Banyumas Pesantren-NU dan Heterogenitas Zakat Fitrah (Mengurai Problematika Klasik)

Majelis Ulama Indonesia (MUI) Purbalingga mengeluarkan keputusan mengenai besarnya zakat fitrah Ramadan 1431 H. “Besarnya zakat fitrah adalah beras 2,8 kg atau uang seharga bahan kebutuhan pokok tersebut,” kata Ketua MUI KH Abror Mushodik (SM, 01/09/2010).

Perlu dicatat, besaran zakat fitrah yang lazim di Indonesia selama ini adalah 2,5 kg beras. Belakangan (kembali) mengemuka persoalan tentang besar-kecilnya ukuran zakat fitrah. Mau tidak mau, masalah tersebut bisa menimbulkan kebingungan di kalangan umat. Untuk itu, diperlukan jalan keluar yang proporsional dan komprehensif.

Katib Syuriah PCNU Grobogan, Kiai Muhammad Baihaqi, menanggapi persoalan di atas dengan santai. Sebetulnya, menurut alumnus Pesantren Al-Muayyad Solo ini, kasus tersebut merupakan kasus lama. Adapun di kalangan pesantren sendiri banyak yang memakai ukuran 2,7 kg untuk zakat fitrah. PWNU dan PCNU belum angkat bicara karena ada qoul yang menyatakan cukup 2,4 kg sehingga ketentuan 2,5 kg sudah dipandang cukup hati-hati.

Pendapat lain menyatakan zakat fitrah 2,8 kg –yakni membulatkan 1 mud (6,8 ons) menjadi 7 ons; dan karena 1 sho’ = 4 mud, maka diperolehlah angka 2,8 kg. Ukuran ini antara lain dipakai oleh Musytasyar PCNU Sragen, KH Minanul Aziz Syathori.

Dalam kitab Taqrir As-Sadidah fi al-Masail al-Mufidah (2006: 419) ditemukan penjelasan bahwa, 4 mud sepadan dengan 2,75 kg. Sementara itu, Imam Nawawi dalam kitab-nya Raudhah (Juz II: 301-2) menyatakan, “Satu sho’ sama dengan empat kali cidukan kedua telapak tangan orang dewasa yang berukuran pertengahan atau sedang”.

Pengasuh Pesantren At-Taujieh Leler Banyumas, KH Zuhrul Anam Hisyam (Gus Anam) menyatakan bahwa 3 kg tentulah lebih hati-hati. Namun jika merujuk sejumlah literatur mu’ashir (kontemporer), menurut Gus Anam, angka 2,5 kg sudah termasuk ihtiyat alias hati-hati.

Pada praktiknya, banyak ulama sepuh yang ngugemi takaran zakat fitrah 2,5 kg. Beberapa di antaranya KH Maemun Zubair (Sarang Rembang), KH Hisyam Zuhdi (Leler Banyumas), KH Salman Dahlawi (Popongan Klaten), KH Abu Hamid (Beji Purwokerto), dan KH Adib Zein (Surakarta).

Diakui atau tidak, perbedaan besaran zakat fitrah adalah problema klasik yang hampir muncul setiap tahun. Namun persoalan tersebut belum ada penyelesaian yang komprehensif. Menanggapi perbedaan takaran zakat fitrah, sabda Rasulullah sering dikutip sebagai senjata pamungkas –bahwa “ikhtilaafu ummati rahmah, perbedaan di antara umatku adalah rahmat”.

Alternatif Solusi
Bahwa perbedaan pendapat itu rahmat tidaklah perlu diperdebatkan lagi. Jika selisih takaran zakat fitrah (2,5 kg; 2,7 kg; 2,8 kg; atau bahkan 3 kg), hal itu tak perlu menjadi biang perpecahan. Kalau demikian, apakah tepat jika MUI menyeragamkam pemberlakuan zakat bagi umat? Apakah keputusan MUI akan efektif?

Penulis tak bermaksud menilai apa yang ditetapkan MUI Purbalingga. Mengingat zakat merupakan kewajiban bagi setiap muslim, maka sudah semestinya ia dikembalikan pada masing-masing pribadi untuk menentukannya secara proporsional. Jika, katakanlah, porsi makan seseorang termasuk porsi jumbo, maka zakat 3 kilogram tentulah yang lebih tepat. Sebaliknya, jika porsi makan dia termasuk sedang-sedang saja, maka 2.5 kg sudah memadai.

Begitu halnya dengan jenis beras yang kita konsumsi. Jika kita biasa menyantap jenis beras rojolele, maka sangat tidak fair manakala kita mengelurkan zakat-nya hanya sekelas IR atau kualitas lain yang jauh di bawahnya.

Waba’du, di akhir Ramadan ini warga nahdliyin Banyumas khususnya dan kaum Muslimin pada umumnya akan menunaikan zakat fitrah. Semoga perbedaan takaran zakat fitrah tak menimbulkan masalah melainkan betul-betul menjadi berkah. Semoga.

M. Sa’dullah, Sekretaris Forum Diskusi Mahasiswa-Santri (FSMS) Pesantren Ath-Thohiriyyah Purwokerto dan Katib Syuriah NU Ranting Karangsalam, Kedung Banteng & Peneliti Islamic Studis, Klumo Banjaragung Bangsri Jepara.

Similar Posts

2 Comments

  1. Sebetulnya bila pemberian zakat fitrah dikembalikan kepada takaran, maka tidak ada lagi orang berzakat seberat 2,5 kg, karena volume takaran yang ada satu sak menurut KH. Sulaiman Rasyid (3,1 ltr setara dengan 2,68 kg), Imam Syafi'i, Imam Maliki dan Imam Hambali (3,145 ltr setara dengan 2,719 kg),Yusuf Qordowi (3,5 ltr setara dengan 3 kg) dan Imam Hanafi (4,683 ltr setara dengan 4,050 kg)

  2. Ukuran telapak menelapak antara orang Jawa dan Arab tentu beda, mungkin lebih besar dan vol banyak telapak orang arab. di lihat dari porsi makan orang arab dengan orang jawapun demikian bedanya. Maka 2,5 Kg merupakan ikhtiar yang sudah tepat untuk orang jawa sebagaimana pemahaman para ulama’ klasik. Namun Ikhtiyat dengan 3 Kg lebih dianjurkan. Rukun adalah harus, menghargai adalah harga diri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *