Oleh: Akhmad Saefudin SS ME

Beruntung sekali saya bisa menghadiri pengajian umum KH Imam Masyhadi Alhafiz di Pondok Pesantren Ath-Thohiriyyah Parakan Onje, Ahad (6/5) silam. Di penghujung pengajian, Kiai MasyhadI bertutur tentang stroke yang dialaminya dan sekarang sembuh total.

Menurutnya, ada tiga hal yang menyebabkan seseorang sakit. Yakni berlebihnya suatu zat di dalam tubuh, terganggu atau berubahnya anatomi tubuh, dan gangguan jin qarin.

Dikatakan, berwudu secara benar dapat menyebabkan jin qarin terbakar. Tanda-tanda terbakarnya jin qarin adalah, kata Kiai Masyhadi, di tengah-tengah wudu kita ingin kentut. Sebaiknya kentut saja, lalu kita ulangi wudu.

Sekadar catatan, pada diri setiap orang Muslim ada jin qarin yang pekerjaannya mengganggu atau memprovokasi orang tersebut untuk berbuat dosa dan maksiat.

Agar terlindung dari gangguan jin qarin, kita dianjurkan untuk menyempurnakan wudu. Dan, akan lebih baik lagi, jika kita selalu dalam keadaan berwudu (suci).

Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan basuhlah kakimu sampai dengan kedua mata kaki” (Surat Al-Maidah: 6).

Ayat tersebut di atas adalah dalil tentang kewajiban (bersuci) sebelum mendirikan shalat. Selanjutnya, istilah wudu diperkenalkan oleh Rasulullah SAW kepada umatnya.

Bagi setiap Muslim, wudu bukanlah barang baru. Dalam sehari semalam, kita minimal lima kali mengerjakan wudu. Pertanyaannya, sudahkah kita melakukannya sesuai perintah dasar wudu itu sendiri?

Marilah kita cermati praktik berwudu kita sehari-hari, terutama pada saat membasuh tangan dan kaki. Dari amatan sekilas, orang biasanya sekadar membasuh kedua tangan dan kedua kaki begitu saja. Jika diamati lebih jeli, pada saat membasuh kedua tangan di bawah pancuran, orang pada umumnya mengucurkan air pancuran dari arah siku-siku. Demikian pula di saat membasuh kedua kaki; kucuran air pancuran biasanya dimulai dari atas mata kaki terlebih dulu.

Mari kita kembali ke ayat Surat Al-Maidah tentang perintah membasuh tangan dan kaki. Lihat dan cermati frase, ‘basuhlah tanganmu sampai dengan siku’ dan ‘basuhlah kakimu sampai dengan kedua mata kaki’.

Membasuh tangan sampai dengan kedua siku, menurut Kiai Masyhadi, menunjukkan bahwa siku adalah batas akhir. Demikian halnya membasuh kaki sampai dengan kedua mata kaki; ini menunjukkan bahwa mata kaki adalah batas akhir.

Sesuai anjuran Kiai Masyhadi, saya pun mulai mempraktikkan cara berwudu sesuai tuntunan Alquran. Yakni, saat membasuh tangan dimulai dari ujung jari menuju ke arah siku, bukan sebaliknya. Begitu halnya saat membasuh kaki, saya mulai dari ujung jari menuju ke arah mata kaki, dan bukan sebaliknya.

Setelah saya praktikkan berulang kali, cara berwudu seperti ini sangat menghemat air. Saya tidak butuh kucuran air deras, kran air cukup saya buka separohnya saja. Perlu dicatat, berwudu bukankah mengucurkan air untuk membuang najis; berwudu adalah membasuh dan mengusap sejumlah anggota tubuh dalam rangka mengangkat (baca: menghilangkan) hadats kecil.

Walhasil, ternyata berwudu dengan cara yang benar itu sekaligus hemat pemakaian air. Sebab, memakai air secara berlebih alias ‘isyraf’ justru bertentangan dengan sabda Rasulullah SAW. Sehingga, manakala antre di tempat wudu dan air kran tidak deras mengucur, kondisi ini tak perlu dipersoalkan. Wudu yang baik dan benar tak butuh kucuran air yang besar. Betapa pun, kiciran air kecil itu mencukupi untuk melakukan wudu yang sempurna. (*)

Sumber: Banyumas Ekspres, edisi Senin Wage 14 Mei 2018

Similar Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *