Publisitas Karya Ulama Lokal– Saat hendak mengisi ceramah di Kedungbanteng, KH Attabik Yusuf menyempatkan diri bercermin. Wanita secara naluriah suka bercermin sehingga dalam bahasa Arab wanita disebut mar’ah, sedangkan cermin dinamakan mir’ah, begitu ujar beliau. Selain mar’ah dan mir’ah, ada banyak contoh yang akan saya jadikan risalah, imbuhnya.

 

Pernyataan sang kyai saya simpan dalam benak hingga ketemu beliau di forum rapat BAZIS.
Apakah kiai sudah menulis risalah tentang mar’ah dan mir’ah atau yang lain? Wah… belum sempat, jawabnya.
Saya hanya manggut-manggut, memaklumi berbagai kesibukan beliau. Selain sabagai mubaliq, Kiai Tabik dan ulama NU pada umumnya, adalah pengasuh pesantren. Sebelum menjadi Ketua MUI Kabupaten Banyumas, di menjabat Kepala Kantor Departemen Agama (Kakandepag) setempat.
Di rapat BAZIS ada beberapa hal penting yang penulis catat. Tidak semua amil (panitia) zakat berhak mendapat bagian (upah).
Mereka yang nama-namanya tertera dalam kepanitiaan tapi tak bekerja, maka tak berhak beroleh imbalan. Al-ujratu bihasbil amal, upah itu sesuai dengan jerih payahnya, demikian kira-kira maksud Kiai Tabik.
Pada kesempatan lain saya menghadiri pengajian umum di Pendapa Si Panji Kabupaten Banyumas. Ketua PCNU yang juga Ketua STAIN Purwokerto, KH Chariri Shofa, bertindak sebagai pembicara. Bagi masyarakat awam, ujar Kiai Chariri, jumlah rakaat tarawih 8 dan 20 sering jadi bahan perdebatan.
Dalam kitab yang baru saya beli di Tanah Suci ada riwayat yang menyebut tarawih 40 rakaat. Orang yang tak mau tarawih itulah yang justru jadi sumber masalah, tandas Kiai Chariri.
Sayang seribu sayang, pernyataan dua kiai di atas hanya disampaikan secara lisan. Alangkah efektif apabila penjelasan seperti itu tertuang dalam bentuk tulisan —setidak-tidaknya risalah kecil (buletin). Dengan begitu jamaah mendapat oleh-oleh tertulis yang bisa disebarluaskan di lingkungan masing-masing.
Betapa pun, informasi tulis lebih terjaga akurasinya ketimbang informasi lisan yang didengar-ingat oleh jamaah. Tetapi, kenapa ulama NU (lokal) tidak tertarik pada dunia tulis-menulis?
Kalau dicermati, sebetulnya NU Banyumas punya sejumlah ulama (muda) potensial.
Sebutlah semisal Kiai Sobri (Tinggarjaya), Gus Anam (Leler), Kiai Sangidun (Bakung), Gus Hayat (Pekuncen), dan lain-lain. Sayang, beberapa di antaranya lebih memilih berkiprah di politik ketimbang di struktural NU.
Kiai Sobri, misalnya, sebelum membidani PKNU sempat berteduh di bawah ‘’Beringin’’. Gus Anam pilih menjadi nakhoda PPP. Kiai Sangidun berada di lingkaran PKB. Adapun yang nirpolitik terbilang langka.
Secara langsung atau tidak, kesibukan ulama di dunia politik menjadi salah satu pemicu minimnya publisitas karya-karya mereka. Boleh dibilang ini merupakan setback bagi NU pada tataran lokal Banyumas.
Sekadar pembanding, almarhum Kiai Muslich (Karangsuci) menerbitkan Otobiografi 70 Tahun KH Muslich, Kiai Muzni (Karangcengis) menulis Basyairul Khairat, KH Sami’un (Parakan Onje) merilis Lubabuzzad, dan lain-lain.
Wabakdu, beberapa kali penulis melihat Rois Syuriah NU KHM Hidayat menyampaikan khotbah iftitah di forum formal NU menggunakan bahasa Arab. Namun, penulis kurang yakin naskah pidato tertulis itu terdokumentasi dengan baik.
Saya kira, sudah saatnya NU memiliki Tim Kreatif yang bertugas mengidentifikasi, merekam, serta menuangsajikan pemikiran para ulama lokal ke dalam bentuk tulisan.
Barangkali, ini kavling bagi intelektual muda nahdliyin yang tergabung dalam Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) untuk mulai berkiprah. (35)

—Akhmad Saefudin SS ME, warga nahdliyin & aktivis Forum Studi Al-Mustaqbal (FSA) Purwokerto

Sumber: Suara Merdeka

 

Similar Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *