ABUYA KH. MUHAMMAD THOHA ‘ALAWY AL-HAFIDZ

Biasa Hidup Prihatin

Saya lahir di Desa Rejosari, Kecamatan Karangawen, Kabupaten Demak, Jawa Tengah 1953. seperti umumnya anak-anak desa waktu itu, saya pun belajar di bangku SD (Sekolah Dasar, dulu disebut sekolah rakyat) pada siang hari, dan belajar di Madrasah Diniyyah pada sore hari. Karena terbentur kesulitan ekonomi, saya tidak sempat mengikuti ujian akhir.
Ketika teman-teman melanjutkan sekolah, mondok, atau nyantri di lain daerah, saya merasa iri. Karena itu suatu hari saya nekat lari dari rumah menuju Semarang, lalu menumpang kereta api ke Surabaya. Yang ada di benak saya waktu itu adalah Pesantren Tremas (Pacitan), Pesantren Tebuireng (Jombang), dan pesantren lain di Jawa Timur. Karena tidak ada bekal dan belum punya pengalaman, saya bingung, lalu kembali lagi ke Semarang.
Ternyata, tanpa sepengetahuan saya, desa Rejosari, orang-orang geger, karena selama beberapa hari saya menghilang tanpa pamit, dan tanpa kabar sama sekali. Semuan anggota keluarga waswas, mencari saya ke sana-kemari. Tiba-tiba, di sebuah tempat di Semarang, saya terkejut. Saya disergap dari belakang. Tapi, alhamdulillah, ternyata yang menyergap adalah ayah saya sendiri, (alm). Bapak Jahudi bin Badi. Saya pun dibawa kembali pulang.
Dari kejadian itu Ayah mengetahui bahwa saya punya niat yang besar untuk mondok di pesantren. Maka keinginan saya itu terpenuhi, lalu saya dikirim ke Pesantren Futuhiyyah Mranggen (Demak) asuhan KH. Muslih. Di Mranggen itulah saya belajar berbagai ilmu keagamaan di Madrasah Tsanawiyyah dan Madrasah Aliyah.
Karena tidak ada biaya untuk mondok, selama duduk di bangku kelas II Aliyah saya trpaksa nglaju, pulang pergi, dari rumah ke pesanten. Menjelang kelas III Aliyah, ketika pesantren mulai menerapkan kurikulum nasional, lagi-lagi saya terbentur dengan soal biaya. Saya tak mampu membeli buku, sehingga tidak tamat Aliyah. Setelah nyantri di Mranggen, saya putuskan untuk khusus mengaji Al-Qur’an.
Pilihan saya adalah Kudus. Tepatnya di Bendan. Disitu saya ngaji dengan Mbah Arwani, Mbah Hisyam, dan Mbah Wahab, sekitar 1,5 tahun. Belum sampai khatam hafalan Al-Qur’an, saya pindah ke Semarang dan berguru kepada Kiai Abdullah Umar, Kauman, selama setahun, sejak 1972 sampai 1973, hingga hafalan Al-Quran saya khatam.
Setelah dari Semarang saya meneruskan belajar kitab kuning di Batokan, Kediri, Jawa Timur, kurang lebih dua tahun, dari 1976. dan selama dua tahun berikutnya, saya berusaha dan belajar mandiri, antara lain berdagang beras dan kedelai, memenuhi pesanan beberapa daerah. Hasilnya lumayan.
Dari hasil dagang itu saya sempat menabung danmembelisepeda. Tapi akhirnya saya jual, untuk memuat paspor, buat menunaikan ibadah haji sekaligus kalau bisa mengaji di Makkah. Dengan tabungan dan sedikit tambahan dari orang tua, pada 1978 akhirnya saya beragkat umrah.
Rencana tersebut mula-mula hanya secara diam-diam saya utarakan kepada kakak-kakak perempuan saya. Ternyata hal itu terciu oleh Ayah, dan alhamdulillah beliau mendukung. Ayah menjual sebagian sawah untuk bekal.
Di Tanah Suci, sejak 1978 hingga 1980, saya berguru kepada Syaikh Ismail, Syaikh Abdullah Al-Hajj, dan Syaikh Ali Yamani, saya mendapat iqamah (visa) untuk tinggal di Makkah. Pada tahun 1981 saya pulang untuk menikah, tapi dua bulan kemudian, kami berdua kembali ke Makkah. Di sana anak pertama dan kedua lahir. Beberapa tahun kemudian, 1986, kami pulang dan menetap di Purwokerto.
Alhamdulillah, selama delapan tahun di Makkah setiap tahun saya dapatmenunaikan ibadah haji. Pulang dari Makkah, sayamulai kedatangan satu-dua orang santri. Tentu berkat izin Allah SWT jualah Pesantren Ath-Thohiriyyah tumbuh dan berkembang sebagai salah satu syiar untuk menegakkan kalimah-Nya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *