Banyumas Pesantren-Tafsir Ibnu Abbas: Kitab Tafsir Sang Pelopor Ilmu Tafsir
Meski usianya muda ia sangat dihormati oleh senior-seniornya. Penafsirannya menjadi rujukan ulama hingga akhir zaman. Meski kitab kumpulan tafsirnya dianggap kontroversial
Berikut ini akan kami ulas berbagai kitab tafsir Al-Quran yang populer, sebagai apresiasi atas kekayaan khazanah keilmuan Islam. Sebagaimana telah dibahas dalam edisi sebelumnya, penafsiran terhadap Al-Quran telah dimulai sejak masa Rasulullah SAW masih hidup. Ketika itu beliaulah satu-satunya juru tafsir Al-Quran yang menjadi rujukan umat Islam. Itulah Tafsir Ibnu Abbas.
Kitab Tafsir Sang Pelopor Ilmu Tafsir
Meski usianya muda ia sangat dihormati oleh senior-seniornya. Penafsirannya menjadi rujukan ulama hingga akhir zaman. Meski kitab kumpulan tafsirnya dianggap kontroversial
Mulai edisi ini alKisah akan mengulas berbagai kitab tafsir Al-Quran yang populer, sebagai apresiasi atas kekayaan khazanah keilmuan Islam. Sebagaimana telah dibahas dalam dua edisi sebelumnya, penafsiran terhadap Al-Quran telah dimulai sejak masa Rasulullah SAW masih hidup. Ketika itu beliaulah satu-satunya juru tafsir Al-Quran yang menjadi rujukan umat Islam.
Sepeninggal Rasulullah sebagian besar sahabat memilih hanya meneruskan penafsiran-penafsiran Nabi Muhammad Saw saja. Tak banyak yang berani menafsirkan ayat-ayat Al-Quran. Di antara yang tak banyak tersebut, yang paling termasyhur adalah Abullah bin Abbas alias Ibnu Abbas.
Berbagai penafsirannya tentang ayat-ayat Al-Quran tersebar dalam berbagai kitab hadits yang mu’tabar, seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud dan sebagainya. Karena diriwayatkan oleh seorang sahabat, banyak ulama ahli tafsir yang menggolongkan penafsiran Ibnu Abbas dalam kelompok Tafsir bil Ma’tsur.
Tafsir ini juga termasuk yang mu’tamad (dapat dijadikan pegangan) dan dapat diterima, karena sahabat adalah orang-orang yang pernah berkumpul/bertemu dengan Nabi SAW dan mereka mengambil dari sumbernya yang asli, mereka menyaksikan turunnya wahyu Al-Qur’an, asbabun nuzul (penyebab turunnya ayat)-nya, serta mempunyai jiwa yang tulus dan lurus.
Al-Hakim berkata, “Bahwa tafsir shahabat yang menyaksikan wahyu dan turunnya Al-Qur’an, kedudukan hukumnya adalah marfu’. Pengertiannya bahwa tafsir tersebut mempunyai kedudukan sebagaimana kedudukan hadits Nabi yang silsilahnya sampai kepada Nabi. Karena itu maka tafsir Shahaby adalah termasuk ma’tsur.
Meskip dianggap sebagai pelopor mufassir Al-Quran, Ibnu Abbas tidak sempat menulis sendiri kitab tafsirnya. Tetapi terdapat banyak tafsir yang diriwayatkan darinya. Baru belakangan tafsir-tafsir Ibnu Abbas dikumpulkan dalam satu kitab. Kitab kumpulan tafsir Ibnu Abbas yang paling terkanal ialah Tanwir al-Miqbas min Tafsir Ibn ‘Abbas, yang ditulis oleh Abi Tahir Muhammad bin Ya’qub asy-Syairazy asy-Syafi’i (wafat 817H).
Meski sangat populer, kitab kumpulan tafsir Tanwirul Miqbas tersebut cukup kontroversial. Banyak mufassir generasi belakangan yang menganggap kitab tersebut tidak mu’tamad karena banyak hadits-hadits yang meragukan sumber periwayatannya.
Tidak Diakui
Para ahli hadits mengatakan, penafsiran yang berasal dari Ibnu Abbas sangatlah sedikit jumlahnya, dan bahkan tidak lebih dari seratus hadits, sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Syafii’i. Ini bertolak belakang dengan isi kitab Tanwirul Miqbas yang memuat tafsir seluruh ayat Al-Qur’an. Kitab tafsir Tanwir Al-Miqbas juga dianggap para penentanga sangat dekat dengan pola penafsiran isyari (sufistik) yang tidak diakui oleh segolongan mufassir yang bersikukuh dengan tafsir bil ma’tsur.
Faktor lain yang melemahkan kitab tersebut adalah periwayatan penafsiran Ibnu Abbas melalui Abu Sa’id. Imam Ahmad bin Hanbal banyak menyinggung tokoh yang nama aslinya Al-Kalbi tersebut dan mengatakan bahwa ia adalah orang yang lemah haditsnya.Demikian juga Ats-Tsauri dan Hasyim yang juga melemahkan haditsnya.
Ibnu Hibban berkata, “Athiyah pernah mendengar dari Abu Said Al-Khudri beberapa hadist, tatkala Abu Said Al-Khudri meninggal, maka dia belajar kepada Al-Kalbi. Ketika Al-Kalbi dipanggil dengan nama kehormatan Abu Said mengatakan, begini… begini…. dia menghafal dan meriwayatkan darinya. Ketika ditanyakankepada Athiyah, “Siapa yang mengatakan hadits ini kepadamu?“
Ia mengatakan,“Abu Said telah mengatakan hadits ini kepadaku”.
Orang-orang mengira bahwa Abu Said yang dimaksud adalah Abu Said Al-Khudri yang sangat terkenal itu, padahal yang dia maksud adalah Al-Kalbi.
Menurut Manna al-Qattan (penulis buku Mabahis fi ‘Ulum Al-Quran, Pembahasan dalam ilmu-ilmu Al-Quran), jalur terbaik yang meriwayatkan penafsiran-penafsiran Ibnu Abbas adalah yang melalui periwayatan Ali bin Abi Talhah al-Hasyimi, Qays bin Muslim al-Kufi dan Atha bin Sa’ib.
Meski kitabnya kontroversial, secara umum seluruh ulama mengakui kemufassiran dan keilmuan Ibnu Abbas. Imam Jalaluddin As-Suyuthi, misalnya, mengutip pendapat Ibnu Taimiyah, berkata, “Orang yang paling pandai tentang tafsir adalah orang-orang Makkah, karena mereka sahabat Abdullah bin Abbas.”
Sebagian besar tabi’in Makkah memang mempelajari ilmu pengetahuan dari Ibnu Abbas. Yang paling terkenal adalah murid-murid Ibnu Abbas yang menukil tafsir dan ilmunya, yaitu Sa’id Ibnu Jubair, Mujahid ibnu Jabar Al-Khazramy, Thawus ibnu Kysan Al-Yamany, Ikrimah Maula (hamba) yang dimerdekakan oleh Ibnu Abbas, dan Atha’ ibnu Abi Rabbah.
Di luar disiplin ilmu tafsir, Ibnu Abbas juga dikenal sebagai perawi hadits. Tak kurang dari 1.660 hadits ia riwayatkan, sehingga ia menampati peringkat keempat setelah Abu Hurairah (5.374 Hadis), Abdullah bin Umar bin Khaththab (2.630 Hadis), serta Anas bin Malik (2.266 Hadis).
Karena kedalaman dan keluasan ilmuanya itu pula Ibnu Abbas beroleh beberapa julukan seperti al-Bahr (samudera) karena keluasan ilmunya, dan Tarjuman Al-Quran (juru bicara Al-Quran) karena ia sangat menguasai ilmu Al-Quran. Pengakuan akan kapasitasnya dikemukakan oleh beberapa sahabat Nabi yang jauh lebih senior darinya. Ibnu Mas’ud, misalnya, dalam sebuah kesempatan pernah berkata, “Penterjemah Al-Qur’an yang paling baik adalah Abdullah bin Abbas.”
Sahabat Nabi SAW yang juga terkenal sangat demawan itu lahir di Makkah tiga tahun sebelum hijrah Nabi. Ayanya adalah Abbas bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdul Manaf Al-Quraisy, paman nabi dari garis ayah. Sementara ibunya adalah Ummu Fadil Lubabah Al-Kubra binti Haris Al-Hilaliyah, adalah saudara kandung Maimunah, salah seorang istri Nabi SAW.
Ketika Rasulullah SAW wafat, usia Ibnu Abbas baru 13 tahun. Karena itu ia digolongkan dalam katagori sahabat muda atau sahabat kecil. Ia merupakan salah seorang dari empat ‘Ibadillah (yang bernama Abdullah) dari kalangan sahabat terkemuka bersama Abdullah bin Umar bin Khaththab, Abdullah bin Amr bin Ash dan Abdullah bin Zubair bin Al-Awwam.
Didoakan Nabi
Kedekatan Ibnu Abbas dengan baginda Nabi SAW telah terlihat sejak sahabat yang wajahnya rupawan itu baru lahir. Bahkan, seperti ditulis Dr Abdur Rahman Ra’fat Basya dalam bukunya Shuwar min Hayaatis Shahabah, sebelum Ibnu Abbas ini disusu ibunya untuk pertama kalinya, Rasulullah terlebih dulu membisikkan dan mendoakan Ibnu Abbas di telinganya. Para ulama meyakini hal tersebut adalah isyarat bahwa kelak sahabat Rasul tersebut akan menjadi tokoh besar, ulama dan teladan masyarakat.
Tak hanya itu, ia juga merupakan salah satu sahabat yang kelak memiliki banyak keistimewaan dan di antara Muslim yang paling dekat dengan Rasulullah. Sedari kecil, potensi kecerdasan Ibnu Abbas telah diketahui oleh Rasulullah, sebagaimana beliau mengetahui potensi Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Haritsah dan sahabat-sahabat junior lainnya. Ia juga pernah secara dido’akan oleh baginda Nabi SAW dengan kata-kata, “Ya Allah berilah pemahaman tentang urusan agama dan berilah ilmu kepadanya tentang ta’wil.”
Hubungannya dengan Rasulullah memang sangat dekat. Seringkali Rasulullah SAW terlihat berdua bersama si kecil Abdullah bin Abbas. Dalam kesempatan-kesempatan emas seperti itulah nasehat dan ilmu dari sang nabi junjungan alam itu mengalir ke hati Ibnu Abbas yang mesih jernih. Tak heran bocah itu tumbuh menjadi seorang muslim cemerlang, haus ilmu, dan taat beribadah.
Banyaknya kesempatan bersama Rasul juga membuat Ibnu Abbas termasuk salah seorang yang tahu persis tata cara ibadah nabi. Dikisahkan, suatu ketika, Ibnu Abbas ingin tahu langsung bagaimana cara Rasulullah shalat. Untuk itu, ia sengaja menginap di rumah bibinya Maimunah binti al-Harist, ummul mukminin, istri baginda nabi.
Ketika melihat Rasulullah bangun tengah malam dan pergi berwudhu, dengan sigap Ibnu Abbas membawakan air untuk berwudhu. Lalu dengan seksama ia melihat sendiri bagaimana Rasulullah berwudhu. Setelah selesai, dengan belai lembutnya, Nabi SAW mengelus kepala Ibnu Abbas, seraya mendo’akan, “Ya Allah, faqih-kanlah ia dalam perkara agama-Mu, dan ajarilah ia tafsir Kitab-Mu.”
Kemudian Rasulullah berdiri untuk shalat malam, dengan makmum istri beliau, Maimunah. Tak mua ketinggalan, Ibnu Abbas pun segera berdiri di belakang beliau. Tetapi, Rasulullah kemudian menariknya agar ia berdiri sedikit berjajar dengannya. Ibnu Abbas berdiri sejajar dengan Rasulullah, namun kemudian ia mundur lagi ke shaf belakang.
Seusai shalat, Rasulullah menanyakan sikap Ibnu Abbas itu. Abbas menjawab, ia merasa tak pantas berdiri sejajar dengan seorang utusan Allah. Mendengar hal itu Rasulullah ternyata tidak marah, bahkan beliau mengulangi do’anya ketika berwudhu tadi.
Karena itu betapa sedihnya Ibnu Abbas ketika Rasulullah wafat. Ia tidak hanya merasa kehilangan seorang pimpinan dan saudara, tetapi juga seorang pendidik agung yang mencerahkan jiwanya.
Namun kesedihan itu tak berlangsung lama. Ia segera mengajak teman-teman sebayanya untuk belajar kepada para sahabat Nabi yang lebih senior. Logikanya mengajarkan, mumpung para sahabat masih berada di Madinah, inilah kesempatan terbaik baginya untuk menimba ilmu dan informasi dari mereka. Karena sepeninggal Nabi, bisa jadi mereka akan berpencar ke kota-kota lain atau wafat.
Dengan sabar, Abbas menunggu para sahabat pulang aktivitas pekerjaannya atau dakwahnya. Bahkan, bila sahabat tadi tengah beristirahat sekalipun, ia tetap menanti di depan pintu rumahnya, hingga tertidur, tergolek beralaskan pakaiannya. Kesabaran dan keluasan ilmunya inilah yang membuat Abbas menjadi rujukan banyak kalangan berkait masalah agama.
Dihormati Umar
Diantara Guru-guru besar yang mengajar ilmu kepada Ibnu Abbas selain Rasulullah SAW, yang mempunyai pengaruh yang menonjol terhadap daya pikiran dan kebudayaannya, antara lain Umar Ibnu Khattab, Ubay ibnu Ka’ab, Ali Ibnu Abi Thalib, dan Zaid Ibnu Tsabit. Kelima orang tersebut adalah guru-gurunya yang tetap. Dari merekalah hampir semua ilmu dan budayanya didapat. Mereka sangat berpengaruh dalam mengarahkan Ibnu Abbas kepada masalah ilmu pengetahuan yang sangat mendalam.
Pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan, Ibnu Abbas bergabung dengan pasukan muslimin yang berekspedisi ke Afrika Utara (Mesir) tahun 18-21H, Afrika Utara tahun 27H, serta Jurjan dan Tabaristan (kini Iran utara) tahun 30H. Ia juga pernah ikut dalam ekspedisi militer ke Constantinopel bersama Yazid bin Mu’awiyah dan Abdullah bin Umar pada masa pemerintahan Umar bin Khaththab.
Sedangkan di masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas mengajukan permohonan untuk menemui dan berdakwah kepada kaum Khawarij. Melalui dialog dan diskusinya yang intens, sekitar 12.000 dari 16.000 orang Khawarij bertaubat.
Ketika pecah Perang Jamal antara Sayyidah Aisyah, Talhar, dan Zubair di satu pihak dengan Sayyidina Ali bin Abi Talib di pihak lain, Ibnu Abbas adalah salah seorang komandan tentara Ali. Ia juga pernah menjadi gubernur Basra pada masa Khalifah Ali dan ikut menandatangani Perjanjian Siffin.
Pada masa pemerintahan Mu’awiyah (661-680), Ibnu Abbas tinggal di Hijaz. Ketika Abdullah bin Zubair meminta dukungan Ahlul Bait untuk merebut jabatan khalifah, Ibnu Abbas dan Ali al-Hanafiyah bin Ali bin Abi Thalib menolak sehingga ia diusir oleh Abdullah bin Zubair dari Hijaz. Ketika gerakan Abdullah bin Zubair dapat dipatahkan oleh tentara Umayyah, Ibnu Abbas kembali ke Hijaz dan tinggal di Tha’if sampai akhir hayatnya.
Ibnu Abbas adalah sahabat yang paling pandai dalam tafsir Al-Qur’an. Pada waktu beliau masih berusia muda, para pemuka sahabat mereka telah menyaksikan kebolehannya bahkan ia dapat menandingi mereka pula dapat menggugah keajaiban mereka dengan usianya yang sangal muda.
Umar bin Khaththab, misalnya, pernah mengikutsertakan Abdullah dalam Majelis Permusyawaratan bersama-sama dengan tokoh-tokoh sahabat. Tak ayal, kebijakan Umar yang menampilkan Ibnu Abbas yang masih sangat belia sedikit mengundang perdebatan dikalangan sahabat.
Sebagaimana dikisahkan sendiri oleh Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, dari Sa’id ibnu Jabir, Ibnu Abbas berkata, “Umar mengikutkanku bersama tokoh-tokoh perang Badar. Dikalangan mereka ada yang bertanya dalam dirinya, lalu mengemukakan pendapat, ‘Kenapa anak ini diikutsertakan bersama kami padahal kami sungguh mempunyai anak yang seusia dengannya?’
Umar menjawab, ‘Dia adalah seorang yang sudah kalian ketahui dan terkenal kecerdasan dan pengetahuannya.
Umar lalu bertanya kepada mereka, ‘Apa pendapat kalian tentang firman Allah: Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan (QS. An-Nashr: 1).
Sebagian mereka ada yang berpendapat, ‘Kami diperintah menuju Allah dan meminta ampun pada-Nya, tatkala kami dibantu oleh-Nya dan diberi kemenangan.’
Sebagian mereka yang lain bungkam seribu bahasa. Lalu Umar bertanya kepadaku, ‘Bagaimana dengan pendapatmu?’
Aku menjawab, ‘Tidak benar!’
‘Lalu bagaimana menurutmu?’
‘Melalui ayat tersebut Allah memberitahukan tentang ajal Rasulullah SAW: Penaklukan Makkah adalah suatu tanda tentang ajalmu (hai Muhammad) karena itu bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan istighfarlah (mohon ampun) kepada-Nya. Sungguh ia adalah Penerima Taubat.’
Umar pun berkata dengan penuh kekaguman, ‘Demi Allah, saya tidak mengetahui kandungannya sebelum engkau jelaskan.’
Kisah tersebut menujukkan kedalaman ilmu dan kedudukan sahabat junior tersebut di antara sahabat seniort lainnya. Akhirnya, pada tahun 68 H, Abdullah bin Abbas, sahabat genius yang banyak berjasa bagi umat Islam itu wafat dalam usia 71 tahun. Sahabat Abu Hurairah berkata, “Hari ini telah wafat Ulama Ummat. Semoga Allah SWT berkenan memberikan pengganti Abdullah bin Abbas.”
Semoga !
Ahmad Iftah Sidik, Santri Asal Tangerang