Alkisah, Sufyan As Tsauriy pada suatu kesempatan, ia pergi ke Makah untuk melaksanakan haji. Ketika dalam perjalanan ia menangis tersedu-tersedu diatas kendaraan mulai menjelang waktu maghrib sampai menjelang waktu subuh dini hari.

Orang-orang yang ada di sekitarnya menjadi bertanya-tanya, “Kesedihan apa yang sedang melanda hati sang syaikh kita?” Setelah siang hari dan suasana sudah normal kembali semula, santrinya memberanikan diri bertanya kepada Sang Syaikh, “Wahai tuanku, mengapa engkau menangis semalaman suntuk? Jika kiranya ratapmu sebab dosa-dosamu, maka Tuan jangan melakukan perbuatan maksiyat!”.

Sang Syaikh menjawab, “Dalam benakku tiada kekhawatiran akan kecil maupun besarnya sebuah dosa yang ada pada diriku, akan tetapi saya sedang teringat dengan nasib guru yang sangat ‘alim al ‘allamah, abid, zuhud, dan tawadlu'”.

Ia melanjutkan ceritanya, “Dari Guruku-lah aku menimba banyak ilmu sehingga aku mengerti syariat agama. Beliau mengajar kepada murid-muridnya yang tidak bisa terhitung jumlahnya selama 40 tahun dengan ikhlas. Beliau selalu beribadah siang maupun malam di dekat Ka’bah selama 20 tahun. Beliau mustajab doanya, beliau pernah diminta oleh masyarakat sekitarnya yang dilanda panasnya kemarau untuk bermunjat kepada Allah untuk memohon air hujan, tak lama kemudian dari munajatnya turunlah hujan. Beliau menurut saya segala-segalanya:.

Namun, apa yang terjadi ketika beliau wafat…? Sang Guru wafat dengan tidak menghadap kiblat. Dengan kata lain, beliau wafat tidak dalam khusnul khatimah. Setiap aku ingat kisah wafat guruku maka air mataku selalu menetes deras tak peduli lamanya waktu. Ya Tuhan, hambamu ini sangat takut sekali. Ya Tuhan, khusnulkhatimah-kah aku?. Wallahu ‘alam.

Similar Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *