali kepada Al-Qur’an dan al-Hadits kita tambah akan menjadi bodoh.
Bagaimana kita bisa membaca Al-Qur’an dengan baik kalau kita tidak menggunakan ilmu tajwid; bagaimana kita bisa membaca teks Arab secara benar kalau kita tidak menggunakan ilmu nahwu dan sharaf. Dan ilmu nahwu-sharaf itu kitab turats semua dan kita sudah tidak bisa menambah dan menguranginya lagi. Kita shalat itu pasti kembali kepada kutub al-turats, di dalam Al-Qur’an dan hadits itu tidak ada cara teknis juklaknya shalat. Dan adanya itu ada di Fathul Muin, Fathul Wahab, al-Umm, Tuhfah dan sebagainya. Kata-kata rukun shalat ada 14 itu ada di kitab turats. Kalau ada orang yang shalatnya bagus, bacaannya bagus, gerakannya bagus itu bohong kalau dia tidak merujuk pada kitab turats. Apalagi yang berkaitan dengan tempat dalam naik haji, seperti mana batas Musdalifah, mana Mina, dan Arafah itu di dalam Al-Qur’an itu tidak ada. Ya adanya di kitab turats. Dalam Al-Qur’an hanya global saja, menyebut tentang wukuf. Dan kalau ada pemahaman yang ingin kembali ke Al-Qur’an dan hadits itu namanya pembodohan.
MS: Bagaimana posisi kitab turats sebagai hukum Islam?
SAS: Kita sekarang yang sudah berpendidikan cukup pun paling hanya bisa memahami cara berfikirnya para imam itu. Misalnya, Syafi’i mengatakan bahwa laki-laki bersentuhan dengan perempuan yang bukan muhrim, baik sengaja maupun tidak sengaja, sahwat atau pun tidak, itu batal wudlunya. Kemudian Imam Hanafi mengatakan laki-laki bersentuhan dengan perempuan yang bukan muhrimnya, asal tidak tidur bareng, itu tidak batal. Dalam hal ini, paling-paling kita dapat memahami hal-hal seperti itu saja, yaitu memahami cara berfikirnya imam Syafi’i, Hanafi dan imam yang lainnya. Itu pun sudah sangat hebat kalau bisa. Misal saja, Kiai Afifuddin Muhajir (Pengasuh Pesantren Situbondo, red) melakukan perbandingan (muqaranah) Usul Fiqh dan Qawaid al-Fiqh, bukan hanya muqaranah fiqih saja. Apa yang beliau lakukan itu sangat luar biasa. Pendek kata, kalau ingin memahami Islam secara baik harus paham kitab turats. (*)
http://pendis.depag.go.id