Banyumas PesantrenKeunggulan Literatur Klasik Pesantren
DALAM beberapa bulan terakhir saya terlibat diskusi di sebuah pesantren di Purwokerto. Pada forum itu penulis mencoba ’’memprovokasi” para santri dalam hal menulis. Bidang kepenulisan kini mulai mendapat perhatian lebih di kalangan pesantren. Aktivitas santri tak saja membuat majalah dinding namun juga mengirim tulisan ke media massa cetak.

Harus diakui, pesantren adalah sumber inspirasi yang amat potensial. Ibarat harta karun, pesantren banyak menyimpan mutiara terpendam. Eksplorasi atas potensi tersebut menjadi relevan untuk menyemarakkan jagad literasi kontemporer di negeri ini.

Penerjemahan literatur klasik (berbahasa Arab) ke dalam bahasa Indonesia merupakan langkah yang perlu dilakukan para santri untuk mengasah pena kepenulisan mereka.

Ternyata, filsafat praktis (termasuk retorika, budi pekerti, hingga ide-ide mencerahkan) tak saja dijumpai dalam literatur serius.Betapa tak? Hal itu banyak didapati dalam bacaan-bacaan ringan ( supplementary materials ) sekalipun.

Sebutlah kitab Qira’atur Rasyidah (QR) karya Syeikh Abdul Fatah dan Syeikh Ali Umar. Buku teks bacaan ( reading text ) terbitan tahun 1950-an tersebut masih sangat relevan dengan konteks kekinian.

Tes wawancara( job interview ), misalnya, adalah salah satu model seleksi bagi para calon tenaga kerja yang berlaku di era modern.Penulis, sempat terhenyak ketika mencermati bacaan berjudul ’’ Al-Adabu Asasun Najah ” (AAN; Pekerti Pangkal Keberhasilan).

Dikisahkan, seorang pedagang (businessman) mengumumkam jika dirinya butuh seorang pemuda sebagai juru tulis. Singkat cerita, tak lama berselang berduyun-duyunlah pemuda yang ingin mengikuti seleksi (QR Juz 2, 1954:9).

Satu per satu para pemuda pun dipanggil ke dalam ruangan seleksi. Sang saudagar melakukan wawancara guna mengetahui kecakapan si calon sekretaris. Akhirnya, terpilihlah seorang pemuda setelah melalui wawancara yang amat singkat. Peserta lain mempersoalkan, kenapa pemuda itu yang lolos seleksi.

Saya memutuskan untuk memilih pemuda ini dengan beberapa pertimbangan. Pertama, ketika memasuki ruangan ia terlebih dahulu membersihkan sepatunya dengan keset yang ada. Kedua, ia membuka dan memutup pintu secara halus. Ketiga, ia menjawab salam saya dengan baik. Keempat, ia mengikuti antrean secara tertib. Demikian ujar sang saudagar.

Dari hal di atas sang saudagar berkesimpulan, pemuda ini adalah orang yang suka menjaga kebersihan, pribadi yang tertib, menjunjung tinggi budi pekerti, dan rendah hati. Atas kriteria itulah si pemuda dinyatakan lolos dan mengalahkan yang lain.

Dalam cerita AAN, yang tersaji hanya dalam 15 baris tersebut, kita menemukan ’’mutiara” dan esensi sebuah tes wawancara. Sebaliknya, pada era sekarang buku ’’ Cara Jitu Menghadapi Tes Wawancara” , ’’Preparing Job Interview” dan berbagai judul lain banyak dijual di pasaran. Pertanyaannya, apakah buku-buku tersebut memiliki kedalaman isi sabagaimana kisah AAN pada QR itu?

Selain model ’’tes wawancara” yang brilian, penulis juga menjumpai model diplomasi dan retorika yang sangat tak kalah cerdas.Tengoklah cerita berjudul ’’ Al-Khadim was Samakat” (Pembantu dan Ikan).

Suatu pagi seorang pembantu diperintah majikan untuk belanja ikan. Didapatinya pasar demikian padat pembeli sehingga ia harus menunggu antrean. Setelah lama menanti, tibalah giliran dia (QR Juz 2, 1954:88).

Melihat ikan yang tak segar dan mencium bau menyengat, sang pembantu mengambil salah satu ikan serta mendekatkan ke hidungnya.Melihat ulah calon pembeli, si penjual merasa kesal dan menegurnya. ’’Kalau mau beli, gak usah dicium-cium segala. Ikan saya semua bagus dan segar!” ujarnya ketus.

Saya tak mencium ikan-ikan ini; saya berbisik menanyakan sesuatu pada ikan ini, jawab sang pembantu. Menanyakakan apa? Lalu, apa katanya? Bentak si penjual ikan.

Saya tanya, apakah ia tahu saudara saya yang tenggelam di sungai tiga hari lalu. Ikan ini menjawab, tak tahu. Sebab, ia (ikan) sudah keluar dari sungai itu dua minggu yang lalu. Begitu ujar sang pembantu sambil meninggalkan penjual ikan yang terbengong- bengong.

Wa ba’du,agar mutiara-mutiara dalam literatur pesantren makin membumi, sudah saatnya ia dialihbahasakan.

Akhmad Saefudin SS ME Pemerhati sastra pesantren, Staf Humas Ma’had Ath-Thohiriyyah Purwokerto

Similar Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *