Banyumas Pesantren-Pemahaman dan Penafsiran al-Qur’an Terus Berkembang.

“Tantangan terbesar umat Islam sekarang ini adalah bagaimana mengamalkan nilai-nilai al-Qur’an di tengah-tengah kehidupan global. Di satu sisi umat Islam harus berpegangan pada teks suci Al-Qur’an, di sisi lain ada kenyataan sosial yang terus berkembang. Tugas kita adalah bagaimana bisa menghadapai tantangan sosial tersebut dengan tanpa mengorbankan teks (nash al-Qur’an)

Demikianlah Prof. Dr. Quraish Shihab, MA, memulai orasi ilmiahnya dalam acara Kuliah Umum yang digelar oleh Institut Ilmu al-Qur’an (IIQ) Jakarta pada Selasa 4/01/2011 di Aula Utama Kampus IIQ. Acara yang dibuka oleh Pembantu Rektor I, bagian akademik, Dr. Ahmad Munif Suratmaputra, MA ini dihadiri oleh ratusan mahasiswa IIQ, baik S1 maupun S2, para dosen, para pimpinan IIQ dan juga pengurus Yayasan IIQ Jakarta. Juga ada beberapa hadirin dari civitas akademika kampus lain, sehingga Aula Utama IIQ, tidak sesak dan tidak muat. Banyak peserta yang memilih mendengarkan orasi ilmiah Qurasih Shihab dari luar Aula.

Melanjutkan orasinya Quraish Shihab menyatakan: “Bagaimana caranya kita mengamalkan nilai-nilai al-Qur’an dengan meningkatkan pemahaman kita akan al-Qur’an? Ini artinya sebenarnya kita sudah memahami al-Qur’an, tetapi hanya saja kita ingin lebih paham lagi”.

Kemudian beliau mulai menegaskan, dengan menyitir salah satu ayat yang berbunyi: “Waltakun minkum ummatun yad’una ilal khairi wa ya’muruna bi al-ma’rufi wa yanhauna ‘anil munkari ….ila akhiril ayat”.

Menurut penjelasan yang beliau sampaikan bahwa ayat di atas mengandung pesan yang terkait dengan nilai-nilai kebaikan universal (al-khair) dan nilai-nilai kebaikan lokal atau temporal (al-ma’ruf). Kebaikan yang universal adalah nilai-nilai yang tidak berubah, tidak akan berubah dan tidak boleh berubah. Inilah yang disebut dengan al-Tsawabit. Sementara Ma’ruf atau nilai-nlai baik yang temporal dan mungkin saja lokal, itu bisa berubah tergantung perubahan yang ada di tiap-tiap tempat dan keadaan. Karena itulah, kebaikan yang temporal ini disebut sebagai al-Mutaghayirat.

Lebih jauh beliau menjelaskan lagi, bahwa: “Untuk yang nilai-nilai yang ma’ruf ini, bisa saja pada suatu waktu, nilai-nilai itu dianggap baik, tetapi setelah masanya lewat, nilai-nilai itu kemudian dianggap tidak relevan lagi.”

“Hanya saja sekarang ini, ada sekelompok orang yang memaksakan nilai-nilai baik pada suatu tempat dan masa, padahal sudah tidak relevan lagi, dipaksakan untuk diberlakukan sekarang ini. Meski sesungguhnya untuk ukuran sekarang, itu tidak relevan lagi.

Contohnya begini,- lanjut Pa Quraish penuh semangat – dari dahulu nilai universal menyatakan bahwa menghormati orang yang lebih tua atau menghormati guru itu adalah suatu keharusan. Tetapi dahulu, untuk menghormati guru, lalu murid dilarang bertanya. Nah…apa sekarang masih rekevan seperti itu. Sekarang murid bertanya kan diperbolehkan. Persoalan menghormati guru tetap menjadi keharusan. Hanya saja caranya yang berbeda.

Ajaran universalnya adalah menutup aurat. Bagaimana caranya, nah itu yang beda-beda. Bukankah definisi aurat sendiri, banyak ulama berbeda-beda. Juga bagaimana menutup aurat, para ulama juga berbeda-beda. Yang baik bagi orang Arab belum tentu baik bagi orang Indonesia, begitu juga sebaliknya. Jadi jangan dipaksakan.

Ajaran universalnya kita sebagai umat Islam mesti mengikuti Nabi Muhammad saw. Tetapi apakah mengikuti Nabi itu artinya harus berjenggot panjang dan bercelana di atas lutut. Bukankah seorang sahabat, kalau tidak salah Abu Bakar al-Shiddiq mengenakan pakaian sampai di bawah lutut, dan Nabi Muhammad saw membiarkannya, karena melihat bahwa Abu Bakar al-Shiddiq tidaklah angkuh. Jadi dari situ pakaian di atas lutut itu bukan ajaran universal, bukan yang substansial. Yang substansialnya adalah tidak sombong dan angkuh dalam berpakaian.

Memang sebagai umat Islam kita diwajibkan mengikuti Nabi Muhammad saw. Tetapi ada-ada hal yang dilakukan Nabi tetapi tidak boleh kita ikuti. Seperti mengumpulkan sembilan istri dalam suatu waktu, itu dilakukan oleh Nabi, tetapi tidak boleh kita ikuti.

Mengenai bagaimana agar bisa memahami al-Qur’an lebih baik, menurut Quraish Shihab, rumusnya adalah semakin kita akrab dan dekat dengan al-Qur’an, maka semakin kita memahaminya. Menurut al-Maududi, kita jangan berharap bisa memahami al-Qur’an, bila hanya membacanya sekali saja. Ini sejalan dengan pandangan Imam al-Subki yang menyatakan kita tidak bisa menafsirkan atau memahami al-Qur’an hanya seakan-akan saja (La nufassiru al-Qur’an bi ta’mim). Karena itu rumus utama dalam memahami al-Qur’an adalah kita akrab, dekat, sering membaca dan tidak bosan-bosannya mempelajari al-Qur’an.

Orang kalau sudah cinta dan dekat dengan al-Qur’an, maka ia kuat duduk berjam-jam membaca al-Qur’an dan berusaha memahaminya. Sejarah mencatat bahwa ulama besar, Imam al-Suyuthi sangat mencintai al-Qur’an, mempelajarinya,menafsirkannya, sampai-sampai tidak sempat menikah.

Kunci pertama untuk memahami al-Qur’an adalah tentu saja dengan membacanya. Al-Qur’an yang pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, terkait dengan perintah membaca ini. Perintah membaca dalam ayat-ayat al-Qur’an yang pertama diturunkan, tidak hanya perintah membaca al-Qur’an, tetapi perintah membaca dan mempelajari apa saja. Baik yang terbaca maupun yang tidak terbaca. Artinya kalau kita akrab dan dekat serta sering membaca dan terus mempelajari al-Qur’an, maka sedikit demi sedikit al-Qur’an membukakan pintu rahasia maknanya pada kita.

Jangan dikira pemaknaan dan penafsiran ulama terhadap al-Qur’an yang selama ini ada, sudah berhenti begitu saja, tidaklah demikian. Al-Qur’an, semakin dibaca, dipelajari semakin banyak dan kaya maknannya. Kalau ilmu alam dan ayat-ayat kauniyah terus berkembang, maka pemahaman terhadap al-Qur’an pun demikian adanya, terus berkembang, seiring perkembangan yang ada.

Sebagai contoh dahulu sebelum ditemukan alat yang bisa melihat keadaan janin di dalam rahim seorang ibu, kita bisa menyatakan bahwa ayat yang berbunyi “Wa ya’lamu ma fi al-arham” itu bisa ditafsirkan “Hanya Allah yang tahu apa yang aa di dalam rahim seorang Ibu. Nah sekarang setelah ditemukan teknologi canggih yang bisa mengetahui kondisi janin, kita tentu saja tidak bisa menafsirkan bahwa hanya Allah yang tahu apa yang ada di dalam rahim. Ini namanya pemahaman yang berkembang dan terus berkembang”.

Sumber: http://www.iiq.ac.id

 

Similar Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *