Banyumas Pesantren-Haid dan Haji

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Pak Ustadz yang saya hormati. Kami melaksanakan haji, ketika saya sampai di Makkah untuk berhaji dan berthawaf qudum (baru sampai) waktu saya datang bulan (haid). Bolehkan saya thawaf ketika saya tidak suci (mensturasi)? Terimakasih sebelumnya. Anissah-Bekasi Jakarta

Jawaban:

Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh

Thawaf qudum yaitu thawaf yang dilakukan oleh orang yang akan berhaji ketika memasuki Makkah dengan langsung dalam keadaan berihram. Thawaf tersebut (yaitu Thawaf Qudum=tahiyah=liqa’=wushul) menurut para ulama ahli fiqh hukumnya sunat, baik menurut pendapat Imam Syafi’i, Ahmad (Hambali), dan Abu Hanifah (Hanafi). Kiranya Thawaf itu tidak jauh bedanya dengan shalat tahiyyatul masjid, yang bertujuan untuk menghormati Ka’bah, dan hukumnya sunat. Dan menurut riwayat Aisyah RA. Bahwa yang pertama kali dikerjakan oleh Nabi SAW ketika masuk Makkah yaitu berwudlu lalu berthawaf di Baitullah (Masjidil Haram). Maksudnya yaitu thawaf qudum.

Dalam hal ini thawaf tersebut hukumnya sunat, tidak berdosa dan tidak mendapat siksaan jika sekiranya hal tersebut ditinggalkan, hajinya tetap sah, terutama ditinggalkannya karena berhalangan.

Tetapi menurut Imam Malik (Maliki) bahwa thawaf qudum hukumnya wajib bagi mereka yang datang ke Makkah untuk ihram haji, termasuk orang yang mau menetap di Makkah lalu setelah itu keluar dari kota tersebut. Adapun bagi orang yang berihram untuk umrah, maka baginya tidak ada thawaf qudum. Juga tidak diwajibkan bagi orang yang berhaji, haid (menstruasi), nifas (baru melahirkan), pingsan, gila dan mereka yang berhalangan (udzur) untuk melaksanakan thawaf qudum. Misalnya yang khawatir manasik hajinya yang lain bisa ketinggalan jika thawaf qudum.

Karena itulah penanya yang mengalami hal tersebut dapat meninggalkan thawaf tersebut ketika memasuki kota Makkah, dan boleh menunggu jika suci dari haid tersebut, lalu mandi dan bersuci (berwudhu) dan melaksakan thawaf qudumnya.

Dalam hadits disebutkan: “Wanita yang sedang nifas dan haid harus mandi dan ihram, melaksanakan segala amalan manasik haji kecuali wanita-wanita yang haid dan nifas tersebut yang tidak dibolehkan berthawaf di Masjidil Haram kecuali yang telah bersuci (dan mandi)”. (HR. Ahmad, Turmudzi, Abu Daud, dari Abdullah bin Abbas RA.)

Dengan hadits ini para ulama fiqh sepakat mewajibkan thawaf di sekitar Ka’bah dengan syarat orang berthawaf itu suci dari hadats dan najis. Dan diharamkan berthawaf bagi orang yang berhadats kecil (tidak berwudhu), juga yang berhadas besar, berjunub, haid dan nifas.
Pada hadits diatas yang menyebutkan “jika setelah suci” (hingga suci) maksudnya yaitu berakhirnya masa haid dan telah mandi.

Dalam hadits yang diriwayatkan Aisyah menyebutkan bahwa, “Nabi SAW telah mendatangi saya (Aisyah) yang ketika itu saya menangis (ketika menunaikan haji bersama Nabi), Maka Nabi SAW menanyakan: “Apakah engkau haid? Aisyah mengatakan: ”Ya. Nabi menyatakan: Ini adalah ketetapan Allah pada wanita; maka laksanakanlah haji itu, tidak boleh berthawaf di Ka’bah kecuali menjadi suci (telah mandi).

Hadits ini menunjukkan pada kita bahwa wanita yang haid dan nifas tidak boleh berthawaf di Ka’bah kecuali telah putus darah haidnya lalu mandi. Jika haid tersebut terjadi pada permulaan musim haji, maka baginya dibolehkan mengerjakan segala amalan haji kecuali berthawaf di Ka’bah. Teristimewa melakukan thawaf Rukun/Thawaf Ziarah. Thawaf tersebut sesudah wukuf di Arafah, yang waktunya dimulai setelah terbit fajar pada hari raya kurban (Idul Adha) tanggal 10 Dzulhijjah.

Jika terjadi haid bagi wanita tersebut pada akhir-akhir waktu haji maka baginya boleh berthawaf setelah menstruasinya telah berakhir lalu berthawaf ifadhah untuk menyempurnakan hajinya. Bahkan boleh menggunakan obat untuk menghilangkan haid agar bisa menyelsaikan thawafnya. Dan Ibnu Umar pernah ditanya tentang wanita yang membeli obat untuk menghilangkan haidnya agar segera bisa mengakhiri manasik hajinya, maka beliau menetapkannya bahwa hal tersebut tidak apa-apa. Bahkan diberi resep tradisonal dari ramuan tumbuhan arak (yang termasuk untuk bahan sugi).

Kurang lebihnya kami mohon maaf yang sebesar-besarnya.

(M. Sa’dullah) Staf Pengajar Pesantren Ath-Thohiriyyah Purwokerto, Banyumas. Peneliti Islamic Wetan Kuburan City, RT 2/5 Klumo, Banjaragung, Bangsri, Jepara.

Similar Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *