Banyumas Pesantren-Sunan Ibnu Majah: Kitab Induk Hadits Yang Diperdebatkan
Meski disusun oleh ulama besar yang sangat alim di berbagai bidang, kitab kumpulan hadits ini menjadi bahan perdebatan panjang dulu sebelum dijadikan buku induk hadits.
Tak seperti lima kitab sebelumnya yang dimufakati ulama perihal kelayakannya menjadi anggota kutubus sittah, kitab Sunan Ibnu Majah yang berada di urutan keenam harus melewati banyak perdebatan para ahli hadits sebelum dianggap layak menjadi bagian dari enam kitab induk hadits tersebut.
Ulama yang tidak memasukkan kitab tersebut ke dalam kutubus sittah beralasan derajat Sunan Ibnu Majah lebih rendah dari kitab-kitab hadits yang lima, karena memuat juga hadits yang munkar dan maudhu’ (palsu) meski hanya sedikit. Sebagai gantinya mereka memasukkan kitab hadits Al-Muwaththa karya Imam Malik, yang dianggap lebih shahih, di urutan keenam.
Ulama pertama yang berpendapat demikian adalah Abul Hasan Ahmad bin Razin Al-Abdari As-Sarqisti (wafat tahun 535 H) dalam kitabnya At-Tajrid fil Jam’i Bainas-Shihah. Pendapat ini didukung oleh Abus Sa’adat Majduddin Ibnul Asir Al-Jazairi Asy-Syafi’i (wafat 606 H) dan Imam Az-Zabidi Asy-Syafi’i (wafat 944 H) dalam kitabnya Taysirul Wushul.
Sementara yang menganggap Sunan Ibnu Majah cukup layak menjadi bagian dari kutubus sittah berargumen, kitab tersebut memberikan banyak zawaid (tambahan) hadits yang memperkaya kelima kitab sebelumnya (kutubul khamsah). Sedangkan kitab Al-Muwaththa’, hampir seluruh haditsny telah termuat dalam kutubul khamsah.
Ulama pertama yang berpendapat demikian adalah Al-Hafizh Abul-Fardh Muhammad bin Tahir al-Maqdisi (wafat 507 H) dalam kitabnya Athraful Kutubis Sittah dan dalam risalahnya Syurutul Aimmatis Sittah. Pendapat itu belakangan diikuti oleh Al-Hafizh ‘Abdul Ghani bin al-Wahid al-Maqdisi (wafat 600 H) dalam kitabnya Al-Ikmal fi Asma’ ar-Rijal dan mayoritas ulama hadits periode sesudahnya.
Meski termasuk kutubus sittah, pada dasarnya seluruh ulama muhadditsin sepakat, martabat Sunan Ibnu Majah ini berada di bawah martabat kutubul khamsah, karena paling banyak memuat hadits-hadits dha’if. Karena itu hadits-hadits dari kitab sunan ini sebaiknya digunakan sebagai hujjah untuk persoalan aqidah atau fiqih kecuali setelah melalui penelitian yang seksama terlebih dahulu.
Jika kedudukannya shahih atau hasan, hadits tersebut boleh dijadikan pegangan. Namun bila tidak, lebih baik mencari dalil-dalil dari kitab lain yang lebih kuat. Lain halnya bila hanya untuk persoalan fadhailul a’mal, keutamaan ibadah, yang mana hadits berderajat dhaif pun masih bisa ditolerir oleh mayoritas ulama kita.
Hal lain yang memberikan nilai lebih kepada kitab Sunan Ibnu Majah adalah beberapa hadits tsulatsiyyat yang diriwayatkan sang Imam dalam kita tersebut. Hadits tsulatsiyyat adalah hadits yang sanadnya tinggi, sehingga dari Nabi Muhammad SAW sampai ke Ibnu Majah melalui tiga perawi. Hadits-hadits tsulatsiyyat jumlahnya tidak banyak dan menjadi kebanggaan tersendiri bagi ahli hadits jika berhasil mendapatkannya.
Tafsir Murni
Ibnu Majah adalah nama populer Syaikh Abu Abdullah Muhammad bin Yazid bin Majah Ar-Rabi’i Al-Qazwini, ulama besar kelahiran kota Qazwain atau Qazvin, Persia, pada tahun 209 H. Sejarawan berbeda pendapat mengenai kata Majah dalam silsilahnya. Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wan-Nihayah berpendapat, Majah adalah gelar ayah Muhammad, bukan nama kakeknya.
Setelah melewati pendidikan dasar di kota kelahirannya, Ibnu Majah kemudian melakukan perjalanan ke berbagai negeri Islam, seperti Hijaz, Irak dan Syam, untuk menuntut ilmu hadits dari para ahli hadits terkemuka. Di antara guru utama tokoh yang berjuluk Al-Hafizh Al-Kabir (penghafal hadits yang agung) itu adalah Abu Bakar bin Ibn Syaibah, Muhammad bin Abdillah bin Namir, dan Hisyam bin Amr. Ibnu Majah juga belajar kepada murid-murid Malik dan al-Laits, sehingga ia menjadi salah seorang imam hadits terkemuka pada masanya.
Hadits-hadits yang berhasil dikumpulkan Ibnu Majah kemudian disaring dan ditulis dalam kitab berjudul Sunan Ibnu Majah. Kitab yang mengabadikan nama sang imam itu berisi 4000an hadits yang disusun menurut sistematika fiqih dan dikerjakan secara baik dan indah. Kitab Sunan Ibnu Majah dibuka dengan bab mengikuti sunnah Rasulullah SAW, yang menguraikan hadits-hadits yang menunjukkan kekuatan sunnah serta kewajiban mengikuti dan mengamalkannya.
Selain ahli hadits, Ibnu Majah juga dikenal menguasai berbagai ilmu keislaman lainnya. Kedalaman pengetahuan tentang Al-Quran, misalnya, terbukti dengan karya kitab tafsirnya Tafsir Al-Quran Al-Karim yang mendapat pujian dari ahli tafsir sesudahnya, Ibnu Katsir.
Bahkan ahli ilmu Al-Quran modern Syaikh Manna Khalil Qaththan, mencatatnya sebagai orang pertama yang menyusun kitab tafsir Al-Quran murni. Karena tokoh-tokoh sebelumnya selalu menggabungkan tafsir Al-Quran dengan kitab hadits nabi.
Selain itu Ibnu Majah juga menorehkan tinta emasnya dalam bidang sejarah melalui karyanya At-Tarikh. Buku tersebut mengungkapkan sejarah periode sahabat Nabi sampai pertengahan abad ketiga hijriah.
Pada jamannya, Ibn Majah dikenal sebagai ulama yang terpercaya dan disepakati kejujurannya. Dalam berbagai bidang keilmuan dapat dijadikan hujjah oleh para ulema sesudahnya.
Banyak komentar positif tentang Ibnu Majah yag datang dari para ulama besar. Di antaranya dari Abu Ya’la Al-Khalili Al-Qazwini yang mengomentari, “Ibn Majah adalah orang besar yang terpercaya, yang disepakati kejujurannya, dapat dijadikan argumentasi pendapat-pendapatnya. Ia mempunyai pengetahuan luas dan banyak menghafal hadits.”
Sementara Adz-Dzahabi dalam Tazkiratul Huffaz melukiskan Imam Ibnu Majah sebagai ahli hadits dan mufassir besar, pengarang kitab sunan dan tafsir, serta ahli hadits kenamaan negerinya.
Demikian pula Ibnu Katsir, seorang ahli hadits dan kritikus hadits berkata dalam kitab Bidayah-nya, “Muhammad bin Yazid (Ibn Majah) adalah pengarang kitab sunan yang masyur. Kitabnya itu merupakan bukti atas amal dan ilmunya, keluasan pengetahuan dan pandangannya, serta kredibilitas dan loyalitasnya kepada hadits serta masalah-masalah ushuliyyah dan furu’iyyah.”
Hadits-hadits yang berhasil dihimpun Imam Ibnu Majah kemudian dipelajari dan diriwayatkan kembali oleh ratusan ulama besar. Di antara murid-murid terkenalnya adalah Muhammad bin ‘Isa Al-Abhari, Abul Hasan al-Qattan, Sulaiman bin Yazid al-Qazwini, Ibnu Sibawaih dan Ishak bin Muhammad.
Setelah menjalani hidup yang penuh berkah dan ilmu yang bermanfaat, Imam Ibnu Majah wafat pada tanggal 22 Ramadhan 273 H. Jenazahnya dishalatkan kaum muslimin yang diimami saudaranya, Abu Bakar. Sedangkan pemakamannya dilakukan oleh kedua saudaranya, Abu Bakar dan Abdullah serta putranya, Abdullah.
Ketika wafat, Imam Ibnu Majah meninggalkan karya tulis yang cukup banyak. Beberapa yang paling terkenal adalah kitab As-Sunan atau Sunan Ibnu Majah, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, dan At-Tarikh yang berisi sejarah sejak masa sahabat sampai masa Ibn Majah.
Ahmad Iftah Sidik, Santri Asal Tangerang.