Banyumas Pesantren–Akses PTN untuk Alumni Pesantren Salaf, Mengapa Tidak?
Beberapa tahun belakangan, setiap memasuki bulan Maret hingga April, ribuan santri di beberapa daerah mulai sibuk mempersiapkan diri mengikuti tes akademik untuk mendapatkan beasiswa masuk ke Perguruan Tinggi Negeri. Adalah Departemen Agama yang bekerja sama dengan Depdiknas dan beberapa kampus negeri bergengsi yang menggelar acara tersebut.
Departemen Agama Jawa Timur, misalnya, tahun 2009 ini menyelenggarakan seleksi beasiswanya pada tanggal 9 Maret di Asrama Haji Sukolilo Surabaya. Acara yang diikuti dua ribuan santri itu akan memilih empat ratus calon penerima beasiswa di berbagai perguruan tinggi negeri ternama seperti IAIN Walisongo Semarang, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, ITS, Unair Surabaya, IPB, UIN Sunan Kalijogo Yogyakarta, ITB, serta UGM Yogyakarta.
Meski berita yang dimuat beberapa media lokal Jawa Timur itu sepintas terasa menggembirakan kalangan pesantren, namun sebenarnya ribuan peserta seleksi itu baru sebagian kecil saja dari seluruh komunitas santri di negeri ini. Di luar lingkaran kecil itu masih terdapat jutaan santri, terutama alumni pesantren salaf dan madrasah diniyyah salafiyyah, yang nyaris tidak mempunyai akses untuk mencecap nikmatnya bangku kuliah terutama di perguruan tinggi agama Islam, walaupun kapasitas keilmuan agama sebagian besar dari mereka bisa dibilang lebih dari cukup.
Fakta ini berbanding terbalik dengan luasnya akses menempuh pendidikan keislaman lanjutan yang bisa dinikmati oleh alumni madrasah formal meski kebanyakan hanya berbekal pengetahuan agama yang pas-pasan. Sungguh paradoks yang cukup ironis.
Secara mudah, pesantren, berdasarkan sistem dan materi pembelajaran yang diterapkannya, memang dibagi menjadi dua macam : pesantren modern, dan pesantren salaf. Pesantren modern adalah pesantren yang mengadopsi sistem pembelajaran dan kurikulum formal yang ditetapkan oleh pemerintah, dalam hal ini Depertemen Agama dan Departemen Pendidikan Nasional.
Kurikulum agama khas pesantren dialokasikan sebagai muatan lokal atau diterapkan melalui kebijaksanaan sendiri. Pembagian waktu belajarnya rata-rata seragam, yakni belajar keilmuan formal pada jam-jam sekolah atau kuliah, dan mengisi waktu selebihnya dengan mengkaji ilmu-ilmu keislaman khas pesantren (kitab klasik).
Sedangkan pesantren salaf terkenal dengan sistem pembelajaran dan kurikulum yang cenderung berkiblat ke model pendidikan ribath di Hadramaut, yang penekanannya pada kitab-kitab klasik yang meliputi: Tauhid, Tafsir, Hadits, Fiqh, Ushul Fiqh, Tasawwuf, Bahasa Arab (Nahwu, Sharaf, Balaghah dan Tajwid), Mantiq dan Akhlak. Pelaksanaan kurikulum pendidikan pesantren ini kemudian dijenjangkan berdasarkan kemudahan dan kompleksitas ilmu atau masalah yang dibahas dalam kitab. Maka lahirlah tingkat awal (ula, ibtida’), menengah (wustho atau tsanawi) dan tingkat lanjutan (ulya atau aliyah).
Pembagian ini sebenarnya juga tidak sepenuhnya bulat. Sebab, pada era 1970an hingga 1990an masihh ada pesantren yang mengklaim dirinya modern dengan kurikulumnya yang berbeda dengan pesantren salaf, yaitu penekanan pada bahasa Arab/Inggris dan tidak terlalumendalami fiqih, tetapi tidak mau memasukkan pendidikan formal (sekolah yang berafiliasi Departemen Pendidikan Nasional/Departemen Agama). Sementara, di sisi lain juga ada pesantren yang masih mengaku beraliran salafiyah, tapi justru sudah mendahului mengadopsi sekolah formal mulai tingkat dasar sampai perguruan tinggi, baik yang berafiliasi ke Depdiknas maupun Depag.
Penguasaan Atas Teks
Yang kemudian menjadi persoalan kemudian adalah pesantren salaf, yang tidak menggunakan standar kompetensi pendidikan pemerintah, kemudian dianggap sebagai lembaga pendidikan non formal. Alumninya dianggap kurang memenuhi syarat untuk melanjutkan pendidikannya ke lembaga pendidikan formal, termasuk perguruan tinggi agama Islam.
Padahal kalau mau jujur, kapasitas pengetahuan agama –dengan standar minimal penguasaan atas teks-teks klasik– alumni pesantren salaf yang memiliki sistem pembelajaran yang sistematis dan terstruktur semacam Lirboyo, Ploso, Sarang dan Langitan sebenarnya jauh lebih mumpuni dari pada rata-rata alumni dengan jenjang setingkat dari pesantren formal apalagi madrasah non pesantren. Coba saja bandingkan kapasitas keilmuan agama alumni pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, tingkat ulya atau aliyah, dengan lulusan Madrasah Aliyah Negeri (MAN) atau madrasah aliyah swasta yang ada di lingkungan pesantren.
Dari segi penguasaan ilmu alat, misalnya, seorang alumnus tingkat aliyah atau ulya dari pesantren salaf bisa dipastikan telah mengantungi penguasaan atas kitab Alfiyah ibnu Malik (dengan beberapa varian syarahnya) di bidang ilmu nahwu, Haqq al maqal/syarah Qawaid Al-Maqshud atau Kaylani di bidang ilmu sharaf, dan Uqudul Juman karya As-Suyuthi di bidang ilmu balaghah. Belum lagi di ranah fiqih yang jauh lebih kompleks.
Alumni pesantren salaf baru dianggap lulus tingkat aliyah atau ulya atau syawir, jika telah menguasai pemahaman –bukan sekedar cara membaca– dan penetapan hukum masalah-masalah kontemporer berdasarkan rujukan (marja’) kitab-kitab fiqih klasik tingkat menengah semacam Iqna’, Fath al-Wahhab, I’anatuh Ath-Thalibin atau Nihayah al-Zein. Bandingkan dengan alumni Madrasah Aliyah Negeri atau madrasah aliyah swasta di lingkungan pesantren yang terkadang bahkan belum selesai membangun kompetensinya dalam membaca kitab klasik.
Beberapa pesantren salaf memang membuat lompatan dengan mengikutkan santri-santri tingkat terakhirnya di program ujian persamaan. Beberapa yang lain –belakangan ditiru oleh pesantren modern dan madrasah aliyah non pesantren— ada juga yang melakukan lompatan dengan mengajukan mu’adalah, akreditasi penyetaraan, ke perguruan-perguran tinggi keislaman di Timur Tengah, seperti Universitas Al-Azhar di Kairo, Universitas Islam Sudan di Khartoum, dan beberapa perguruan tinggi bergengsi lain, termasuk yang paling belakangan dengan Universitas Al-Ahqaf, Yaman.
Meski merupakan terobosan yang luar biasa, tetap saja upaya-upaya tersebut belum menyelesaikan persoalan teknis yang mengganjal akses pendidikan lanjutan bagi alumni pesantren salaf di negerinya sendiri. Hampir seluruh perguruan tinggi agama Islam –baik negeri maupun swasta—belum banyak memberi ruang bagi alumni pesantren salaf.
Terobosan yang maju, sebenar bukaan sama sekali tidak pernah dilakukan. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Surakarta, misalnya, pernah membuat program pendidikan lanjutan (setingkat S1) bagi alumni pesantren salaf setingkat aliyah atau ulya. Tetapi perguruan tinggi lain, hingga saat ini lebih banyak yang belum tergerak untuk membantu mempermudah akses bagi alumni pesantren salaf.
Standarisasi Kompetensi Pesantren
Masih banyak hal, sebenarnya, yang bisa dilakukan untuk memberikan hak yang sama dalam mengakses pendidikan (khususnya formal) bagi seluruh anak bangsa, termasuk alumni pesantren salaf. Di antaranya pembuatan regulasi yang mengatur ulang sistem pendidikan dan pemerataan aksesnya bagi semua kalangan, tentu dengan mempermudah dan mengeliminir hambatan-hambatan tekhnis dan prosedural yang selama ini seringkali mengganjal.
Di sisi lain, harus ada upaya memfasilitasi standarisasi strata kurikulum dan kompetensi keilmuan pesantren –mengingat masih ada juga pesantren salaf yang menerapkan kurikulum semau pengasuhny– agar ketika suatu saat nanti pemerintah atau perguruan tinggi agama islam membuka kran akses pendidikannya, pesantren sudah siap menyambut.
Langkah taktis dan mendesak yang barangkali bisa segera diterpakan sambil menunggu proses standarisasi strata dan kompetensi keilmuan terlaksana, adalah memfasilitasi pembentukan kelas khusus alumni pesantren salaf di IAIN atau UIN dengan penambahan materi pengetahuan umum dasar dan menengah yang merupakan pra syarat kompetensi sekolah menengah umum.
Beberapa instansi dan lembaga seperti Departemen Agama melalui Direkotrat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren-nya, ormas keagamaan seperti NU dengan beberapa sayap organisasinya yang bergerak di ranah pendidikan dan pesantren seperti RMI dan LP Ma’arif diharapkan bisa menjembatani dan memfasilitasi pembangunan akses yang lebih mudah untuk alumni pesantren salaf yang ingin melanjutkan pendidikannya.
Biar bagaimana pun alumni Pesantren salaf adalah aset bangsa yang sangat potensial yang sayangnya hingga saat ini belum banyak dikelola dan diberdayakan. Sudah saatnya mereka mendapatkan hak yang sama untuk mengakses pendidikan formal lanjutan, tanpa terkendala hambatan tekhnis yang sebenarnya justru menjadi keunikan dan kekhasan mereka.
Akses PTN bebas hambatan untuk alumni pesantren salaf, mengapa tidak?