Banyumas Pesantren-Keunikan Kitab Kuning (1)
Dari Yang “Gundul” Sampai Yang Tanpa Tanda Berhenti.
Kitab merupakan khazanah terpenting dalam tradisi intelektual Islam yang hingga kini terus dikaji. Tak hanya memiliki kandungan ilmu yang sangat berbobot, di sisi lain kitab kuning juga memiliki keunikan-keunikan yang tida terdapat pada buku-buku barat.
Sepanjang sejarahnya, Islam terkenal memiliki khazanah keilmuan dan tradisi intelektual yang luar biasa. Bahkan banyak negeri muslim yang pada era kejayaannya menjadi mercu suar peradaban dunia. Tengok saja Baghdad di era kejayaan Dinasti Abbasiyyah atau Cordova pada masa kejayaan Dinasti Umayyah II, yang termasyhur sebagai kota ilmu dan surga para pelajar dari seluruh dunia.
Belakangan tradisi tersebut berlanjut di beberapa kota di negeri-negeri muslim modern. Seperti Kairo di Mesir, Makkah serta Madinah dan Riyadh di Saudi, Qum dan Isfahan di Iran, Damaskus di Syiria, Islamabad dan Lahore di Pakistan, Khartoum di Sudan dan –tak lupa– Baghdad di Irak, sebelum kota bersejarah itu diluluhlantakkan oleh Perang Teluk. Namun sayangnya, kemercusuaran kota-kota muslim modern itu hanya sebatas pada ranah ilmu keagamaan saja. Sedangkan dalam ilmu-ilmu umum seperti kedokteran, tekhnologi, dan sains, kota-kota ilmu di negeri-negeri muslim modern baru mampu menjadi penonton saja.
Selain kemasyhuran madrasah-madrasah dan perguruan tingginya, pusat-pusat peradaban Islam masa lalu tersebut juga dikenal sebagai tempat lahirnya para ulama besar yang telah menghasilkan karya-karya besar dalam berbagai ranah keilmuan. Di antara karya-karya besar para ulama dan ilmuwan muslim yang paling fenomenal dan bisa terus dinikmati oleh generasi-generasi sesudah mereka, termasuk di negeri tercinta ini adalah yang berbentuk buku atau yang lebih lazim disebut kitab.
Menelisik kembali kitab-kitab karya ulama besar masa lalu sungguh merupakan suatu keasyikan tersendiri, bahkan bagi kalangan santri yang dalam kesehariannya sangat lekat dengan kitab-kitab tersebut. Selain karena kandungan keilmuannya yang laksana lautan, juga karena keunikan-keunikan yang melekat dalam sistem penulisan, cara penyampaian hingga tradisi pengkajian dan kritik serta komentarnya.
Dalam tradisi intelektual Islam, kitab-kitab karya ulama era kejayaan Islam biasa disebut al-kutub al-qadimah (kitab-kitab klasik), sebagai pembeda dengan karya tulis ulama modern yang biasa disebut al-kutub al-‘ashriyyah alias kitab-kitab modern atau kontemporer.
Sedangkan dalam tradisi pesantren di tanah air, kitab-kitab karya para ulama besar itu –baik yang klasik maupun modern—juga mempunyai sebutan lain, yakni kitab kuning.
Kitab Gundul
Selain perbedaan kurun penulisan, kitab-kitab klasik dan kitab kontemporer juga dibedakan dari cara penulisan. Kitab-kitab klasik biasanya ditulis secara sambung menyambung, dari awal sampai akhir kitab, tanpa tanda berhenti semacam titik, koma, dan sebagainya, atau dalam bahasa Jawa disebut ndlujur. Kitab-kitab klasik juga bisa ditulis tanpa syakl atau harakat (tanda baca atau sandangan,- Jawa red), seperti fathah, kasrah, dhammah, atau sukun, sama sekali. Karena tanpa tanda baca, kitab kuning juga biasa disebut kitab gundul.
Karena nyaris tanpa rambu-rambu itulah pembacaan kitab klasik sering dianggap sulit oleh sebagian orang. Yang menyulitkan juga, terkadang kata ganti dalam suatu kalimat (terutama dalam kitab-kitab fiqih) merujuk kepada subyek yang letaknya berhalaman-halaman di depannya. Ini tentu menuntut keterampilan dan kejelian tersendiri.
Sedangkan pada kitab-kitab karya ulama modern, penulisan isinya lebih sistematis, dengan membagi tulisan dalam bab-bab, pasal-pasal, dan alinea-alinea. Tentu lengkap dengan tanda berhenti seperti koma dan titiknya. Sebagian kitab modern juga sudah mencantumkan syakal atau harakat pada huruf-hurufnya, meski masih banyak juga yang tetap lebih suka menuliskannya dengan gundulan.
Ciri khas lain yang membedakan kitab klasik dengan kitab modern adalah dalam penjilidannya, meski belakangan cetakan terbaru kitab klasik juga sudah banyak yang dijilid ala kitab modern. Berbeda dengan kitab modern yang dijilid rapi dan indah sebagai satu kitab tebal, kitab-kitab klasik, terutama yang tidak terlalu tebal, lembaran-lembaran kertasnya tidak dijilid menjadi satu. Bahkan bisa dibilang sama sekali tidak dijilid.
Setiap sepuluh atau dua puluh lembar yang tercetak per empat halaman dilipat menjadi satu, berdasarkan urutan halaman dan kedekatan tema pembahasan. Setiap satu lipatan lembaran kitab disebut satu korasan. Biasanya, santri-santri yang akan mengaji kitab-kitab besar tidak membawa seluruh kitabnya, melainkan hanya korasan yang akan dikaji hari itu saja.
Yang tak kalah unik dalam kitab kuning adalah format penyusunan naskah. Dalam satu halaman kitab kuning bisa terdiri dari satu, dua atau tiga bagian naskah. Kitab-kitab dasar biasanya hanya terdiri dari satu naskah, yakni naskah inti atau matan. Sementara kitab kelas menengah biasanya terdiri dari dua bagian naskah, yakni matan dan syarah (penjelasan atau penjabaran matan). Pada kitab yang lebih besar lagi, dua bagian itu ditambah hamisy, catatan pendamping, baik yang merupakan penjelasan baru dari matan dan syarah yang sudah ada, maupun tulisan lain yang dianggap memiliki kesamaan ide dengan tulisan utama.
Berbeda dengan kitab bernaskah tunggal yang tata letaknya biasa, kitab bernaskah ganda disusun dengan cara yang unik. Setiap halaman dibuat dua bagian: bagian pinggir untuk matan kitab, dan bagian tengah dengan pembatas garis keliling untuk syarah. Karena berisi penjelasan matan, bagian syarah biasanya dibuat lebih besar.
Sedangkan pada kitab yang memiliki hamisy, matan dan syarah utama diletakkan di bagian tengah. Sementara bagian pinggirnya diisi oleh catatan pendamping yang terkadang merupakan keterangan dari syarah dan matan di tengah, terkadang juga berisi matan yang sama namun dengan syarah yang berbeda. Bahkan ada juga kitab yang hamisynya berisi kitab lain yang mengkaji tema yang sama.
Metode pengajaran kitab kuning di pesantren tradisional biasanya dilakukan dengan dua cara: sorogan dan bandungan. Pada sistem sorogan masing-masing santri menghadap dan membacakan halaman kitab yang dikaji di depan gurunya. Sang guru mendengarkan bacaan muridnya sambil sesekali membetulkan kesalahan dalam membaca atau menerjemahkan.
Menyebut Kedudukan Kata
Sedangkan pada sistem bandungan sekelompok santri duduk di hadapan seorang kiai dan mendengarkannya membaca serta menjelaskan isi kitab. Sesekali masing-masing santri memberikan catatan di kitabnya sendiri, baik yang berupa tanda baca, makna mufradat (kata perkata) atau keterangan yang dianggap penting lainnya.
Ada juga dua sistem lain yang belakangan populer di kalangan santri senior atau para kiai, yakni sistem jalsah (diskusi kelompok) dan halaqah (seminar). Biasa dua sistem pengkajian kitab ini dilakukan dalam bahtsul masail diniyyah waqi’iyyah, pembahasan masalah-masalah keagamaan kontemporer, yang kerap digelar oleh Nahdlatul Ulama di berbagai tingkatannya.
Yang tak kalah menarik untuk ditelisik adalah cara membaca dan menerjemahkan kitab kuning ala pesantren tradisional yang berbeda dengan metode pembacaan kitab di pesantren modern atau di perguruan-perguruan tinggi di tanah air. Di pesantren modern, pembacaan dan penerjemahan kitab dilakukan per kalimat atau per paragraf, dengan bentuk terjemahan jadi atau kalimat sempurna. Sedangkan di pesantren tradisional, pembacaan dan penerjemahan dilakukan per kata dengan menyebutkan kedudukan kata tersebut menurut ilmu nahwu (grammar)-nya.
Misalnya dalam menerjemahkan kata alhamdulillahi rabbil ‘alamin. Kalangan non santri tradisional akan langsung membacanya satu kalimat lengkap, baru diterjemahkan, “Segala puji bagi Allah Tuhan seru sekalian alam”. Sementara di pesantren tradisional di Jawa, kalimat tersebut akan dibaca, “Alhamdu utawi sekabehane puji, iku lillahi kagungane gusti Allah, rabbil alamina kang mengerani piro-piro alam kabeh.” Atau dalam tradisi pengajian kitab ulama Betawi akan dibaca, “Alhamdu bermulanya segala pujian, itu lillahi kepunyaan Allah, rabbil alamina yang menguasai seluruh alam semesta.”
Meski tampak sederhana dan ndeso, sesungguhnya penerjemahan ala kaum santri itu membutuhkan keterampilan khusus dan pengetahuan dalam ilmu tata bahasa arab. Misalnya, penyebutan kata utawi atau bermula yang dalam penulisannya sering dilambangkan dengan huruf mim, menunjukkan bahwa kata alhamdu tersebut berkedudukan sebagai mubtada’ atau kata benda di awal kalimat (pokok kalimat?).
Demikian juga kata iku atau itu yang dilambangkan dengan huruf kha’ yang menunjukkan kedudukannya sebagai khabar. Atau kata kang (yang) yang menunjukkan kedudukan katanya sebagai sifat dari sang subyek kalimat. (bersambung)
Ahmad Iftah Sidik, (Santri Asal Tangerang)