Banyumas Pesantren-Madzhab Syafi’i: Madzhabnya Pelopor Ilmu Ushul Fiqih

Madzhab ini sangat populer di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Pendirinya adalah ulama jenius kelahiran Palestina yang berguru kepada imam-imam madzhab sebelumnya.

Pada tulisan yang lalu kami telah menulis Madzhab Hanafi, dan Madzhab Maliki, pada kali ini kami akan mengulas madzhab fiqih lain yang memiliki pengikut tak kalah banyak, Madzhab Syafi’i. Dalam perjalanannya madzhab ini sempat mendominasi di Mesir dan Irak, mengalahkan Madzhab Hanafi yang telah lebih dulu tersebar. Namun belakangan madzhab ini lebih banyak tersebar di Hadramaut (Yaman) dan negeri-negeri di Asia Tenggara.

Madzhab ini dicetuskan untuk pertama kalinya oleh sang pendiri Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i melalui pengajian-pengajiannya di Masjidil Haram, Makkah, dan halaqah ilmiahnya di Irak. Setelah Imam Syafi’i hijrah ke Mesir, madzhabnya pun ikut tersebar di Afrika Utara. Kemudian oleh murid-muridnya, madzhab ini menyebar ke seluruh dunia.

Madzhab ini, menurut pendirinya, disusun dengan metodologi yang merupakan penyempuranaan dari metodologi yang di pakai oleh gurunya Imam Malik (pendidi madzhab Maliki) dan Imam Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani Al-Hanafi (murid pendiri madzhab Hanafi, Imam Nu’man bin Tsabit). Dan setelah hijrah ke Mesir, Imam Syafi’i menambah daftar mujtahid rujukannya dengan mengadopsi pemikiran Imam Al-Laits bin Sa’ad Al-Fahmi.

Meski pada zaman ketiga ulama rujukannya tersebut metodologi penggalian hukum (cikal bakal ushul fiqh) sudah ada, namun Imam Syafi’ilah yang pertama kali menyusunnya dalam sebuah konsep yang tersusun rapi. Konsep metodologi ijtihad itu ditulis secara apik dalam kitab Ar-Risalah, yang diikuti oleh ulama berbagai madzhab generasi berikutnya.

Imam Syafi’i menggariskan konsep istinbath (penggalian hukum) madzhabnya dengan bersumber kepada lima hal yang berurutan: kitab suci Al-Quran, sunnah Rasulullah SAW yang telah jelas keshahihannya, ijma’ (kesepakatan ulama mujtahid pada satu masa atas persoalan yang belum ada hukumnya dalam Al-Quran dan sunnah), pendapat sahabat Nabi SAW yang diyakini tidak diperselisihkan oleh sahabat lainnya, lalu pendapat sahabat yang diperselisihkan, dan terakhir qiyas, analogi.

Dalam sumber hukum ini Imam Syafi’i berbeda pendapat dengan gurunya, Imam Malik. Dengan berpegangan kepada konsep ijma’-nya yang harus mencakup seluruh mujtahid di satu masa, Imam Syafi’i menolak keberadaan ijma’ penduduk Madinah. Sebab penduduk Madinah setelah era khulafaur rasyidin hanya sebagian kecil dari seluruh ulama mujtahid pada satu masa.

Qaul Qadim dan Qaul Jadid
Menggunakan Al-Quran, sunnah dan pendapat salafus shalih termasuk sahabat nabi dan ulama mujtahid memang sangat dipentingkan oleh Imam Syafi’i. Setelah dalam keempat sumber pertama tidak ditemukan hukum suatu masalah, barulah Imam Syafi’i menggunakan senjata pamungkasnya yakni berijtihad. Dan metode utama yang digunakan oleh Imam Syafi’i dalam berijtihad adalah qiyas atau menganalogikan suatu masalah yang belum ada hukumnya dalam keempat sumber utama, dengan masalah yang yang sudah ada hukumnya, dengan mencari kesamaan illat (faktor hukum) nya.

Imam Syafi’i merumuskan pemikirannya dalam beberapa kitab karyanya. Konsep ushul fiqihnya yang terkenal, misalnya, ia tuangkan dalam kitab Ar-Risalah. Sementara pemikiran fiqihnya yang belakangan dikenal sebagi Madzhab Syafi’i, ia ulas secara panjang lebar dalam kitab Al-Hujjah yang berisi qaul qadim, dan dalam kitab Al-Umm, yang berisi qaul jadid.

Qaul qadim dan qaul jadid adalah sebutan untuk fatwa-fatwa Imam Syafi’i yang pembagiannya terpisahkan oleh waktu. Qaul Qadim difatwakan ketika sang imam masih berdomisili di Makkah dan Baghdad, dan sedangkan qaul jadid adalah kumpulan fatwa Imam Syafi’i setelah beliau hijrah dan menghabiskan sisa umurnya di Mesir. Qaul jadid, menurut para fuqaha, adalah versi revisi dan penyempurnaan dari qaul qadim. Revisi ini muncul sebagai respon semakin matang dan luasnya ilmu dan pengetahuan sang imam.

Contoh qaul qadim adalah fatwa Imam Syafi’i bahwa persentuhan kulit antar lawan jenis membatalkan wudhu, tak peduli keduanya mempunyai hubungan mahram (haram dinikahi) atau tidak. Fatwa ini disandarkan kepada pengertian umum dari kata an-nisa dalam ayat keenam surah Al-Maidah, yang berarti perempuan-perempuan.

Setelah menetap di Mesir, Imam Syafi’i mengubah pendapatnya, dengan menyatakan bahwa persentuhan kulit pria dan wanita yang mempunyai hubungan mahram tidak membatalkan wudhu. Alasannya, hubungan mahram diantara keduanya mengecilkan kemungkinan dugaan akan munculnya nafsu syahwat saat bersentuhan.

Meski menurut sejarahnya qaul kedua besifat nasikh (pembatalan) atas qaul pertama, namun pada praktiknya di dunia fuqaha, kedua qaul itu masih dipakai. Para ahli fiqih yang dikenal banyak menukil qaul qadim yang bersumber dari kitab Al-Hujjah karyanya antara lain Imam Ahmad bin Hanbal (murid Imam Syafi’i yang juga dikenal sebagai pendiri madzhab Hanbali), Imam Hasan bin Ibrahim bin Muhammad Shahab Az-Za’farani (wafat 260 H), Al-Karabisyi dan Abu Saur.

Sementara ahli fiqih yang banyak menukil qaul jadid yang termaktub dalam kitab Al-Umm antara lain Imam Yusuf bin Yahya Al-Buwaiti (wafat 231 H), Syaikh Abu Ibrahim Ismail bin Yahya Al-Muzani (wafat 264 H) dan Imam Ar-Rabi’ bin Sulaiman Al-Marawi (wafat 270 H). Ketiga murid Imam Syafi’i inilah yang dianggap paling berjasa dan terpercaya dalam mengumpulkan dan meriwayatkan qaul-qaul jadid Imam Syafi’i. Sehingga bila ada perbedaan pendapat dalam menukil qaul jadid Imam Syafi’i, periwayatan ketiga ulama itulah dianggap paling shahih.

Perbedaan Waktu Maghrib
Bagi Imam Syafi’i, qaul jadidlah yang dianggap sebagai madzhabnya, karena merupakan hasil akhir dari penelitiannya. Bahkan dalam sebuah kesempatan, sang imam pernah menegaskan, tidak dibenarkan menganggap qaul qadim sebagai madzhabnya. Meski begitu, sebagian besar ulama madzhab Syafi’i generasi berikutnya meyakini bahwa pernyataan tersebut tidak dimaksudkan untuk menghapus semua qaul qadim.

Imam Nawawi (Abu Zakariyya Yahya bin Syaraf An-Nawawi), misalnya, adalah salah satu ulama besar madzhab Syafi’i yang berpendapat bahwa qaul jadid hanya menghapus sebagian qaul qadim. Imam Nawawi menetapkan syarat boleh diamalkannya qaul qadim sebagai berikut:
Pertama, qaul qadim tersebut harus didukung oleh hadits shahih yang diperselisihkan oleh hadits-hadits lain. Kedua, qaul qadim tersebut tidak bertentangan dengan qaul jadid atau tidak pernah disinggung di dalamnya. Dalam arti, tidak ada keterangan yang bahwa qaul qadim itu telah direvisi.

Contoh kasus qaul qadim yang masih diamalkan oleh ulama syafi’iyyah generasi selanjutnya adalah waktu shalat maghrib. Menurut qaul qadim, waktu maghrib memanjang sampai hilang semburat merah dari langit. Pendapat ini didasarkan pada hadits shahih yang diriwayatkan oleh Abu Musa Al-Asy’ari. Sedangkan dalam qaul jadid, Imam Syafi’i mengubah pendapatnya dengan mengatakan bahwa waktu maghrib sangat pendek, yakni selama waktu yang dihabiskan untuk berwudhu, shalat maghrib tiga rakaat dan san shalat sunnah dua rakaat.

Mayoritas ulama Syafi’iyah di Asia Tenggara hingga kini masih menggunakan qaul qadim sebagai penentu waktu maghrib. Alasannya, qaul qadim itu menggunakan hadits yang shahih dan secara eksplisit tidak bertentangan dengan qaul jadid. Qaul jadid dalam kasus tersebut lebih dipahami sebagai waktu yang afdhal untuk mendirikan shalat maghrib.

Dalam masalah menggunakan hadits, Imam Syafi’i memang dikenal sangat ketat dan berhati-hati. Tak heran oleh ulama berbagai golongan ia dijuluki nashirussunnah (pembela sunnah). Kebetulan Imam Syafi’i sendiri sebenarnya seorang muhaddits (ahli hadits) besar. Hanya karena prestasi sang imam di bidang fiqih lebih fenomenal, ke-muhadditsannya menjadi tertutupi.

Imam Syafi’i tidak akan mengguatkan suatu hadits yang dhaif atau lemah untuk membangun pendapatnya. Kalau pun ada hadits yang beliau gunakan dan dituduhkan sebagai hadits yang lemah, sesungguhnya tidak demikian, namun boleh jadi ia mempunyai jalur dan sanad khusus yang tidak dimiliki oleh para muhaddits lainnya.

Yang menarik, ternyata silsilah yang beliau miliki adalah silsilah yang paling shahih yang pernah ada di muka bumi. Sebab As-Syafi’i adalah murid Al-Imam Malik dan mengambil riwayat dari imam hadits besar itu. Dan dalam dunia hadits, kita mengenal ada istilah silsilah dzahabiyah (silsilah keemasan), jalur periwayatan yang paling shahih, yaitu jalur sanad dari Imam Malik, dari Nafi’, dari Ibnu Umar. Al-Bukhari mengatakan tidak ada jalur periwayatan yang lebih shahih dari jalur ini.

Dan Al-Imam Asy-Syafi’i berada di dalam jalur ini, karena ia mengambil hadits dari Al-Imam Malik. Bahkan kitab Al-Muwaththa’ karya Al-Imam Malik telah dihafalnya dalam waktu hanya 9 hari di usia 13 tahun.

Hafal Muwaththa 9 Hari
Imam Ahmad bin Hanbal pernah ditanya, apakah Imam Syafi’i seorang ahli hadits? Maka imam ahli hadits ini menjawab dengan sangat tegas, “Demi Allah, beliau adalah ahli hadits. Demi Allah, beliau adalah ahli hadits. Demi Allah, beliau adalah ahli hadits.”

Al-Imam Ar-Razi pernah berkata bahwa Asy-Syafi’i menulis kitab hadits secara khusus, yaitu Musnad Asy-Syafi’i. Itu adalah kitab hadits yang teramat masyhur di dunia ini. Tidak ada seorang pun dari ahli hadits dan mengerti ilmunya yang bisa mengkritik kitab ini. Kalau pun ada penolakan, datangnya dari mereka yang sama sekali tidak mengerti ilmu hadits, yaitu dari para ahli ra’yi (ahli akal).

Karena kedalaman ilmu dan kecintaannya terhadap hadits ini pula Imam Syafi’i pernah mengatakan, “Jika sebuah hadits shahih bertentangan dengan perkataanku, maka ia (hadis) adalah madzhabku, dan buanglah perkataanku di belakang tembok.” Ulama menjelaskan, ucapan tersebut muncul karena Imam Syafi’i yakin tidak ada satu pun pendapatnya yang bertentangan dengan hadits nabi SAW.

Masih banyak lagi keistimewaan madzhab Syafi’i dan –terlebih– sosok Imam Syafi’i sebagai pendirinya.

Imam Syafi`i (150H-204H) memiliki nama lengkap Abu ‘Abdullah Muhammad bin Idris bin ‘Abbas bin ‘Utsman bin Syafi’i bin As-Saib bin ‘Ubaid bin ‘Abdu Yazid bin Hisyam bin al-Mutallib bin ‘Abdu Manaf bin Qusaiy bin Kilab bin Murrah bin Ka‘ab bin Luaiy bin Ghalib Al-Qurasyi Asy-Syafi‘i. Nasabnya bertemu dengan Rasulullah SAW pada Abdul Manaf.

Imam Syafi’i lahir di Ghazzah atau Ghuzzah, sebuah kota pelabuhan di selatan Palestina yang kini dikenal dengan sebutan Jalur Gazza pada tahun 150 H. Tahun lahirnya Imam Syafi’i bertepatan dengan tahun wafatnya Abu Hanifah. Seakan keduanya diciptakan untuk saling menggantikan maqam keimaman dalam ranah fiqih.

Ayahnya meninggal ketika Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i belum genap berusia dua tahun. Karena khawatir gagal mendidik anaknya di negeri orang, ibunda Imam Syafi’i membawa putranya hijrah ke kota asal leluhurnya, Makkah Al-Mukarramah.

Sejak kecil Syafi’i dikenal cerdas dan mempunyai hafalan yang kuat. Dalam sebuah riwayat disebutkan, Asy-Syaf’i telah hafal Quran di usia 5 tahun. Selain Quran, beliau juga banyak menghafal syair sastra Arab yang indah. Syafi’i muda juga dikenal sangat pandai dalam ilmu bahasa Arab. Sampai-sampai Al-Ashma’i, seorang ahli bahasa Arab, berkata, “Saya mentashih syair-syair Bani Hudzail dari seorang pemuda dari Quraisy yang disebut Muhammad bin Idris.”

Di Makkah, Imam Syafi’i berguru ilmu fiqih kepada mufti kota suci itu, Muslim bin Khalid Az-Zanji. Karena ketekunannya, semua ilmu fiqih dilalapnya dengan cepat. Beliau juga cerdas dan benar-benar seorang yang berbakat menjadi mufti.

Az-Zanji kemudian mengakui kemampuan muridnya yang luar biasa itu dan mengizinkannya memberi fatwa, meski usia Imam Syafi’i waktu itu baru 15 tahun. Hal itu bukan hal yang tidak luar biasa. Menjadi mufti di Masjid Al-Haram Makkah, tempat yang begitu mendunia yang dihuni oleh puluhan ulama besar dan didatangi jutaan umat manusia setiap tahunnya.

Meski keilmuan fiqihnya sudah diakui oleh semua pihak, Imam Syafi’i tak berpuas diri. Ketika mendengar di Madinah (Masjid Nabawi) ada seorang alim besar yang ilmunya sangat luas dan mendalam, ia tergerak untuk mendatanginya dan berguru kepadanya. Ulama itu adalah Imam Malik bin Anas, pendiri madzhab Maliki.

Tapi ada satu masalah yang mengganjal. Majelis Imam Malik adalah majelis khusus untuk ulama besar, bukan untuk remaja berusia belasan tahun. Namun Imam Syafi’i pantang mundur. Dengan tekad baja, ia menghafal Al-Muwaththa,’ kitab tebal berisi ribuan hadits yang disusun oleh Imam Malik, dalam tempo sembilan hari. Berbekal hafalan itu ia mendaftarkan diri dan diterima oleh Imam Malik.

Puas menyerap semua ilmu Al-Imam Malik, Imam Syafi’i kemudian pergi ke Yaman dan bekerja sebentar di sana. Kemudian ia hijrah lagi ke Baghdad (183 dan tahun 195) untuk menimba ilmu dari Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani, ulama besar madzhab Hanafi dan murid langsung Imam Nu’man bin Tsabit Al-Hanafi. (Mengenai kedua pendiri madzhab itu baca alkisah edisi 15/2008 dan 16/2008)

Imam Ahmad bin Hanbal, murid utama Imam Syafi’i saat di Makkah, berkata tentang sang guru, “Beliau adalah orang yang paling faqih dalam Al-Quran dan As Sunnah. Tidak seorang pun yang pernah memegang pena dan tinta (ilmu) melainkan Allah memberinya di ‘leher’ Syafi’i.”
Syaikh Thasy Kubri mengatakan dalam kitab Miftahus Sa’adah, “Ulama ahli fiqh, ushul, hadits, bahasa, nahwu, dan disiplin ilmu lainnya sepakat bahwa Syafi’i memiliki sifat amanah (terpercaya), ‘adalah (kredibel dalam agama dan moral), zuhud, wara’, taqwa, dermawan, tingkah lakunya yang baik, derajatnya yang tinggi.”

Oleh: Ahmad Iftah Sidik, (Santri Asal Tangerang).

Similar Posts

One Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *