Banyumas Pesantren-Cerpen: Kurma Menjelang Puasa Itu

Empat puluh menit menuju maghrib, hari pertama Ramadhan tahun itu. Mas Kardiman baru saja menolehkan kepalanya ke kanan dan kiri sembari berucap salam mengakhiri empat rekaat asharnya yang hari ini dilaksanakan cukup telat. Setelah berdoa ia mengambil Al-Qur’an lalu membacanya dari awal juz pertama.

Baru satu halaman dibaca istrinya mengajak bicara. “Mas, nanti buka puasanya mau bagaimana?”

“Makan kurma dulu, shalat maghrib, baru makan nasi.” Mas Kardiman menimpali singkat, lalu meneruskan deresannya.

“Kurma yang kemarin sore?” istrinya ingin kepastian.

“Ya,” Mas Kardiman singkat.

Tiba-tiba saja pikiran Mas Kardiman tak lagi fokus pada bacaan qur’annya. Seperti lepas kontrol yang tergambar dalam benaknya hanyalah kurma itu. Kurma yang baru saja ia katakan pada istrinya untuk mengawali buka puasa hari pertama Ramadhan kali ini, gambarannya benar-benar jelas dan nyata.

Kemarin sore seorang teman dekat memberinya dua bungkus besar kurma. Mas Kardiman merasa senang. Dua bungkus besar kurma itu ditaksirnya cukup untuk satu bulan Ramadhan. Tak usah beli lagi, pikirnya.

Tapi dibalik pikiran itu Mas Kardiman sedikit menyimpan keresahan. Ia kenal betul siapa yang memberi kurma itu. Ia juga faham betul bagaimana dan dengan uang apa sang teman membeli kurma itu. Ada kegalauan di hatinya. Semestinya ia ingin menolak kurma itu. Tapi demi menghormati sang teman akhirnya ia terima juga, bahkan ia dan keluarganya telah memakannya beberapa biji. Meski sekali lagi hatinya tak bisa menyembunyikan keresahannya.

Kini ketika ia putuskan pada istrinya untuk berbuka dengan kurma itu, tiba-tiba bayangan bagaimana kurma itu didapat dan ada di tangannya tercetak jelas dalam benaknya. Mata Mas Kardiman terus menyusuri goresan tinta kalimat demi kalimat kalam Ilahi. Bibirnya terus melafalkannya dengan sangat fasih. Tapi pikirannya hanya berhenti pada kurma menjelang puasa itu.

Bahkan tak lama kemudian air matanya mulai menggenang, lalu perlahan meleleh mengaliri kedua pipinya. Silih berganti gambaran orang tua, istri, dan anak-anaknya membayang. Lubuk hatinya sangat jelas berbisik menuturi; dengan kurma itu akankah kau biarkan kedua orang tuamu melewati masa tuanya tanpa kebahagiaan, penuh sakit dan kesusahan? Akankah kau biarkan istrimu mendampingimu tanpa kesalehan dan kepatuhan karena dagingnya tumbuh dari sebiji kurma yang kau sendiri tahu asal usulnya? Tegakah kau melihat anak-anakmu kehilangan kefitrahan dan kelak tumbuh menjadi hamba yang durhaka hanya karena satu dua biji kurma yang kau terima kemarin itu? Kau sendiri, tidakkah malu setiap hari meminta keberkahan Tuhanmu tapi mulutmu begitu rakus pada yang syubhat?

Mas Kardiman merinding. Tubuhnya bergetar. Air matanya menjadi sangat deras. Bibirnya masih lancar dan fasih melafalkan ayat-ayat suci Tuhan, tapi itu tak bisa menghentikan keadaannya. Tangis dan getar tubuhnya tak terbendung hingga setengah jam kemudian.

Saat berbuka kurma itu ditinggalkan. Ia tahu dalam dirinya masih ada sisa gemuruh. Sekuat tenaga ia berusaha meredam agar tak meledak, agar anak dan istrinya tak tahu apa yang sedang terjadi pada dirinya.

Keesokan harinya ia sowan pada salah seorang gurunya. Kepadanya ia ceritakan ihwalnya. Ia minta solusi. Sang guru menyarankannya untuk mengganti kurma kiriman itu dengan kurma yang sama harga dan kualitasnya. “Bila ada uang ganti lebih banyak dari yang kau terima. Bila tidak, ganti sesuai yang kau terima. Berikan kurma penggantinya kepada masyarakat di sekitarmu yang miskin. Ikhlaskan. Insya Allah segera kau akan mendapatkan gantinya,” begitu sang guru berpesan.

Sepulang dari rumah sang guru Mas Kardiman langsung pergi ke toko kurma. Ia mencari yang betul-betul persis harga dan kualitasnya dengan kurma itu. Ia memang sedang tak punya banyak uang. Maka ia hanya membeli sebanyak yang pernah ia terima, lalu dibagikan kepada para tetangga yang miskin. Kurma menjelang Ramadhan itu sendiri ia konsumsi bersama keluarganya. Tak ada lagi gelisah di dada.

Dua tiga hari berikutnya adalah awal yang membuat bibir Mas Kardiman lebih banyak tersenyum. Selama bulan Ramadhan tahun itu dagangannya laris manis. Setiap hari ada saja pembeli yang datang ke rumahnya atau minta dikirim barang. Sebelumnya pembeli hanya ada rata2 dua tiga hari sekali. Selama sebulan itu pula Mas Kardiman mendapat rejeki tambahan dari pos yang lain yang tak diduga sebelumnya.

Kini hari terakhir berpuasa. Ia hitung uang yang ia punya. Ia tersenyum. Ada yang bisa diberikan pada istrinya untuk merayakan lebaran besok. Akan ada baju baru bagi anak-anaknya. Mas Kardiman makin bersyukur. Ia bisa memenuhi janjinya pada orang tua. Seminggu sebelum berpuasa orang tuanya merencanakan sebuah acara setelah hari raya nanti. Tapi sepeser uangpun belum ada di tangan. Sebagai anak Mas Kardiman menyanggupi untuk membantu sejumlah uang. Meski sebetulnya saat itu ia tak punya uang lebih dan sama sekali tak ada pandangan akan dapat uang dari mana. Saat itu, seperti biasanya kalau sudah kepepet, Mas Kardiman menggelar sajadah, shalat hajat 2 rekaat, lalu mengajukan permohonan kepada-Nya.

Lebaran telah tiba. Kebutuhan dana untuk semuanya telah tercukupi. Ia pikir, kurma menjelang puasa itu memang harus ada untuk proses semuanya. Ia bertahmid lirih, lalu bergumam; tak ada yang palsu dengan janji Tuhanku!

Oleh” Yazid Muttaqin, S. Ag (Tegal)

Similar Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *