Banyumas Pesantren-Menyoal Arah Kiblat Masjid

TAHUN 2010 menjadi puncak diskursus arah kiblat Indonesia terkini. Bermula dari pengukuran kuantitatif Badan Hisab dan Rukyat (BHR) sejumlah daerah, khususnya di DIY dan Lampung serta Kabupaten Rembang, yang menyajikan kesimpulan menghebohkan: 70-80% masjid tidak tepat menghadap kiblat. Pejabat Kementerian Agama menambah kehebohan dengan informasi kualitatif: sekitar 320.000 dari 800.000 masjid di Indonesia disinyalir salah arah kiblat (Suara Merdeka, 26/5).

Banyak pihak jadi resah, meski kemiringan arah masjid sebenarnya telah menjadi subjek berbagai penelitian parsial sejak 1985. Aktivitas gempa bumi kemudian dituding sebagai penyebabnya, meski hal itu tidaklah tepat.

MUI memompa kehebohan membubung tinggi ke kulminasi lewat fatwa nomor 3/2010. Arah kiblat Indonesia disebut hanya ke barat, sehingga pengukuran, pembenahan, apalagi pembongkaran masjid adalah tindakan mubazir. Lebih jauh lagi, pengukuran arah kiblat bahkan dinistakan dan disejajarkan dengan perbuatan terlarang macam menggambar kartun Rasulullah SAW.

Dalam kuadran yang sama beberapa cendekiawan mengampanyekan tidak perlu arah kiblat diukur. Agus Hariyanto, misalnya, menekankan pengukuran arah kiblat dengan teknologi terkini membuat manusia hanya berpegangan pada alat yang bertuhan pada materi, bukan pada kebenaran hakiki dari Tuhan (Suara Merdeka, 28/6) sehingga pengukuran arah kiblat hanya akan menjadikan manusia sebagai objek sains yang brutal.

Ihtiyathul Qiblat

Argumentasi itu hanya menggali kembali debat usang yang sudah berkarat akan agama vis a vis sains. Padahal, pemikir Islam kontemporer seperti Ziauddin Sardar dan Prof Ismail Raji’ al-Faruqi telah menegaskan kedudukan sains terhadap agama dalam Islam; sains tidak disejajarkan atau dihadapkan frontal dengan agama (Islam) yang memiliki Alquran dan Hadis sebagai sumber kebenaran. Pandangan itu ditegaskan kembali oleh Prof Thomas Djamaluddin, yakni sains berfungsi “melayani” agama, khususnya aspek peribadahan sekaligus memperkuat bukti kebenaran firman-Nya lewat metode yang ketat, valid, dan nyata.

Ibadah dalam Islam memiliki hukum temporal dan spasial (terikat waktu dan ruang). Shalat, misalnya, secara temporal tidak sah jika dilaksanakan di luar waktu yang ditetapkan sehingga tidak dibenarkan menunaikan shalat isya kala matahari benderang di langit.

Secara spasial, shalat pun tidak sah jika tidak menghadap kiblat. Itu bukan soal keyakinan dalam kalbu semata-mata, tetapi juga harus diikuti tindakan fisik seperti dicontohkan Rasulullah SAW dan para sahabat dalam peristiwa pemindahan kiblat berkait turunnya Surah Al-Baqarah Ayat 144 yang diabadikan sejumlah hadis.

Betapa dramatis peristiwa itu terlihat dari yang semula menghadap Baitul Maqdis (ke arah utara-baratlaut atau azimuth 333 derajat) menjadi menghadap Baitullah (ke arah selatan atau azimuth 176 derajat). Rasulullah SAW dan para sahabat pun bergeser nyaris berputar setengah lingkaran (tepatnya berputar 157 derajat).

Sedikitnya ada tiga sumber hukum arah kiblat. Pertama, hadit sahih riwayat Tirmidzi yang menyebut arah kiblat (bagi penduduk Madinah) adalah di antara arah timur dan barat, yakni arah selatan). Kedua, hadis sahih riwayat ath-Thabrani yang menjelaskan arah kiblat (bagi penduduk San’a di Yaman) adalah ke arah Jabal Dayn bila orang berdiri di Taman Bathan.

Sumber kedua itu kalah populer dari yang pertama, padahal merupakan salah satu bukti mukjizat Rasulullah SAW yang mendeskripsikan topografi San’a dengan luar biasa tepat tepat, meski beliau tidak pernah pergi ke Yaman. Pengukuran berbasis citra satelit telah membuktikan hal itu. Ketiga, perbuatan Rasulullah SAW, khususnya ketika pembangunan Masjid Quba dan Masjid Nabawi. Sebagai rasul dan pribadi yang ma’shum, perbuatan Rasulullah SAW dalam menghadapkan kedua masjid itu ke arah tertentu bisa dikategorikan sebagai sumber hukum.

Bila ketiganya diderivasikan secara simultan dan kuantitatif, lahirlah konsep ihtiyathul qiblat yang berkedudukan sangat penting dalam sains tentang arah kiblat. Kiblat, khususnya bagi manusia di luar Makkah, bukanlah Kakbah semata-mata, melainkan adalah lingkaran imajiner yang berjari-jari 45 km berpusat di Kakbah, sebagai hasil deduksi kemiringan Masjid Quba. Dari lokasi mana pun di permukaan bumi, bila ditarik garis penghubung terpendek menuju Kakbah dengan nilai azimuth tertentu, walau titik proyeksi azimuth meleset sedikit dari Kakbah, senyampang masih berada di area lingkaran itu, tetap berstatus menghadap kiblat.

Ihtiyathul qiblat memproduksi toleransi (deviasi) arah kiblat dengan nilai bervariasi. Untuk daerah di dekat Makkah toleransinya besar (di Madinah 7,5 derajat). Namun bagi daerah yang jauh toleransinya kecil (di Indonesia hanya 0,4 derajat). Konsekuensi globalnya arah kiblat suatu tempat bisa diekspresikan pada nilai azimuth bilangan bulat terdekat dengan mengabaikan pecahannya.

Toleransi itu pun membuat istiwa’ adham (hari kala matahari tepat di atas kiblat) berlangsung lebih lama, yakni dalam periode 25-30 Mei pukul 16:18 WIB dan 14-1 Juli pukul 16:28 WIB setiap tahun. Itu memberikan peluang lebih besar untuk mengalibrasikan arah kiblat lewat metode paling sederhana, tetapi berakurasi tinggi. (51)

Oleh: Muh Ma’rufin Sudibyo

Sumber; http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2010/10/11/126253/Menyoal-Arah-Kiblat-Masjid

Similar Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *