JAKARTA – UN untuk Pesantren Ditolak (Dinilai Kebijakan Ngawur)
Muncul penolakan terhadap rencana pemberlakuan ujian nasional (UN) bagi madrasah diniyah dan pesantren. Selain dinilai tak pas, rencana itu kontraproduktif bagi dunia pesantren.
“Itu gagasan ngawur. Saya khawatir kelak malah merusak atau mendegradasikan pesantren,” kata anggota Komisi X DPR Hanif Dhakiri, kemarin.
Dia menyatakan pesantren memiliki banyak kekhasan. Bukan hanya dalam soal kedalaman pendidikan agama, melainkan juga peran sosial kemasyarakatan. Itulah yang tak tertandingi lembaga pendidikan lain.
“Kalau ujian nasional dipakai untuk mengevaluasi capaian pendidikan pesantren, sama saja mengukur panas badan dengan meteran air. Nggak nyambung,” ujar dia.
Dia menuturkan sistem pendidikan pesantren unik. Jadi tak bisa diukur dengan ujian nasional. Karena itu seharusnya pesantren dibiarkan menerapkan sistem dan mekanisme evaluasi sendiri.
“Merekalah yang tahu lingkungan pendidikannya. Jika ujian nasional dilaksanakan di pesantren, karakter pendidikan pesantren akan hilang. Bahkan lama-lama para kiai disertifikasi. Itu tak masuk akal dan merendahkan martabat dunia pesantren,” ujarnya.
Pesantren memiliki posisi khas di masyarakat. Selain itu, kata dia, jasa pesantren dalam mendidik bangsa ini luar biasa besar dan telah berlangsung ratusan tahun.
“Jangan didistorsi dengan ide-ide yang mencerabut pesantren dari akar sosialnya. Sebaiknya pemerintah tidak aneh-aneh dulu. Ujian nasional untuk pendidikan umum saja masih belepotan dengan masalah, kok mau membawa ide itu ke pesantren,” tutur dia.
Bantuan Vokasional Karena itu, dia mendesak pemerintah menyempurnakan ujian nasional dulu, baru berpikir lain. Bila ingin membantu pesantren dan risau atas nasib lulusan pesantren di dunia kerja, pemerintah semestinya tak menawarkan ujian nasional sebagai pemecahan.
“Siswa yang lulus ujian nasional juga masih banyak yang menganggur. Lebih baik pemerintah memfasilitasi pesantren dengan bantuan vokasional seperti memberi kesempatan pesantren membuka sekolah kejuruan yang sesuai dengan karakter dan lingkungan sosial masing-masing.”
Pemerintah juga harus memberi kesempatan pesantren membangun balai latihan kerja. Jika ada SMK dan BLK di pesantren, tentu akan menghasilkan santri plus. “Itulah santri dengan karakter khas pesantren yang kental disertai kompetensi profesional untuk memasuki dunia kerja.”
Melihat karut-marut bangsa ini, ujar dia, yang dibutuhkan adalah santri yang taat beragama serta berpijak pada tradisi dan lokalitas masyarakat. Para santri itu hendaknya memiliki kompetensi profesional untuk menjawab tantangan zaman.
“Itu yang saya sebut santri plus. Itulah semestinya yang jadi perhatian pemerintah. Cara paling sederhana bagi pemerintah membantu pesantren adalah mengakui ijazah yang dikeluarkan,” katanya.
Dengan mengakui ijazah pesantren, lulusan pesantren dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya atau masuk ke dunia kerja. “Sebab, selama ini lulusan pesantren mau jadi kepala desa saja susah. Apalagi jadi PNS. Itu semua gara-gara ijazah dari pesantren tak diakui pemerintah,” tegas dia.(H28-53)
Sumber:http://suaramerdeka.com
Assalammu'alaikum.. mw nanya..
Kalau di pesantren aththohiriyyah sistem belajarnya gmn?.. berapa lama nyantrennya?..
untuk lama nyantren,tergantung jenis pendidikan yang dipilih…kalo salaf (kitab kuning/diniyah) dan tahfidz, berbeda…tergantung juga kadar ke-istiqomahannya…