Banyumas Pesantren-Madzhab Al-Laitsi: Madzhabnya Mujtahid Yang Sangat Dermawan
Ulama bersepakat ia lebih alim dari Imam Malik, sahabatnya. Namun karena kekurang sigapan murid-muridnya untuk membukukan pemkirannya, madzhab sang dermawan itu akhirnya lenyap.
Mengupas sejarah fiqih memang tidak ada matinya. SetelahMadzhab Al-Auza’i dan Ats-Tsauri yang diulas pada kali tulisan sebelumnya, giliran Madzhab Al-Laitsi yang ditulis pada edisi ini. Sebagaimana dua madzhab sebelumnya, Madzhab yang didirikan oleh Imam Al-Laits bin Sa’ad bin Abdurrahman Al-Fahmi (94-175H), ulama besar dari golongan tabi’ut tabi’in itu juga telah lenyap ditelan perputaran zaman. Hanya petikan fatwanya yang masih bisa dijumpai dalam karya-karya para ahli fiqih madzhab lain yang hidup pada generasi sesudahnya.
Sangat disayangkan, karena pada masa hidupnya Imam Al-Laits dikenal sebagai salah satu mujtahid besar di bidang fiqih yang pemikirannya sangat cemerlang. Ibnu Hajar Al-Asqalani, faqih dan muhaddits kenamaan yang hidup pada generasi sesudahnya, memberikan penghormatan dan pengakuan atas keilmuan Imam Al-Laits.
“Ilmu para tabi’in yang berasal dari Mesir telah habis diserap oleh Al-Laits, di samping ia juga telah menguasai pemikiran fiqih kaum tabiin dari berbagai kota pada zamannya,” kata Ibnu Hajar, sebagaimana dinukil dalam Ensiklopedi Hukum Islam. “Al-Laits menguasai pemikiran fiqih ulama Irak (ahlur ra’yu) yang dipelopori oleh Abu Hanifah, ia juga menguasai pemikiran ulama fiqih Madinah (ahlul hadits) yang dipimpin oleh Imam Malik.
Dalam literatur lain Ibnu Hajar juga mengatakan bahwa Imam Malik sendiri banyak menanyakan berbagai persoalan kepada Al-Laits bin Sa’ad. “Tokoh yang digambarkan oleh Imam Malik dengan ungkapan ‘seorang ilmuwan yang ikhlas telah memberitahukan kepada saya’ dalam berbagai fatwanya adalah Al-Laits,” tambah Ibnu Hajar.
Bahkan terkait hubungan keilmuan Imam Al-Laits dengan Imam Malik yang unik itu, Imam Syafi’i menyatakan, “Al-Laits lebih ahli dalam bidang fiqih dari pada Imam Malik, hanya saja pengikutnya tidak banyak dan tidak berusaha mengembangkan pemikirannya. Dibanding Imam Malik, Al-Laits justru lebih banyak mendasarkan fiqihnya pada hadits nabi dan perbuatan para sahabat.”
Pendapat mengenai keahlian Imam Al-Laits dalam fiqih yang melebihi Imam Malik juga disampaikan Syaikh Yahya bin Baqir, ahli fiqih klasik. Sementara Muhammad Baltaji memberikan komentar yang agak berbeda, “Sebenarnya Al-Laits dan Imam Malik mempunyai keunggulan masing-masing, tetapi Imam Malik mempunyai lebih banyak pengikut yang menyebarkan madzhabnya.”
Dekat Dengan Penguasa
Kedekatan hubungan Al-Laits dan Imam Malik, baik secara personal maupun keilmuan juga membuat metode dan pemikiran kedua tokoh tersebut sering disandingkan oleh kalangan ahli fiqih modern.
Ada banyak analisis yang mencoba mengungkap penyebab lenyapnya madzhab Al-Laitsi selain ketiadaan dukungan penguasa. Abdullah Syahathahm ahli fiqih kontemporer dari Mesir, berpendapat, “Ada banyak faktor besar yang menyebabkab pemikiran Al-Laits bin Sa’ad tidak sampai secara utuh kepada generasi sesudahnya.”
Faktor-faktor itu, menurut Abdullah, antara lain: Al-Laits semula bermadzhab Maliki, namun belakangan ia berdiri sendiri. Padahal di masa itu mayoritas ulama Mesir adalah pengikut Imam Maliki, sehingga sikap Al-Laits tersebut kurang mendapat simpati. Apa lagi Imam Laits saat itu dianggap terlalu dekat dengan penguasa Abbasiyyah, sehingga banyak ulama yang enggan mendekatinya.
Faktor lainnya adalah tak ada satu pun murid Al-Laits yang berusaha membukukan fatwa-fatwa gurunya, sehingga pemikiran Al-Laits pun tidak terdokumentasi. Tak heran ketika tiba di Mesir pada akhir abad kedua hijriah, belasan tahun setelah Al-Laits bin Sa’ad wafat, Imam Syafi’i sendiri merasa kesulitan menemukan literatur madzhab Al-Laitsi. Ditambah lagi saat itu di Mesir tengah terjadi perselisihan pendapat antara pengikut Imam Laits dan Imam Malik.
Sekalipun tidak meninggalkan satu karya tulis pun pemikiran Al-Laits sebenarnya masih bisa dilacak hingga saat ini. Karena banyak ulama fiqih dari generasi sesudahnya yang mencantumkan pendapatnya dalam kitab-kitab mereka. Di antara kitab yang memuat petikan pemikiran Al-Laits adalah Al-Mughni (kitab fiqih madzhab Hanbali yang disusun oleh Ibnu Qudamah), Al-Muhalla (kitab fiqih madzhab Azh-Zhahiri yang dikarang oleh Ibvnu Hazm) dan Bidayatul Mujtahid (kitab fiqih madzhab Maliki karya Ibnu Rusyd).
Al-Laits juga banyak meninggalkan jejak pemikiran dalam ilmu ushul fiqih. Tentang ijma’, misalnya, Imam Al-Laits berpendapat bahwa ijma’ (konsensus) yang bisa diikuti hanyalah ijma’ para sahabat, baik yang bersifat ijma’ sharih (jelas atau terang-terangan dalam sebuah musyawarah) maupun ijma’ sukuti (diamnya para sahabat atas fatwa yang diucapkan shahabat lain).
Misalnya fatwa Khalifah Utsman bin Affan yang tak disangkal oleh sahabat lain bahwa seseorang yang memiliki harta yang telah mencapai nishab zakat, namun juga mempunyai hutang sebesar harta itu maka ia tidak wajib mengeluarkan zakat.
Imam Laits juga tidak setuju menjadikan amaliah penduduk Madinah waktu itu sebagai salah satu dasar hukum, sebagaimana yang dilakukan oleh Imam Malik. Alasannya, bagaimana mungkin mereka bisa dijadikan dasar jika antar tabiin Madinah saja banyak terjadi perbedaan pendapat yang tajam.
Di luar ijma’, pendapat perorangan sahabat, menurut Al-Laits juga bisa dijadikan dasar hukum. Dan jika di antara mereka terdapat perbedaan pendapat, maka diambil pendapat yang paling mendekati Al-Quran dan sunnah nabi SAW.
Fidyah Perempuan Hamil
Misalnya mengenai diyat (hukuman) bagi perempuan yang melukai anggota tubuh orang lain. Umar bin Khaththab, Ibnu Umar, dan Zaid bin Tsabit mengatakan bahwa diatnya sama dengan laki-laki, sementara Ali bin Abi Thalib berpendapat diatnya hanya separuh diat kaum laki-laki. Dalam hal ini Al-Laits sependapat dengan pendapat Imam Ali yang menurutnya lebih dekat kepada nash Al-Quran yang dengan mengiyaskannya kepada bagian waris perempuan yang hanya separuh bagian laki-laki.
Meski begitu sebenarnya ada juga pendapat fiqhi Al-Laits yang didasarkan kepada ra’yu (logika belaka), walaupun sangat sedikit. Diantaranya dalam hal perbedaan kewajiban qadha dan fidyah puasa Ramadhan antara perempuan hamil dan perempuan menyusui.
Wanita menyusui, menurut Imam Laits, apabila khawatir terhadap kesehatan anaknya, ia boleh berbuka puasa dan wajib mengqadha di luar Ramadhan dan juga wajib membayar fidyah. Sementara perempuan hamil, apabila ia mengkhawatirkan kesehatan janinnya, maka ia boleh berbuka dan hanya wajib mengqadha, tanpa perlu membayar fidyah.
Alasannya, perempuan menyusui masih bisa menempuh jalan lain untuk tetap puasa tanpa mengkhawatirkan kesehatan putranya, seperti dengan menyusukannya kepada perempuan lain. Sedangkan perempuan hamil tidak mempunyai pilihan lain sama sekali. Meski berdasarkan ra’yu, namun pendapat-pendpat Imam Laits tersebut sangat kuat karena didasari oleh prinsip kemaslahatan.
Masih banyak lagi pemikiran cemerlang di bidang fiqih yang dilahirkan dari ijtihad Al-Mam Abul Harits Al-Laits bin Sa’ad Al-Fahmi. Gelar Al-Fahmi di belakang namanya adalah nisbat kepada Fahm, salah satu kabilah dari Qais ‘Ailan yang berasal dari Ashfahan, Persia.
Imam al-Laits bin Sa’ad lahir di kampung Qalqasyandah, Propinsi Qalyubiyyah, Mesir, pada bulan Sya’ban 94 H. Ada juga yang berpendapat ia lahir pada tahun 93 H.
Sejak muda Al-Laits dikenal sebagai pedagang yang sukses. Meski sibuk mengurus bisnisnya, ia tidak pernah ketinggalan dalam urusan belajar. Sejak kecil Imam al-Laits dikenal sangat antusias mengikuti majelis-majelis ilmu di kotanya. Di Mesir Al-Laits belajar kepada Yazid bin Abi Habib, Abdullah bin Abi Ja’far, Ja’far bin Rabi’ah, Abu Habirah, Al-Harits bin Yazid dan masih banyak lagi ulama negeri Piramid yang berasal Madinah dan Syam.
Meski masih muda, kealiman dan kewara’an Al-Laits cukup menjadi buah bibir guru-gurunya. Bukti lain kemulian jiwa dan ketinggian akhlaknya adalah masuknya nama Al-Laits termasuk dalam daftar periwayat hadits yang dikutip Imam Bukhari dan Muslim dalam kitab Shahih-nya.
Ketika menunaikan haji pada 113 H, Al-Laits juga menyempatkan diri mengunjungi beberapa ahli hadits kenamaan Al-Haramain seperti Ibnu Syihab Az-Zuhri, Ibnu Malikah, Atha` bin Abi Rabah, Abu Zubair, Nafi’, Uqail, Imran bin Abi Anas, dan Hisyam untuk mengambil periwayatan hadits. Al-Laits juga cukup dekat dengan Imam Malik, ahli hadits sekaligus mujtahid fiqih kota Madinah.
Hartawan Yang Dermawan
Yahya bin Bukair, murid Imam al-Laits, meriwayatkan dari Ibnu Wahab, ia berkata, “Suatu hari saya datang kepada Imam Malik, kemudian beliau bertanya kepada saya tentang Imam Al-Laits, ‘Bagaimana kabarnya?’ Saya menjawab, ‘Keadaannya baik’.
Kemudian Imam Malik bertanya lagi, ‘Bagaimana kejujurannya?’
Saya menjawab, ‘Ia adalah orang yang jujur’.
Lalu Imam Malik berkata, ‘Jika demikian, semoga Allah memberinya kenikmatan dengan telinga dan matanya’.”
Imam al-Laits dan Imam Malik memang hidup dalam satu masa. Kedua ahli hadits dan fiqih itu sering saling berkirim surat yang membicarakan seputar hadits, fiqih dan fatwa.
Imam al-Laits juga dikenal sebagai dermawan yang banyak memberi bantuan kepada orang lain. Imam Syafi’i, ketika datang ke Mesir dan berziarah ke kubur beliau, berkata, “Tidak ada yang lebih menyedihkanku dari kehilangan Ibnu Abi Dzi’b dan Laits bin Sa’ad”. Imam Syafi’i sedih karena tidak sempat bertemu Imam Al-Laits dan berguru kepadanya.
Imam Syafi’i juga pernah berdiri di sisi kubur Imam Al-Laits seraya berkata, “Demi Allah wahai Imam, engkau telah mengumpulkan empat sifat yang tidak dimiliki ulama lainnya: ilmu, amal, zuhud dan kedermawanan”.
Kebetulan Imam Al-Laits memang mendapatkan anugerah kekayaan melimpah dari Allah SWT. Dalam sebuah riwayat diceritakan, pendapatannya pertahun tak kurang dari 100.000 dinar.
Hebatnya, Imam al-Laits tidak pernah berkewajiban mengeluarkan zakat. Tentang hal ini Muhammad bin Abdul Hakam menceritakan, “Setiap tahun Imam Al-Laits mendapatkan penghasilan lebih dari 80.000 dinar, akan tetapi beliau tidak pernah berkewajiban membayar zakat. Sebab sebelum mencapai satu tahun (haul) pemasukan yang ia peroleh itu telah habis ia infaqkan dan sedekahkan.” Subhanallah!!
Sedangkan perihal kezuhudannya, Yahya bin Bukair, muridnya mengisahkan, “Aku pernah menyaksikan orang-orang faqir berdesakan di depan rumah Imam al-Laits. Lalu beliau membagi-bagikan sedekahnya kepada mereka, hingga tidak ada seorang pun yang tidak memperoleh bagian. Setelah itu bersama saya, Imam Al-Laits mengantarkan sedekah ke tujuh puluh rumah janda. Setelah sampai di rumah, beliau menyuruh salah seorang pembantunya untuk membeli minyak dan roti dengan uang satu dirham.
Ketika saya datang ke rumah beliau, saya melihat empat puluh tamu telah berada di dalam rumah beliau. Mereka dijamu dengan daging dan manisan. Setelah si pembantu tiba, aku bertanya kepadanya, ‘Untuk siapa roti dan minyak yang engkau beli itu?’
Pembantu tersebut menjawab, ‘Imam al-Laits menghidangkan daging dan manisan kepada para tamu, tetapi beliau hanya makan roti dengan minyak saja’.”
Dan bak buah yang jatuh tak jauh dari pohonnya, kedermawanan dan kealiman sang belakangan menurun kepada putranya, Syu’aib bin Al-Laits, ulama dan muhaddits besar Mesir sesudah Al-Laits.
Dermawan Bin Dermawan
Ibnu Abi Dunya mengisahkan, “Suatu ketika Syu’aib bin al-Laits menunaikan haji. Di sana ia banyak bersedekah. Kedermawanannya membuat banyak orang terheran-heran. Mereka lalu bertanya kepada seorang alim yang mengenalnya. Orang alim itu menjawab, “Dia adalah seorang alim, anak orang alim, seorang yang dermawan dan anak seorang dermawan.”
Setelah ayahnya wafat, Syuaib bin Laits jatuh miskin. Ia lalu pergi ke Damaskus. Di sana ia didatangi seseorang yang berkata, “Saya adalah hamba ayahmu. Harta niaga ayahmu ada padaku sebesar dua ribu dinar dan saya sekarang masih sebagai budak. Jika engkau menghendaki ambillah harta ayahmu dan merdekakan saya. Namun jika tidak maka juallah saya.”
Kendati miskin dengan ringan Syu’aib bin Laits berkata, “Engkau sekarang merdeka dan uang yang ada bersamamu adalah pemberianku untukmu.”
Mendengar kejadian itu Al-Khathabi, ulama genersai sesudahnya, berkomentar, “Aku tidak tahu siapa yang lebih mulia, apakah sang hamba yang dengan tulus mengaku tentang kepemilikan harta, atau sang tuan yang membebaskannya dan memberinya harta sebanyak itu.”
Demikianlah, setelah hidupr bergelimang kebajikan, Imam Al-Laits wafat pada tahun 175 H, empat tahun sebelum Imam Malik, sahabatnya wafat. Ada juga yang berpendapat Imam Al-Laits wafat pada 176 H dan ada pula pada 197 H. Wallahu A’lam. Jenazahnya dimakamkan di pemakaman umum Shadaf. Tahun 640 H makam direnovasi oleh Ibnu At-Tajir, dan dijadikan tempat peziarahan.
Ahmad Iftah Sidik, Santri Asal Tangerang