Banyumas Pesantren-Manaqib Nurul Burhani: Bacaan Populer Karya Ulama Mranggen
Kitab Manaqib Nurul Burhani disusun oleh seorang ulama bersahaja asal Mranggen, desa kecil di perbatasan Semarang – Demak, kitab terjemah dan syarah manaqib itu kini menjadi bacaan paling populer di kalangan warga nahdliyyin.
Hampir semua warga nahdliyyin, baik yang tergabung dalam salah satu thariqah mu’tabarah maupun tidak, sangat akrab dengan pembacaan manaqib Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani. Dalam berbagai acara, terutama pada malam 11 bulan hijriah yang merupakan tanggal wafat sang wali, kitab manaqib yang mengisahkan sebagian riwayat hidup sang wali beserta sekelumit ajarannya itu menjadi bacaan “wajib”, seperti halnya kitab-kitab maulid.
Kitab manaqib Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani yang paling termasyhur adalah Al-Lujjainid Dani karya ulama besar Madinah, Syaikh Ja’far bin Hasan bin Abdul Karim Al-Barzanji. Kitab yang bersyair indah itu tersebar di berbagai negeri muslim di dunia, terutama di daerah basis penyebaran thariqah Qadiriyyah. Di Indonesia sendiri kitab ini sudah masuk sejak akhir abad 18 M, bersamaan dengan tersebarnya thariqah Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah.
Bahkan di negeri ini, hampir semua kitab Al-Lujjanid Dani diterbitkan bersama syarahnya (keterangan atau komentar) dalam bahasa-bahasa daerah. Salah satu edisi manaqib Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani bersyarah yang paling populer adalah kitab An-Nurul Burhani fi tarjamatil Lujjainid Dani fi Dzikri Nubdzatin min Manaqibisy Syaikh Abdil Qadir Al-Jilani karya Syaikh Muslih Abdurrahman Al-Maraqi, mursyid Thariqah Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah asal Mranggen, Demak Jawa Tengah.
Berbeda dengan syarah lain yang hanya satu jilid, kitab karya pengasuh Pondok Pesantren Futuhiyyah Mranggen yang juga Rais Am Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah pada masanya itu terdiri dari dua jilid. Jilid pertama yang selesai ditulis pada tahun 1382 H/1962 M banyak mengupas tentang ulasan seputar pembacaan manaqib seperti hukum manaqiban, dalil-dalil penggunaan hadits dhaif untuk fadhailil a’mal (keutamaan beribadah) dan tawassulan. Diterangkan juga seputar kewalian, karamah dan fadhilah atau keutamaan membaca manaqib. Semua penjelasan Syaikh Muslih juga dilengkapi dengan keterangan kitab-kitab rujukan karya ulama salaf ternama.
Dan di bagian terakhir Syaikh Muslih mengajarkan tata cara membaca manaqib yang baik dan benar, lengkap dengan beberapa amalan sebelum membaca manaqib dan sesudahnya. Seperti pembacaan enam surah pendek : Al-Fatihah, An-Nas, Al-Falaq, Al-Ikhlas, Al-Qadr dan Al-Insyirah, masing-masing tujuh kali lalu disambung doa pembuka keberkahan rizqi, yang dianjurkan diamalkan sebelum membaca manaqib.
Mencegah Kefakiran
Dinukilkan juga beberapa doa ternama seperti doa ismul a’zham (nama Allah yang Mahaagung), doa bagi orang yang ingin mendapatkan putra-putri yang shalih dan dan doa lithalabil ghina wa nafyil faqr (memperoleh kekayaan dan mencegah kefakiran) yang banyak diajarkan oleh ulama ternama. Doa-doa tersebut dianjurkan oleh Syaikh Muslih untuk dibaca seusai membaca manaqib.
Sementara pada jilid kedua yang usai ditulis pada tahun 1383 H/!963 M, Syaikh Muslih membagi isi kitabnya menjadi dua bagian. Bagian yang atas berisi matan (tulisan pokok) kitab Al-Lujanid Dani karya Syaikh Ja’far Al-Barzanji, lengkap dengan qashidahnya. Sedangkan bagian bawah, dengan tulisan yang lebih kecil, Syaikh Muslih menyampaikan terjemahan serta syarah (komentar dan keterangan)-nya atas kitab Al-Lujjainid Dani.
Keterangan tambahan dari Syaikh Muslih yang bersumber dari kitab-kitab besar itu sangat menambah wawasan pembaca manaqib mengenai kehidupan dan ajaran Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani. Ada juga nukilan kisah-kisah langka khas kaum thariqah. Seperti dialog ruhaniah yang cukup menarik antara Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani dengan Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit, tentang pilihan Syaikh Abdul Qadir berfatwa menurut madzhab Hanbali. Atau kisah dialog malaikat Izrail dengan Syaikh Abdul Qadir menjelang wafatnya.
Di penghujung kitab, usai doa penutup manaqib, Syaikh Muslih juga melampirkan dua doa qashidah karya dua wali besar yang menurutnya sangat baik dibaca sebagai penutup majelis manaqiban. Qashidah pertama merupakan gubahan wali agung Al-Habib Abdullah bin Husein bin Thohir Ba’alawi yang sangat akrab di masyarakat, terutama setelah dipopulerkan oleh Ustadz H. Salafudin Benyamin Pekalongan, dengan judul syair Ya Arhamar Rahimin.
Sedangkan qashidah kedua adalah karya Sulthanul Auliya Al-Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad. Dalam keterangannya, qashidah ini digubah oleh sang wali untuk sebagai permohonan agar bencana kemarau yang melanda negerinya diangkat. Syaikh Muslih juga mengisahkan pengalaman gurunya Syaikh Ibrahim Brumbung yang mengamalkan qashidah tersebut saat daerahnya idlanda kemarau panjang. Dan, Subhanallah, tak lama setelah syair-syair indah itu dipanjatkan, hujan pun turun dengan lebatnya.
Masih banyak lagi keterangan dan pelajaran berharga yang disampaikan Syaikh Muslih dalam dua jilid karyanya tersebut.
Syaikh Muslih bin Abdurrahman bin Qosidil Haq Al-Maraqi lahir sekitar tahun 1908 M di Mranggen, Demak Jawa Tengah. Nasabnya ke atas bersambung kepada Kanjeng Sunan Kalijaga melaui gari Pangeran Ketib bin Pangeran Hadi. Sementara dari garis ibunya, Nyai Hj. Shofiyyah, nasab Kiai Muslih akan sampai pada Ratu Kalinyamat, Sultan Trenggono dan akhirnya Raden Rahmat atau Sunan Ampel.
Tidak ada hal yang menonjol dari Muslih kecil, selain ketawadhuan sikap dan kebersahajaan hidupnya yang belakangan terus mewarnai perjalanan hidup sang mursyid hingga wafatnya. Usai mempelajari dasar-dasar ilmu agama, ia lalu nyantri di Pesantren Brumbung, Demak yang diasuh Syaikh Ibrahim Yahya, seorang ulama dan mursyid Thariqah Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah generasi kedua di Jawa setelah Syaikh Abdul Karim Banten. Dari Syaikh Ibrahim ini pula Syaikh Abdurrahman, ayah Kiai Muslih, memperoleh ijazah kemursyidannya yang diturunkan kepada sang putra.
Mengurung Diri
Usai mengaji di Brumbung, Kiai Muslih nyantri di Mangkang, Semarang Barat, tempat Syaikh Soleh Darat dulu pernah nyantri. Kemudian Kiai Muslih pindah lagi ke Pesantren Sarang, Rembang, Jawa Tengah, yang diasuh oleh K.H. Imam dan K.H. Zuber, ayahanda ulama kharismatik Sarang saat ini, K.H. Maimun Zuber.
Selain mengaji kepada kedua ulama sepuh itu, Muslih juga mengaji kalong kepada ulama sepuh di Lasem, K.H. Ma’shum, ayahanda K.H. Ali Ma’shum, pengasuh Pesantren Krapyak Yogyakarta yang juga mantan Rais Am PBNU. Di Lasem, Muslih berkawan dekat dengan Ali Ma’shum. Karena kedekatan itu setahun setelah pulang dari Pesantren Sarang, Muslih memilih nyantri di Pesantren Tremas, Arjosari, Pacitan, Jawa Timur, menyusul sahabatnya yang sudah lebih dulu nyantri.
Ada kisah menarik saat keduanya nyantri di Tremas. Suatu ketika Kiai Ali Ma’shum ditunjuk oleh pengasuh pesantren untuk menjadi kepala madrasah diniyyah di lingkungan pesantren. Dengan tugas barunya yang terbilang berat Ali pun melepaskan tugas awalnya mengajar nahwu dengan pegangan kitab Alfiyyah Ibnu Malik.
Sebagai penggantinya Ali Ma’shum menunjuk Muslih yang saat itu masih dalam taraf belajar. Tentu saja yang ditunjuk gelagapan dan berusaha mengelak. Namun Ali terus memaksanya seraya memberinya dorongan bahwa cara paling efektif untuk menguasai ilmu nahwu adalah dengan mengajarkannya kepada orang lain.
Akhirnya Muslih menyerah dan menerima tugas tersebut. Namun sebelumnya ia minta waktu terlebih dulu untuk mengkaji lagi kitab nahwu tingkat tinggi tersebut. Setelah itu Muslih mengurung diri di dalam kamar selama seminggu. Siang malam ia membolak-balik halaman kitab tersebut sambil terus berdoa mohon bimbingan dari Allah SWT. Tepat seminggu kemudian, ia keluar dari kamar dan mulai mengajarkan kitab Alfiyyah di kelas-kelas.
Dan hebatnya, entah apa yang dilakukan Muslih di dalam kamar, ketika keluar ia bukan saja telah menguasai seluk beluk kitab Alfiyyah, tetapi Muslih juga berhasil menemukan metode pengajaran yang khas dan menarik sehingga banyak murid-murid yang semula benci pelajaran nahwu berbalik menjadi suka. Salah satu murid yang mengidolakan pengajaran ilmu nahwu ala Kiai Muslih adalah DR. Mukti Ali, mantan menteri Agama RI di tahun 1970an.
Demikianlah, beberapa tahun kemudian ia pulang dari Tremas sebagai ulama muda yang alim dalam ilmu fiqih, ushul fiqh, hadits, ilmu-ilmu Al-Quran dan –terutama– ilmu alat. Bahkan dengan keahlian khususnya di bidang ilmu, tak heran pesantrennya di Mranggen belakangan juga dikenal sebagai salah pusat pembelajaran ilmu alat terbaik.
Sistem pembelajaran di Tremas yang menganut pola klasikal belakangan juga menginspirasi Kiai Muslih untuk merombak sistem pendidikan di Mranggen yang masih menganut pola kuno, yakni halaqah sorogan dan bandongan. Ketika dipercaya menggantikan ayah dan kakaknya untuk mengasuh Pesantren Mranggen pada tahun 1936, ia langsung mendirikan madrasah-madrasah diniyyah sebagai tempat aktivitas belajar mengajar.
Selain mengasuh pesantren Kiai Muslih juga mulai terjun ke dunia thariqah. Ia mengambil bai’at pertamanya kepada K.H. Abdurrahman Menur, Mranggen, salah seorang khalifah Syaikh Ibrahim Yahya Brumbung. Setelah menjalani suluk dan riyadhah, Muslih dibai’at menjadi mursyid Thariqah Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah oleh Syaikh Abdul Lathif Banten dan mulai menerima bai’at dari murid-muridnya.
Memimpin Pejuang
Dengan bekal kealimannya dalam berbagai cabang ilmu, Kiai Muslih pun segera dikenal sebagai ulama thariqah yang jempolan. Pengakuan atas ketokohannya terbukti ketika Kiai Muslih yang saat itu menjabat wakil Rais Am Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah tampil mengendalikan organisasinya, karena sang Rais Am, Kiai Hafidz dari Rembang sudah sangat uzur.
Ketika dalam tubuh jam’iyyah muncul perpecahan, karena ada sebagian tokohnya yang terjun ke politik praktis, Kiai Muslih bersama beberapa ulama sepuh lain mempelopori berdirinya Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah (Jatman).
Selain mengajar dan membimbing murid-murid thariqahnya, ketika pecah perang kemerdekaan, Kiai Muslih juga aktif memimpin laskar Sabilillah. Tak hanya itu, Kiai yang lekat dengan sarung dan sorban melilit di kepalanya itu juga menjadikan Pesantren Mranggen sebagai basis pertahanan seluruh pasukan jihad yang berjuang di sektor Semarang Timur, yang terdiri pasukan Hizbullah, Sabilillah dan Barisan Kiai.
Tak hanya piawai mendidik dan memimpin massa, Kiai Muslih juga terbilang produktif menulis. Selain kitab syarah manaqib An-Nurul Burhani yang legendaris, ayah sebelas anak itu juga menulis tak kurang dari enam belas buku dan risalah yang rata-rata berbahasa jawa.
Kebanyakan karya-karya sang allamah berkaitan dengan ilmu tashawwuf khususnya yang berlairan Qadiriyyah dan Naqsyabandiyyah, seperti kitab Al-Futuhatur Rabbaniyyah fi Thariqatil Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah. Banyak petunjuk, panduan dan ajaran berthariqah yang tercantum dalam kitab-kitab karya Kiai Muslih belakangan menjadi pegangan Jatman dalam menyusun adab dan tata laksana perthariqahan di Indonesia.
Pertengahan bulan Ramadhan 1401H/1981M, sebagaimana cita-citanya sejak lama, Syaikh Muslih Abdurrahman wafat di tanah suci Makkah ketika tengah menunaikan ibadah umrah. Jenazahnya dimakamkan di Ma’la bersama ribuan orang yang telah wafat di bumi Al-Haramain tersebut.
Sementara itu sepeninggal Syaikh Muslih, kemursyidan thariqahnya di Mranggen dilanjutkan oleh adiknya K.H. Ahmad Muthohhar Abdurrahman, putranya K.H. M. Luthfil Hakim, dan menantunya K.H. Makhdum Zein. Juga K.H. Muhammad Ridwan, dan Kiai Abdurrahman Badawi, yang sebelumnya menjadi khalifah Syaikh Muslih.
Melanjutkan kebiasaan Syaikh Muslih, pengajian thariqah atau lazim disebut tawajjuhan, yang kini sudah diasuh oleh generasi ketiga yang dipimpin K.H.M. Hanif Muslih, Lc, K.H. Abdurrahman Badawi dan K.H. Sa’id Labib Luthfil Hakim, digelar seminggu dua kali. Hari Senin untuk kaum pria dan hari Kamis untuk ibu-ibu.
Ahmad Iftah Sidik (santri asal Tangerang)
rindu mengaji kitab
saatnya kebenaran muncul haqqul yakin wali-wali yang dulu adalah ahli ibadah pembawa kesejukan Ilahiyah
izin meng copy