Banyumas Pesantren-KH Ali Maksum:Ulama NU Visioner dari Krapyak

Meski lahir dari keluarga pesantren tradisional, ulama yang satu ini tergolong sangat moderat, visioner dan reformis. Sentuhan tangan dinginnya menghidupkan kembali pesantren-pesantren yang hampir sekarat.

Juli 1942.
Suasana duka menggelayuti langit kampung Krapyak, Yogyakarta. Hari itu, K.H. R. Munawwir, ulama dan guru besar tahfizhul Quran sekaligus pengasuh pesantren Krapyak wafat. Ribuan umat Islam yang terdiri dari ulama, pungawa keraton Kasultanan, alumni dan masyarakat Bantul larut dalam upacara pemakaman sang ‘allamah.

Beberapa hari usai pemakaman, kedukaan umat Islam Yogyakarta mulai berangsur hilang. Namun tidak demikian halnya dengan keluarga pesantren Krapyak.

Sebab, ketika Kiai Munawwir wafat, hanya ada dua orang putranya yang sudah cukup besar untuk meneruskan kepengasuhan pesantren besar itu, Gus R. Abdullah Affandi (24 th) dan Gus R. Abdul Qadir (22 th). Sementara yang lain rata-rata masih berada di bawah umur. Akibatnya, pesantren kekurangan tenaga pengajar dan pendidikan di madrasah-madrasah di lingkungan pesantren Krapyak pun berjalan terseok-seok.

Karena masih terlalu muda kedua putra mahkota itu merasa tidak sanggup menangani pesantren besar itu berduaan saja. Akhirnya mereka memutuskan untuk meminta bantuan adik ipar mereka yang saat itu tengah membantu mengajar di pesantren ayahnya di Lasem, Rembang. Meski berstatus adik, umur sang ipar tiga tahun lebih tua dari Gus Abdullah dan ia dikenal sebagai ulama muda yang sangat alim dan cakap. Dialah K.H. Ali Ma’shum, putra ulama legendaris pertengahan abad XX, K.H Ma’shum, Lasem.

Melihat keadaan madrasah yang kembang kempis dan tak mungkin diselamatkan tanpa sebuah gebrakan yang revolusioner. Dengan pertimbangan matang, Kiai Ali Ma’shum pun memutuskan untuk menutup pesantren Krapyak dan memluangkan semua santri. Selanjutnya, selama dua tahun (1942-1944), Kiai Ali menggembleng sepuluh orang adik iparnya yang masih kecil.

Dengan penuh kedisiplinan, siang malam mereka dipaksa mengunyah dan menelan berbagai metodologi dan teks ilmu keislaman ala pesantren. Sangat disiplin, bahkan cenderung keras. Karena tidak jarang Kiai Ali Ma’shum memberi hukuman berdiri bila salah satu adiknya tidak mampu mengerjakan tugas menghafal atau mensyarah kitab yang diberikannya.

Kamus Berjalan
Upaya tak kenal lelah Kiai Ali berhasil. Beberapa tahun berikutnya adik-adik kecilnya telah menguasai berbagai cabang keilmuan Islam, dalam usia yang masih tergolong sangat belia. Sebut saja Gus Zainal Abidin, yang belakangan terkenal sebagai ahli fiqihnya kota Yogyakarta, dan Gus Warson, yang termasyhur dengan karya monumentalnya, Kamus Al-Munawwir. Tak heran ketika dua tahun kemudian Pesantren Krapyak kembali dibuka, Kiai Ali telah mempunyai tenaga stok pengajar yang lebih dari cukup.

Kiai Ali lahir pada 15 Maret 1915 di Lasem, Rembang, Jateng sebagai putra Kiai Ma’shum, pimpinan pesantren Al Hidayah, Soditan, Lasem Rembang, Jawa Tengah. Ketika usianya menginjak 12 tahun, Ali dikirim ke pesantren Termas, Pacitan, Jatim, sebuah pesantren paling besar dan termasyhur kala itu selain Tebuireng, Jombang dan Lasem sendiri. Di Termas ia berguru kepada Syaikh Dimyathi At-Tarmasi, adik Syaikh Mahfudz At-Tarmasi, ulama besar Nusantara yang mengajar di salah satu pintu Masjidil Haram.

Sebagai putra kiai kondang, sejak kecil Ali memang telah digembleng dengan dasar-dasar ilmu agama yang lebih dari cukup. Sehingga ketika delapan tahun belajar di Termas, ia sama sekali tak menemukan kesulitan. Bahkan ia mendapat perhatian istimewa dari Syaikh Dimyathi. Tidak seperti santri lain yang tinggal di asrama, Ali justru diperintahkan tinggal di Ndalem bersama keluarga Kiai Dimyathi.

Sejak awal mondok, Ali juga diijinkan gurunya mengikuti pengajian bandongan yang biasanya hanya diikuti santri-santri senior. Bahkan Ali dibiarkan membaca kitab-kitab karangan ulama pembaharu seperti Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan Ibnu Taimiyah yang tidak lazim dipelajari di pesantren salaf. Syaikh Dimyathi menilai Ali Ma’shum sudah memiliki dasar keilmuan yang cukup kuat, sehingga bacaan-bacaan itu tidak akan mengubah akidahnya, justru akan memperluas pandangannya.

Segala kelebihan Ali Ma’shum itu tidak terlepas dari kepandaiannya dalam ilmu bahasa Arab yang di atas rata-rata. Koleksi buku-buku dan majalah terbaru yang berbahasa Arab juga menunjukkan tingkat kemahirannya. Perbendaharaan kata dalam bahasa Arabnya yang sangat banyak membuatnya Ali dijuluki “Munjid berjalan” di antara sesama santri seangkatannya. Munjid adalah kamus bahasa Arab terlengkap yang disusun oleh Louis Ma’luf, orientalis abad 19.
Bahkan Ali Ma’shum kemudian diminta membentu putra-putra Mbah Dimyathi untuk mereformasi sistem pesantren Termas dengan berpedoman pada buku-buku baru terbitan Mesir. Melalui sentuhan generasi muda pesantren itu Termas membuka diri bagi hadirnya kegiatan-kegiatan yang bersifat nasionalistis.

Salah satunya adalah organisasi kepanduan yang kala itu menjadi wahana menanamkan sikap nasionalisme dan melatih kepemimpinan generasi muda. Di kepanduan inilah bakat kepemimpinan para santri diolah. Ali Ma’shum yang cerdas, berwawasan, dan berwibawa pun diangkat menjadi sebagai kepala kepanduan di Termas pertama yang membawahi 2.000 santri. Melalui kegiatan inilah namanya dikenal masyaralat sekitar pesantren, dan semakin moncer ketika beberapa tahun kemudian dia diangkat menjadi kepala madrasah.

Qiraat Tujuh
Sekembali dari Termas, Ali membantu ayahnya mengasuh pesantren mereka di Lasem. Tak lama kemudian ia dinikahkan dengan Hasyimah binti Munawir, putri pimpinan pesantren Krapyak, Yogyakarta. Sebulan setelah pernikahan ia mendapat kesempatan pergi haji atas bantuan seorang dermawan, H. Djuned.

Selain berhaji, selama dua tahun bermukim di Makkah, Ali juga menyempatkan diri belajar kepada ulama besar Tanah Suci, diantaranya kepada Sayyid Alwy Al Maliky dan Syaikh Umar Hamdan. Ketika Kiai Ali kembali dari Mekah, tahun 1941, kondisi tanah air sedang kacau balau karena penjajah Jepang baru saja masuk. Seperti pesantren-pesantren lain, Pesantren Lasem pun sepi ditinggal para santrinya.

Dengan usaha Kiai Ali yang gigih, perlahan pesantren yang didirikan ayahandanya itu kembali menggeliat bangkit. Namun baru dua tahun memimpin pesantren Lasem, ibu mertuanya datang dan minta dirinya pindah ke Krapyak, Yogyakarta, untuk memimpin pesantren yang baru saja di tinggal wafat Kiai Munawir.

Dan ternyata, itulah jalan baginya untuk menjadi ulama besar. Sebagaimana diceritakan di awal tulisan, sentuhan tangan dinginnya berhasil menghidupkan kembali pesantren Krapyak. Bersama ipar-iparnya, ia meneruskan kepemimpinan Kiai Munawir hingga pesantren Krapyak kembali berkembang pesat dan dikenal luas dengan ciri khasnya, yaitu penghafalan Al Quran dan qiraat tujuh (qiraat sab’ah).

Meski berasal dari keluarga pesantren salaf yang kental dengan tasawuf, dalam mengajar, Kiai Ali mempunyai pandangan yang unik mengenai proses belajar. Ia tidak setuju dengan konsep ilmu laduni yang bisa diperoleh melalui olah jiwa seperti puasa mutih, menghindari nasi, menghindari makanan bernyawa dan sebagainya. Kepada para santri ia menekankan kalau ingin pandai, mereka harus rajin berlajar, cukup makan dan olahraga.

Kiai Ali memang sosok ulama berpikiran maju dan menyukai kemajuan. Sikap keterbukaannya terhadap kemajuan jaman sering dilontarkan lewat forum pengajian, atau secara dialogis secara mendalam dan berlatar belakang kitab-kitab atau pengalaman hidupnya sendiri.

Kehebatannya juga tampak pada ketawadhuannya dalam keseharian di pesantren. Kiai Ali lebih suka disapa santri-santrinya dengan Pak Ali, dari pada Mbah Kiai Ali. Keunikan-keunikan itulah yang kemudian mengantarkan Kiai Ali menjadi ulama yang disegani dan dihormati umat.

Sebagai ulama, pemikiran kemasyarakatan Kiai juga sangat konstruktif. Misalnya ketika mengomentari posisi umat Islam Indonesia yang mayoritas, Kiai Ali mengatakan, seharusnya umat Islam yang mayoritas di Indonesia ini juga bermental mayoritas, yakni lebih banyak memberi daripada meminta.

Bulan September 1981, setelah dikenal luas sebagai ulama besar, Kiai Ali Ma’shum terpilih menjadi Rais Am PBNU, jabatan tertinggi dalam organisasinya para kiai tersebut. Ia dipilih dalam Muktamar NU di Kaliurang, Yogyakarta, setelah wafatnya Rais Am K.H.M. Bisri Syansuri pada 25 April 1981.

Kelompok Cipete
Terpilihnya Kiai Ali Ma’shum mengakhiri polemik antar kelompok yang ingin kembali NU kembali ke khittah 1926, sebagai ormas keagamaan murni, dan kelompok politik yang ingin agar NU tetap di dalam PPP (Partai Persatuan Pembangunan) sebagai satu-satunya partai Islam kala itu. NU kembali ke khittah jam’iyyah. Dan hal itu direalisir pada muktamar ke-27, 1984 di Situbondo.

Dalam masa 1981 sampai 1984 itu, ternyata merupakan babak yang sangat menarik bagi NU. Setelah terpilih sebagai Rais Am, tahun berikutnya berlangsung pemilihan umum 1982. Saat itu beberapa tokoh NU disingkirkan dari PPP sehingga di kalangan NU timbul keinginan untuk meninggalkan PPP.

Kiai Ali termasuk orang yang tidak setuju dengan langkah mundur itu. Bersama dengan Kiai As’ad Syamsul Arifin, Kiai Mahrus Ali, dan Kiai Masykur ia minta agar ketua PBNU, K.H. Idham Chalid mundur dari jabatan. Meski pada awalnya Idham Chalid setuju mundur tapi hanya beberapa hari kemudian ia mencabut pernyataan pengunduran dirinya.

Nahdlatul Ulama pecah menjadi dua kelompok: kelompok Idham Chalid atau sayap politik yang berbasis di Cipete, Jakarta Selatan, dan kelompok Kiai As’ad atau sayap khiththah yang disebut kelompok Situbondo. Setelah upaya ishlah mentok, Kiai Ali menganggap kelompok Cipete tidak ada, hingga jabatan ketua umum atau ketua tanfidziyah dirangkap jabat oleh Rais Am.

Pada 1983, sayap khiththah mengadakan Musyawarah Nasional Alim Ulama di Situbondo dan menghasilkan konsep kembali ke khittah 1926. Tahun berikutnya pada Muktamar ke-27 ditetapkanlah konsepsi tersebut serta penerimaan azas tunggal Pancasila. Dengan keputusan itu, NU menyatakan independen, tidak ada hubungan dengan partai politik tertentu. Jabatan ketua Tanfidziyyah diserahkan kepada K.H Abdurrahman Wahid dan jabatan Rais Am diserahkan kepada KH Achmad Siddiq. Kiai Ali sendiri duduk dalam dewan penasihat atau mustasyar.

Sudah barang tentu, perubahan yang dialami NU ini merupakan prestasi Kiai Ali sebagai Rais Am. Ia selalu berpesan kepada jamaah, “Yang kita lakukan ini adalah tindak lanjut dari pemikiran dan perjuangan para pendahulu.”

Kiai Ali memang pejuang NU sejati. Seluruh hidupnya diabdikan untuk NU. Tak heran jika Kiai Ali merasa sedih saat muktamar NU ke-28 digelar di pesantrennya pada November 1989. Karena sang kiai hanya bisa mengikuti dari pembaringan.

Di penghujung tahun itu pula , Kamis 7 Desember 1989, tepat usai azan Maghrib Kiai Ali Ma’shum berpulang dalam usia 74 tahun. Keesokan harinya, ribuan umat Islam memberikan penghormatan terakhir, mengantarkan Sang Kiai Reformis itu ke peristirahatan terakhirnya di pekuburan Dongkelan, Bantul, Yogyakarta.

Oleh: Bill

Similar Posts

One Comment

  1. Finally, an issue that I am passionate about. I have looked for information of this caliber for the last several hours. Your site is greatly appreciated.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *