Purwokerto Pesantren-Pondok Pesantren Ath Thohiriyyah, Parakan Onje, Kecamatan Kedungbanteng, Banyumas menerapkan sistim ujian baru untuk santri madrasah diniyyah (madin). Yakni sesi pendadaran (munaqasah) khususnya untuk santri kelas akhir.

“Munaqasah lebih identik dengan ujian skripsi di kampus. Kali ini, kita terapkan sistem tersebut untuk peningkatan kualitas santri, karena ujian dilakukan terbuka,” kata Kepala Madrasah, Ustadz Rochmat, Kamis (30/6) malam.

Materi standar yang diujikan yaitu kitab Fathul Qarib Al Mujib. Meliputi pembacaan kitab, pemahaman kitab, penguasaan nahwu, sharaf, qawaid al fiqhiyyah, dan ushul fiqh. Sebanyak delapan santri putra dan satu santri putri menjalani ujian pendadaran pertama di pondok yang diasuh KH M Thoha Alawiy Al Hafidz tersebut.

Peserta munaqasah biasanya sudah mulai dipercaya untuk ikut membantu proses belajar mengajar di madin. Selain harus menguasai materi ujian, mereka juga mendapat tekanan mental karena ditonton santri lain, yang bisa jadi lebih junior.

“Selain menguji kemampuan membaca literatur berupa kitab kuning, pendadaran ini juga menjadi ajang mempersiapkan kader untuk berkiprah di tengah masyarakat nantiya,” tegas Rochmat lagi.

Ustadz Nur Halim M.Pd, salah satu penguji melihat munaqasah memberikan dampak positif bagi santri. Para santri, kata Nur Halim terlihat lebih serius dan menyiapkan materi yang akan diujikan, sehingga tanpa sadar dipaksa belajar.

“Apalagi belum semua pesantren di Banyumas menerapkan sistim munaqasah. Tidak berlebihan, kalau santri madin yang lulus pendadaran sudah seperti sarjana. Tentu dengan catatan, legitimasinya benar-benar terjamin secara kualitas,” imbuh dosen STAIN Purwokerto tersebut.

Sementara Ustadz M Sa’dullah (Gus Sa’dun), mewakili Pengasuh Pesantren, menyebut pendadaran sebagai fase awal ‘ujian’ untuk santri. Selanjutnya, masih ada ujian lain berupa tuntutan mengamalkan ilmu yang telah di pelajari dalam kehidupan sehari-hari. Dia juga berharap, munaqasah ke depan berupa keharusan santri memiliki karya tulis serupa skripsi.

“Memiliki karya ilmiah, seperti sudah dilakukan ulama terdahulu. Selebihnya, mengamalkan ilmu tidak kalah penting, jangan sampai seperti pohon tanpa buah,” pesannya.[]

Similar Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *