Banyumas Pesantren– Jujul Anusuli
Sejak ayahnya wafat, anak itu berubah. Ia menjadi seperti ayahnya. Tidak persis memang, tetapi orang-orang kemudian menganggapnya sebagai pengganti sang ayah. Dulu selepas SMP anak itu menjauh dari ayahnya.
Ia memilih belajar di tempat yang jauh, mengambil bidang kompetensi yang berbeda sama sekali dari sang ayah sampai akhirnya ia berhasil. Ia sukses menjadi seorang profesional di lembaga yang terpandang.
Ia berjuang keras untuk menjadi dirinya sendiri. Jerih payah ia jalani agar lepas dari bayang-bayang ayahnya. Ia tidak suka disebut menumpang ketenaran sang ayah. Ia tidak membenci orang tuanya.
Bahkan sangat mencintai. Ia sadar berbakti kepada orang tua adalah fardlu ‘ain, kewajiban yang tegas aturan tekstualnya dan melekat pada setiap pribadi. Hadis Nabi Muhammad riwayat Imam Bukhari dan Muslim tentang birrul walidain terang baginya.
Saat muda ia hanya tidak cocok dengan cara orang di lingkungannya yang melekatkan ukuran orang tuanya pada dirinya. Saat ayahnya wafat, luar biasa tanggapan duka cita diterima keluarganya. Pikiran-pikiran cerdas sang ayah kemudian dikaji ulang banyak orang. Anak itu semakin menghargai sang ayah.
Masa berkabung berakhir. Sang anak mengamati lembaga besar peninggalan sang ayah. Semua karyawan bekerja seperti biasa. Rencana tertata rapi, tetapi terasa ada yang kurang. Ruang kosong itu dicoba diisi oleh para ahli yang berpengalaman. Tetap saja ada yang kurang.
Kalangan profesional membutuhkan sosok pengganti sang ayah. Mereka menunjuk anak sulung yang dinilai terbaik kapasitasnya. Jadilah si sulung itu menyadari. Sejauh-jauh ia lari mencari dan membangun sosok dirinya sendiri, tetap saja ia adalah anak dari seseorang.
Jadilah ia bergeming. Ia menilik dirinya sendiri. Banyak bekal telah diperolehnya. Ternyata masih banyak kekurangan. Sayang, ia menyadari semua itu setelah sang ayah wafat. Ada semacam “kembalian” yang harus disusulkan. Ia harus mempelajari banyak hal dari awal.
Anak itu sudah berusia 40 tahunan. Ia harus mempelajari sesuatu yang dipelajari ayahnya saat berusia 12 tahun. Si anak itu tidaklah sendirian. Ada kawannya yang seperti dia, padahal ayah ibu mereka telah merintis usaha yang terbukti maju dan bermanfaat. Dalam rangka berbakti kepada orang tua, kini ia rela mempelajari bidang kompetensi ayahnya. Seberat apapun ia tetap menempa dirinya, meski tidak lagi muda.
Ia tidak bisa menyamai ayahnya. Maka, ia tidak bertekad untuk menyamai sang ayah. Ia hanya ingin bisa memahami program-program lembaga rintisan sang ayah lebih baik. Ia ingin bisa menghargai orang-orang yang bekerja di situ, karena merekalah sesungguhnya yang berada di balik sukses sang ayah semasa hidupnya.
Egoismenya memudar. Ia tidak kehilangan dirinya sendiri dengan berbakti kepada orang tua. Ia tetap menjadi dirinya sendiri bahkan saat mempelajari bidang kompetensi ayahnya sepenuh perhatian.
Itulah jujul atau kembalian yang harus disusulkan. Istilah bahasa Jawanya (ditawarkan oleh rekan muda saya, Muchus Budi Rahayu) adalah jujul anusuli, kembalian yang disusulkan kemudian.
http://edisicetak.solopos.com