Banyumas PesantrenMenegakkan Wajibnya Ijtihad
Oleh: A. Mustofa Bisri

Judul Kitab : Al- Radd ‘ala Man Akhlad
Ila ‘al-Ardl wa Jahila anna ‘al-Ijtihad fi Kulli ‘Ashr Fardl.
Pengarang : Imam Jalal al-dien Abd al-Rahman ibn Abi Bakr al-Suyuthi
Penyunting : Syeikh Khalil al-Mais
Penerbit : Dar al Kutub al-Ilmiyah, Bairut, Libanon Tahun terbit 1403-1983
Tebal : 200 halaman (termasuk indeks)

Di kalangan Pesantren nama al-Suyuthi atau lengkapnya: Abu al-Fadl al Jalal al-Dien Abd al-Rahman ibn al-Kamal Abi Bakr ibn Muhammad al-Hudliry al-Suyuthi bukanlah nama yang asing. Masyarakat pesantren cukup mengenal, atau akrab dengan beberapa karyanya seperti Al-Itqaan (tentang ilmu-ilmu al-Qur’an), Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul, Tafsir al-Jalalain (dimana al-Suyuthi melanjutkan tafsir gurunya, Jalal al-Dien al-Mahalli, konon hanya dalam waktu 40 hari), Al-Jami’ al-Shagir (ringkasan dari karya yang lebih besar tentang hadits) Al-Jami’ al-Kabir, Al-Asybah wa al-Nadhair (tentang kaidah dan ushul fiqh, ditinjau di “Pesantren” I) dan karya al-Suyuthi yang lain berjudul sama, mengenai ilmu nahwu, Uqud al-Juman (bidang sastra), dan masih banyak yang lain.

Namun sebanyak apapun karya-karya yang dikenal kalangan Pesantren, rasanya teramat sedikit dibanding karya-karya al-Suyuthi yang tak sampai kepada mereka yang konon mencapai 600 judul. (Lihat Dairat al Ma’arif al-Islamiyah XIII/27-31). Dan betapapun mereka banyak yang mengenal as-Suyuthy sebagai tokoh ulama “nyentrik”, namun saya kira msih lebih banyak lagi sisi-sisi lain dari syakhshiyah tokoh ini yang tak mereka kenal.

Kitab yang sedang kita tinjau ini misalnya, dengan judulnya yang begitu “aneh”, mungkin merupakan penyingkapan baru bagi pengenalan pribadi dan pemikiran tokoh super produktif. Namun sepengetahuan saya, tak begitu banyak santri yang mengenal kitab ini, apalagi membacanya. Bukan karena tak mau, atau tak punya waktu; tapi lebih karena –seperti terhadap banyak kitab yang lain– miskinnya perpustakaan di kalangan mereka. Kenyataan ini cukup memprihatinkan, sehingga akan sia-sia menuntut santri menjadi ulama yang mumpuni hanya dengan slogan-slogan nasehat, apalagi dengan keluhan-keluhan merosotnya mutu ulama saja, tanpa adanya upaya memperkaya perpustakaan di lingkungan pesantren.
Melihat judulnya nampak bahwa kitab ini tidak dimaksud untuk konsumsi orang kebanyakan. Judul yang mempergunakan iqtisab dari ayat 175 surat al A’raf ini, benar-benar ringkasan dari isi kitab: Bantahan terhadap orang yang Keblinger dan Tidak Tahu bahwa Ijtihad di Setiap Periode (‘ashr) adalah waktu Fardlu.

Taqdim dan ta’rif Syeikh al-Mais, rektor Azhar Libanon yang menyunting kitab ini boleh dikata hanya menukil, atau setidaknya bersumber dari Imam al-Suyuthi sendiri. Misalnya mengenai tahapan-tahapan kehidupannya (hal. 3-6), mengenai ilmu-ilmu (Hisab dan Mantiq) yang tak dikuasai (hal. 6-7), adalah nukilan dari kitab Husn al-Muhadlarah. Juga mengenai pendapatnya tentang mujaddid yang dibangkitkan pada setiap penghujung abad dan keyakinannya bahwa dirinya juga termasuk mujaddid mujtahid mutlak berikut daftar masalah fiqhiyah yang dijadikan bukti pendukung pengakuan tersebut (11-23), dikutip oleh al-Mais dari karya al-Suyuthi yang lain, al-Tahadduts bil-Ni’mah. Sedang dari halaman taqdim selanjutnya hingga menjelang karya al-Suyuthi sendiri (hal. 23-62), merupakan daftar riwayat singkat 209 tokoh dari berbagai madzhab yang menyepakati pernyataan kefardlu-kifayah-an ijtihad di setiap kurun waktu.

Taqlid Berarti Ta’thil
Dalam mengawali kitabnya yang terdiri dari empat bab ini, al-Suyuthi mengatakan: Waba’d, sungguh kebodohan telah melanda kebanyakan orang, kebandelan telah membuta-tulikan mereka, sehingga mereka membesar-besarkan pengakuan ijtihad dan mengaggapnya kemungkaran. Orang-orang bodoh itu tidak sadar bahwa ijtihad adalah fardlu kifayah di setiap kurun waktu (kulil ‘ashr) dan wajib adanya orang/kelompok yang melaksanakan ijtihad itu di setiap daerah. (hal. 56)
Di bab I yang membuat nash-nash para ulama mengenai ke-fardlu-kifayahan ijtihad, al- Suyuthy mengawali dengan pernyataan Imam al-Syafi’i, dan shahibnya, Imam al-Muzani. Imam al-Syafi’i melarang orang-orang yang hidup di suatu kurun waktu bertaqlid semua, karena dengan demikian terjadi penyia-nyiaan (ta’thil) terhadap salah satu dari fardlu kifayah, yaitu ijtihad. (hal. 67)
Menarik apa yang dikutip al-Suyuthi dari Imam Abu al-Hasan al-Mawardi di awal kitabnya al-Haawy al-Kabir ketika menjawab pernyataan yang diandaikannya sendiri: ”Kenapa as-Syafi’i melarang orang bertaqlid kepada orang lain bagi orang awam yang meminta fatwa tidak dicegah?”
Taqlid itu berbeda-beda sesuai perbedaan ihwal seseorang dalam kaitannya dengan sarana ijtihad. Sebab menuntut ilmu pengetahuan adalah termasuk fardlu kifayah. Kalau semua orang dilarang taqlid dan dituntut berijtihad, niscaya menuntut ilmu menjadi fardlu’ain. Ini merusak tatanan. Kalau semuanya taqlid, ijtihad pun batal dan kefardluan itu pun gugur. Ini ta’thil terhadapa syariat dan peniadaan terhadap ilmu. Karena itu ijtihad wajib atas salah satu dari sekelompok masyarakat. Allah berfirman: Falaula nafara min Kulli firqatin minhum thaifatun liyataqqahu fi al din waliyundziru qaumahum idza raja’u ilaihim la’allahum yahdzarun .(al-Taubah: 122). Jadi ijtihad tidak gugur dari semua, dan tidak merupakan perintah untuk semua. (hal. 68).

Pendapat tentang ijtihad ini diperkuat lagi dengan argumentasi yang menyatakan di awal kitabnya I jaz al-Qur’an, mengenai pembagian al-Qur’an menjadi muhkam dan mutasyaabih. Kalau al-Qur’an semuanya jelas, muhkam, niscaya tiadalah pahala buat istinbath dan gugurlah hukum ijtihad yang mengantar kederajat terhormat. Karena itu Allah tidak menash semua kejadian secara terperinci, tapi menerangkan sebagian dan menuturkan beberapa perkara secara global dan menyerahkan kepada Rasulullah saw untuk menerangkannya, yang dengan demikian mengangkat derajatnya. Maka Nabipun menjelaskan sebagian perkara dan menyerahkan hal yang baru kepada ulama sesudahnya. Kalau semua ilmu jelas, tidak membutuhkan penelitian, ijtihad, pemikiran dan istinbath; niscaya merupakan sesuatu yang dlaruri seperti ilmu tauhid dan al-ilmu billah. Dan itu berarti gugurnya persoalan pahala dan penyia-nyiaan syariat (hal. 70).

Secara berturut-turut, al-Suyuthi menuturkan nash-nash ulama yang memperkuat pernyataannya di awal kitab. Ada nash Imam al-Haramain dari kitabnya al-Nihaayah, nash Imam al-Ghazali dari kitabnya al-Basith nash Imam al-Raafi’i dari al-Minhaaj, dan Syarh Muslim (hal. 3-11). Dari imam-imam madzhab Maliki, ada nash al-Qadli Abu al-Hasan Ali ibn Umar al-Baghdadi dari kitabnya al-Muqaddimah fi Ushul al-Fiqh yang menyatakan wajibnya ijtihad, ada nash Imam al-Qarafi dari kitabnya al-Tanqih juga tak ketinggalan nash-nash dari para imam madzhab Hanafi dan Hanbali (hal. 80-82).

Realisasi kewajiban ijtihad, secara nyata menurut para fuqaha harus dilakukan oleh orang yang menduduki jabatan antara lain: imamah al-‘udhma wuzarah al-tafwidl, qadla dan ifta. Ulama Syafi’iyah, Malikiyah dan Hanabilah sepakat mensyaratkan imamah ‘udhma haruslah mujtahid. (hal. 82).

Bahkan orang-orang yang diajak musyawarah oleh hakim (qadli), juga disyaratkan harus memenuhi persyaratan ijtihad. Masih ada lagi “jabatan-jabatan” yang oleh sementara fuqaha disyaratkan ijtihad dan oleh yang lain tidak; seperti wuzarah al-tanfidz (yang menjabat disebut wazir al-tanfidz: pembantu yang melaksanakan kebijaksanaan imam dan tidak berwenang membuat kebijaksanaan sendiri, bandingannya adalah wazir tafwidl yang dapat membuat kebijaksanaan sendiri atas nama imam, Pen.). dan yang disyaratkan ijtihad khusu untuk bidang tertentu yang menjadi tugas penjabatnya; seperti ‘aqid al-ankihah di bidang nikah dan saa’i al-zakat di bidang zakat. (hal. 84-96).

Tingkatan Ijtihad
Para ulama berpendapat bahwa suatu kurun waktu tidak boleh, secara aqli, sepi dari mujtahid. Dalma bab II misalnya, dinukil pernyataan bahwa Imam al-Zarkasyi yang mengatakan bahwa sepinya (kurun waktu) dari mujtahid berakibat secara pasti kejatuhan semua umat di atas kekeliruan (dosa), karena diabaikannya ijtihad yang fardlu kifayah, sebagaimana juga dikatakan oleh Ibn Abd al-Salam.

Gerakan mengenai tertutup atau tidaknya pintu ijtihad, menurut al-Suyuthi karena orang hanya mengnyah-ngunyah istilah tanpa mengetahui artinya. Orang mengatakan hari ini mujtahid mutlak sudah tiada, tanpa mengetahui perbedaan antara mujtahid mutlak, mujtahid mustaqil dan antara mujtahid muqayyad dan mujtahid muntasib. Padahal antara masing-masing itu semua ada perbedaan. Mujtahid mutlak lebih umum dari mujtahid muqayyad. Mujtahid mustaqil adalah mujtahid yang mempunyai kaidah-kaidahnya sendiri dan “membangun” fiqhnya tanpa menggunakan kaidah-kaidah madzhab yang telah ada. Mujtahid yang inilah yang tiada lagi; bahkan kalau ada orang yang ingin mencapainya pun hampir-hampir tiada jalan.
Mujtahid mutlak, hampir sama dengan mujtahid mustaqil, hanya saja tidak menciptakan kaidah-kaidah sendiri, tapi menggunakan kaidah-kaidah imam mujtahid yang telah ada.

Di akhir bab II ini imam as-Suyuthy menjelaskan bahwa yang telah ia capai adalah tingkat ijtihad mutlak, bukan ijtihad istiqlaal dan bukan pula “hanya” mujtahid muqayyad. Beda antara muqayyad dengan mutlak, menurut beliau, bahwa yang muqayyad kurang dipersyaratankan penguasaan terhadap ilmu-ilmu: hadits dan bahasa Arab. Padahal seperti kata Suyuthi “Keculai mungkin nabi Khidir dan wali Qutb, tak seorang pun di muka bumi ini, dari Timur hingga Barat , yang menguasai kedua ilmu itu melebihi aku. “ (hal. 116).

Keengganan ?
Bab III menuturkan tokoh-tokoh — baik dari ulama Salaf atau Khalaf – yang menganjurkan dan menyuruh ijtihad serta mencela dan melarang taqlid.
Disebutkan beberapa nama tokoh yang sengaja mengarang ktiab untuk itu seperti antara lain: al-Muzani, shahib Imam Syafi’i yang mengarang kitab Fasad al-Taqlid, Ibn Hazm dengan tiga buah bukunya yang mencela taqlied, Ibn Abd al-Barr dengan kitab Ilmunya al-Majd al-Syarazy, penyusun al-Qamus, dengan kitabnya –al-Ish’ad ila Rutbah al-Ijtihad dan masih banyak yang lain (117).

Hal tersebut mungkin akan mengejutkan banyak orang kalau saja di kitab ini, bab ini, tidak diterangkan panjang lebar tentang apa itu taqlid dan apa bedanya dengan itba’ lengkap dengan kutipan pendapat-pendapat para imam fuqaha, diterangkan mengenai ushul-fiqh dan fungsinya yang kata Imam al-Ghazali di kitabnya al-Mustashfa, sebagai penunjuk jalan bagi para mujtahid. “Wahai muqallid, wahai orang yang menganggap ijtihad telah terhenti dan tak ada lagi seorang mujtahid pun, kau tidak perlu menekuni usul-fiqh, karena ushul-fiqh hanya untuk mereka yang akan menjadi mujtahid.” “kata Dzahabi. Di kalangan ulama telah sepakat bahwa muqallid tidak punya ilmu dan tidak dapat disebut ulama; kata Ibm Abd al-Bar. Tapi perlu diketahui bahwa istilah taqlid itu sendiri dikutip dari kitab Ibthal al-Taqlid, baru timbul pada abad IV (hal. 133).
Tokoh-tokoh fuqaha dari abad I hingga II Hijriyah menurut al-Suyuthi masing-masing mereka telah berbeda pendapat dengan imamnya dalam banyak hal, dan memilih lain dari apa yang dikatakan imamnya.

Bab terakhir boleh dikata penguat belaka terhadap uraian-uraian sebelumnya; berupa pernyataan-pernyataan – sekitar 47 pernyataan tokoh-tokoh ulama dari berbagai madzhab mengenai hal-hal yang berkaitan dan ilmu-ilmu apa saja yang harus dikuasai untuk berijtihad, serta prosedur, waktu dan bidang apa saja ijtihad itu juga tentang ijma’ dan siapa saja yang diperhitungkan dalam ijma’ itu tentang taqlid; bagaimana orang awam bertaqlid dalam masalah yang waqi’ah dan seterusnya. Di awal bab ini, misalnya, dikutip pernyataan Majd al-Din Ibn Daqiq al-‘Ied dalam kitabnya Talqih al-Afham: “Mujtahid sulitnya mendapatkan sarana ijtihad, tapi lebih karena keengganan orang untuk menekuni jalan menuju ke sana.”

Jadi; kitab ini –seperti di awal sudah disinggung- memang tidak diperuntukkan orang kebanyakan. Mungkin dapat menghentikan –kalau tidak malah lebih meramaikan, siapa tahu– keributan orang mengenai ditutup atau tidaknya pintu ijtihad. Tapi kita mengharap, yang lebih penting barangkali: kitab ini dapat melecut dan mentasyji’ khususnya yang calon ulama, untuk benar-benar menjadi ulama. Ulama yang tidak minus atau dengan bahasa kitab ini: “ulama mujtahid”.

KH. DR. A. Mustofa Bisri, Pengasuh Pondok Pesantren Roudhatul Thalibin Leteh Rembang
* Tulisan ini pernah dimuat dalam majalah Pesantren edisi No. 4/Vol. II/1985

Similar Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *