Seiring dengan tumbuh kembangnya Madrasah Diniyah di desa-desa, sebuah kelompok kursus Bahasa Arab kita menjelma menjadi Madrasah Diniyah Al-Mustaqbal (At-thohiriyah Ath-Thohiriyyah). Ini terjadi di dusun Parakanonje, desa Karangsalam, Kecamatan Banyumas, Kabupaten Banyumas Purwokerto. Ini berarti bahwa jumlah Madin Awaliyah di Kabupaten Banyumas bertambah, yang menurut laporan Kasi RUA Islam setempat hingga akhir 1990 baru 61 buah. Bila idialnya dalamsetiap desa ada sebuah Madin, maka di Kabupaten Banyumas dengan jumlah desanya yang lebih 300, berarti masih banyak desa yang belum ada Madrasah Diniyah.
Pada mulanya adalah sebuah kegiatan kursus Bahasa Arab untuk anak-anak yang belajar mengaji Al-Qur’an di rumah Ustadz Juwaini, yang jumlahnya tidak seberapa banyak. Tapi setelah berjalan beberapa waktu dan kemudian ditingkatkan menjadi Madrasah Diniyah Awaliyah para pengngelola menjadi kewalahan karena jumlah yang semula hanya puluhan membengkak menjadi 400 anak. Untukmenampung animo masyarakat itu, para pengurus itu akhirnya mengambil langkah-langkah yang perlu, sepertimengatur kelas-kelas darurat, menyeleksi tingkat peserta didik dan lain-lain.

haflah-2006Sebenarnya di desa itu sudah pernah ada Madrasah Diniyah tapi sudah hapir lima tahun terakhir kegiatan itu hilang dari peredaran. Entah apa sebabnya lembaga tempat belajar agama sore hari untuk anak-anak itu kemudian tiada kabar beritanya. Padahal orang tua merasa terbantu oleh adanya Madrasah Diniyah itu. Mereka merasakan besar manfaatnya Madin. Disamping anak-anak sepulang dari SD, sore harinya mereka berkesempatan menambah pelajaran agama, tapi waktu sore tidak muspro untuk main-main saja.

Muncul ide untuk menarik minat anak-anak agar lebih giat mengaji, maka sejak 5 Oktober 1989 dirintis adanya Kursus Bahasa Arab oleh sejumlah remaja setempat. Kegiatan kursus tersebut diadakan di rumah Ustadz Juwaini, seorang tokoh yang ada di Karangsalam. Kiprah anak-anak muda itu tidak mleset, kursus Bahasa Arab yang diadakan semula dengan “coba-coba” itu benar-benar telah menarik minat anak-anak yang ternyata masih tinggi minat untuk belajar mengaji. Mereka masuk kursus itu sama dengan belajar di Madrasah Diniyah yang selama ini mereka rindukan.

Pada awalnya kegiatan itu hanya diikuti oleh 30 anak, dan mereka masuknya hanya dua kali(maksudnya 2 hari) dalam seminggu. Kepada mereka disamping mereka diberikan pelajar dasar Bahasa Arab, juga juga diberikan pelajaran beribadah sepeti doa wudlu, shalat, membaca shalawat dan ditambah pelajaran dasar bahasa Inggris. Dari hari ke hari pesertanya kian bertambah, dan sekalipun rumah Ustadz Juwaini tidak bias lagi menampung tapi pihak penggelola tidak bias menolak.
Ketika pesertanya makin membengkak menjadi 60 orang anak, pihak pengngelola semakin ditantang pengetahuannya. Tempat belajar yang selama ini numpang di rumah Ustadz Juwaini, harus mencari tempat lain. Ini pertanda seberapa jauh dukungan masyarakat terhadap kegiatan pengajian tersebut.
Pindah ke Masjid
Bersamaan dengan meluapnya semangat anak-anak untuk ngaji, paratokoh khususnya para pemuka agama desa Karangsalam mulai memikirkan masa depan kegiatan belajar mengajar diserahakan kepada pengngelola untuk diatur dan dilakukan pentaan seperlunya, diantaranya minta petunjuk ke Kantor Depag Kabupaten atau Penilik Pendidikan Agama Islam Kecamatan setempat. Sedang masalah tempat dan kemungkinan mendirikan bangunan Madrasah menjadi pemikiran Kyai dan masyarakat setempat.
Begitulah, ketika pemintanya terus meluap karena tidak hanya anak-anak dari desa Karangsalam saja tetapi juga dari desa sekitar, dua rumah yang selama ini dijadikan tempat belajar sudah tidak mampu lagi menampung. Bagaimana jalan keluar?
Atas saran KH. Thoha Alawy, takmir Masjid Jamik Parakanonje kegiatan tersebut dipindah ke masjid muali tanggal 20 Mei 1990. sekalipun belum memenuhi syarat pendidikan yang klasikal, tapi menempatkan di masjid memang lebih luas. Pesertanyapun memang labih berkembang pula hingga mencapai 400 anak yang ada dipisah menjadi lima kelas.
Apa yang menjadi pemikiran para kyai dan tokoh masyarakat setempat, alhamdulillah secara bertahap dapat diwujudkan. Pada 10 Maret 1991 telah dilakukan peletakan batu pertama pembangunan gedung Madrasah Diniyah Ath-Thohiriyyah “Al-Mustaqbal”. Upacara sederhana itu disaksikan oleh pejabat dan sesepuh tingkat desa dan Kecamatan. Diharapkan usaha gotong royong masyarakat itu akan segera berhasil menenmpatkan murid-murid Madin “Al-Mustaqbal” ke kelas yang memadahi. Dan selanjutnya akan dilakukan pembenahan di bidang kurikulum untuk menyesuaikan dengan Keputusan Menteri Agama No 3 Tahun 1983 tentang kurikulum Madrasah Diniyah. [Akhmad Saefudin].

Similar Posts

3 Comments

    1. Untuk sementara santri yang bermukim di pesantren minimal usia SLTA…sedangkan usia anak-anak hanya pada unit TPQ saja..pada sore hari..terimakasih

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *