Purwokerto Pesantren-Menyantrikan Anak Jalanan Jateng
Awalnya anak-anak itu direkrut di jalan-jalan dan dibawa ke rumah transisi. Di rumah transisi mereka didata dari siapa orang tuanya, pendidikannya, hingga penyak itnya. Setelah jelas bahwa mereka benar-benar anak jalanan, mereka dibawa ke lembaga pendidikan berasrama (gresnews, 18/10/2010).
Tahun ini, sedikitnya 40 pesantren di Jawa Tengah ditunjuk Kemenag sebagai Pondok Pesantren (Ponpes) Dikterapan. ”Setiap pesantren yang ditunjuk akan dihuni sekitar 40 anak jalanan,î ujar KH Amrul Choiri, Ketua Asosiasi Ponpes Dikterapan Jawa Tengah (S M, 19/03/11).
Ponpes Dikterapan juga diselenggarakan di DKI Jakarta (1.500 anak), DIY (500), Banten (1.250), Jawa Barat (1.500), Jawa Timur (1.750), Sulawesi Selatan (1.000), dan Sulawesi Utara (1.000).
Santri anak jalanan itu akan dibina selama tiga tahun. Pendidikan difokuskan pada keahlian dan keterampilan serta pembenahan mental spiritual. Kebutuhan pendidikan, sarana prasarana hingga biaya hidup ditanggung pemerintah, dengan alokasi Rp 500 ribu/santri/bulan.
Dalam konteks Indonesia, pesantren punya peran strategis mengakselerasi peradaban bangsa ke arah yang lebih baik. Pesantren merupakan aset potensial bagi kemajuan bangsa di masa depan. Potensi itu dapat dilihat dari jumlah pesantren yang mencapai 14.700 lebih, tersebar di berbagai pelosok Nusantara.
Input pesantren sebagian besar kalangan masyarakat menengah ke bawah. Hasil penelitian menunjukkan, 5-10% alumnus pesantren menjadi kiai, selebihnya jadi tokoh politik, budayawan, pengusaha, dan lain-lain (Wawasan, 06/10/10).
Mengutip anggota Komisi X DPR Hanif Dakhiri, pesantren, memiliki keunggulan dan kekhasan yang tak tertandingi oleh lembaga pendidikan lain.
Tidak hanya dalam hal kedalaman pendidikan agama namun juga peran sosial kemasyarakatan. Karena itu, Hanif Dakhiri mendesak pemerintah memfasilitasi pesantren lewat bantuan vokasional. Antara lain dengan memberi kesempatan membuka sekolah menengah kejuruan (SMK) yang sesuai den gan karakter dan lingkungan sosial masingmasing dan membangun balai latihan kerja (BLK).
Betapa pun, kehadiran SMK dan BLK di pesantren berdampak pada output pesantren, yakni santri yang memiliki karakter khas pesantren dan kompetensi profesional untuk memasuki dunia kerja.
Cara paling nyata pemerintah membantu pesantren adalah mengakui ijazah yang dikeluarkan. Pasalnya, banyak lulusan pesantren tak dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan lanjutan ataupun masuk ke dunia kerja gara-gara ijazahnya tidak diakui pemerintah (SM, 11/03/11).
Perlu Sinergi Untuk meningkatkan peran pesantren sebagai basis community development, perlu dirintis semacam unit pendidikan dan pelatihan (training center) yang dapat diakses secara murah oleh masyarakat sekitar. Jika pendirian BLK butuh biaya besar, maka yang paling mungkin dilaksanakan dalam waktu dekat kegiatan pelatihan (workshop). Antara lain kursus jurnalistik, keterampilan menjahit, pelatihan pertukangan, kursus otomotif, kursus setir mobil, elektronika, percetakan, sablon, kehumasan, public speaking, kepemimpinan, kewirausahaan, dan lain-lain.
Bekerja sama dengan stakeholder terkait, berbagai kegiatan itu dapat terselenggara.
Upaya pemberdayaan pesantren dapat dibedakan atas dua pendekatan. Pertama, pemberdayaan oleh kalangan dalam pesantren yang umumnya bersifat dari bawah (bottom up).
Kedua, pemberdayaan pesantren karena campur tangan dari pihak luar, termasuk pemerintah, yang bersifat dari atas (top down).
Penunjukkan 40 pesantren di Jateng oleh Kemenag sebagai Ponpes Dikterapan adalah contoh pendekatan top down. Yayasan Biyung Emban (YBE) Purwokerto selama ini telah mengasuh puluhan anak jalanan. Jika disinergikan dengan pesantren terdekat, saya kira YBE yang dikelola oleh keluarga budayawan Ahmad Tohari itu layak menjadi cikal bakal Ponpes Dikterapan di Kabupaten Banyumas.
-Akhmad Saefudin SS ME, staf Humas Ma’had Ath-Thohiriyyah Purwokerto
Suara Merdeka, Senin 28 Maret 2011