Banyumas Pesantren-Tafsir Ar-Razi: Tafsir Ilmiah Pertama
Meski dianggap kontroversial oleh kalangan konservatif, kitab tafsir ini menginspirasi ulama tafsir generasi sesudahnya untuk menyusun karya sejenis.
Pada awal perkembangannya, kitab tafsir Al-Quran sangat monoton, yakni hanya berisi keterangan tentang makna ayat berdasarkan keterangan Rasulullah SAW dan para shahabat serta tabi’in. Isinya penjelasannya pun hanya sebatas kandungan hukum atau fakta-fakta sejarah pendukung kebenaran kisah-kisah dalam Al-Quran.
Setelah itu muncul tafsir-tafsir Al-Quran yang memuat juga penakwilan ayat-ayat tertentu yang secara eksplisit tidak mudah ditafsirkan. Meski sudah memperkaya corak, setiap kitab biasanya hanya diperkaya satu ranah pengetahuan saja, seperti tafsir sufistik yang berisi penjelasan seputar ilmu tasawuf atau tafsir ahkam yang menitik beratkan ulasannya dalam perspektif hukum.
Baru beberapa waktu kemudian munculah tafsir generasi berikutnya: tafsir multi dimensi. Disebut multi dimensi karena isinya memuat penjelasan tentang berbagai bidang ilmu yang dianggap mempunyai keterkaitan dengan ayat-ayat Al-Quran yang sedang dibahas.
Pemaparannya bisa mencakup ranah sosial, budaya, hukum, kedokteran bahkan tekhnologi.
Penggagasnya? Siapa lagi kalau bukan sang ilmuwan multi disiplin, Imam Ghazali. Namun sayangnya Al-Ghazali belum sempat menyusun tafsir bercorak ilmiah seperti yang diangankannya. Dan idenya baru direalisasikan oleh ulama generasi berikutnya, Imam Fahruddin Ar-Razy melalui kitab tafsirnya Mafatihul Ghaib atau At-Tafsir Kabir.
Dalam kitab yang cukup kontroversial di kalangan mufassir konservatif tersebut Imam Fahruddin Ar-Razy memaparkan berbagai bidang ilmu pengetahuan yang ia anggap memiliki keterkaitan dengan ayat-ayat Al-Quran. Sayangnya, menurut sebagai ahli tafsir modern, pemaparan itu terlalu dominan sehingga mengalahkan isi tafsirnya sendiri. Bahkan secara ekstrim ada ulama lain yang berkomentar, “Ar-Razi telah memaparkan segala hal dalam buku tafsirnya, kecuali tafsir itu sendiri.”
Sementara bagi ulama lain yang menerima karyanya, Mafatih Al-Ghaib atau At-Tafsir Al-Kabir yang terdiri dari 8 jilid itu justru dilihat memiliki berbagai keistimewaan. Di antaranya dalam penjelasan munasabah atau korelasi (keterkaitan) antar ayat atau antar surah. Dalam menguraikan penafsiran suatu ayat, ia selalu menguraikan pembahasan yang memadai tentang munasabah antar ayat tersebut dengan ayat-ayat lain, bahkan antara surah dengan surah yang lain.
Keturunan Abu Bakar
Imam Fahruddin Ar-Razy yang bernama lengkap Abu Abdullah Muhammad bin Umar bin al-Husin Al-Taimi Al-Bakri At-Tabaristani Ar-Razi itu lahir di Rayy, Persia, tak jauh dari Teheran, Iran modern, tahun 543 H. Dari garis ayah, nasab ulama ahli falsafah, ilmu aqidah dan faqih madzhab Syafi’i itu kepada Abu Bakar Shiddiq, sahabat dan mertua Rasulullah SAW.
Pengajiannya diawali di rumahnya, ia mengaji ilmu kalam, fiqih dan berbagai pengetahuan umum seperti kedokteran, fisika dan astronomi kepada ayahnya sendiri, Syaikh Dhiyauddin, ulama terkemuka masa itu yang berjuluk Khathib Ar-Rayy. Setelah sang ayah wafat, Ar-Razi meneruskan pengajian kepada beberapa ulama di kotanya seperti Imam Al-Baghawi (ahli tafsir dan hadits), Syaikh Majduddin Al-Jilli (ilmu kalam dan filsafat) dan Kamal Samnani.
Berkat kecerdasannya, dalam usia muda Ar-Razi telah menguasai berbagai cabang ilmu agama dan ilmu-ilmu pengetahuan modern untuk ukuran saat itu. Tak hanya mempelajari, beberapa kitab induk seperti Asy-Syamil karya Al-Juwaini (ilmu kalam), Al-Mustasyfa karya Al-Ghazali dan Al-Mu’tamad karya Al-Basri ia hafalkan di luar kepala.
Kedalaman pengetahuannya dalam fiqih madzhab Syafi’i dan teologi aliran Asy’ariyyah juga sangat terkenal di kotanya. Bahkan belakangan tokoh yang juga dikenal dengan julukan Ibnul Khathib itu termasuk salah seorang ulama terkemuka dua madzhab tersebut.
Ar-Razi kemudian mengembara mencari ilmu ke Khawarizmi. Di setiap tempat yang disinggahinya, orang-orang mengerumuninya untuk menuntut ilmu. Di kemudian hari tempat-tempat yang pernah dikunjunginya ia catat dengan rapi di salah satu bukunya yang berjudul Munzharat Fakhruddin Ar-Razi fi Bilad Ma Wara an-Nahar, lengkap dengan nama murid-murid dan ulama yang pernah disowaninya. Di berbagai tempat itu ia juga bertemu dan berdebat dengan beberapa aliran sesat seperti Mu’tazilah, Syiah dan Qaramithah.
Di masa tuanya, Ar-Razi menetap di Herat, Afghanistan. Di tempat itu ia membangun masjid, mengajar dan menulis beberapa kitab hingga ajal menjemput nyawanya pada tahun 606 H/1209 M. Di kota Herat itu pula jenazah tokoh yang telah menulis tak kurang dari 81 judul kitab itu dimakamkan.
Meski pernah menulis karya tafsir yang sangat terkenal, Ar-Razi lebih dikenal sebagai ahli fiqih dan filosof. Beberapa karya di bidang filsafatnya ialah Syarih al-Isyarat, yang berisi komentarnya mengenai kitab Al-Isyarat wa At-Tanbihat karya Ibnu Sina. Sedangkan di bidang ushul fiqh karya besarnya berjudul Al-Mahshul fi ‘Ilmi Al-Ushul, yang merangkum empat kitab besar dalam madzhab Syafi’i dan pendapat para ahli ilmu kalam.
Sementara karya tafsirnya, Mafatihul Ghaib, belakangan menginspirasi beberapa mufassir lain seperti Al-Baidhawi (w. 691 H), Nizhamuddin Al-Qummi An-Naisaburi (w. 728 H) dan Az-Zarkasyi (w. 794 H).
Luar biasa!
Ahmad Iftah Sidik, Santri Asal Tangerang