Salah satu fenomena yang unik dari datangnya bulan Ramadan adalah munculnya gairah baru di kalangan ummat Islam untuk beribadah. Peningkatan gairah beribadah ditandai dengan perhatian umat islam terhadap waktu-waktu shalat. Untuk memudahkan dalam memberikan informasi kepada umat Islam tentang kapan masuknya waktu-waktu shalat di bulan ramadhan dibuatlah jadwal shalat yang kemudian dikenal dengan istilah jadwal imsakiyah, karena di dalamnya terdapat jadwal waktu imsak.
Kata imsak berasal dari akar kata masaka yang berarti menahan. Waktu imsak adalah waktu dimulainya orang menahan dari segala hal yang membatalkan puasa. Dengan kata lain, waktu imsak merupakan waktu sseorang memulai berpuasa, menahan makan, minum dan hal-hal lain yang diharamkan ketika berpuasa.
Pada zaman Nabi Muhammad, konsep waktu imsak dalam ibadah puasa tidak dikenal. Dalam kaitan dengan batasan memulai dan mengakhiri puasa dijelaskan oleh Alquran surat al-Baqarah ayat 187 yang artinya “Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian, sempurnakan puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam masjid…”.
Dengan mendasarkan ayat di atas, sangat jelas bahwa ibadah puasa di mulai ketika muncul fajar shidik yaitu masuknya waktu subuh dan berakhir pada saat matahari terbenam yaitu masuk waktu maghrib. Dengan kata lain, batas akhir waktu sahur atau batas mulainya seseorang yang menjalankan puasa harus menahan segala hal yang membatalkan adalah sejak terbitnya fajar shadiq atau masuknya waktu Shubuh.
Bagi sebagian ummat Islam, penetapan waktu imsak termasuk tradisi yang tidak berdasar dan masuk dalam kategori bid’ah yang tidak perlu dilaksanakan, karena memang tidak dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Disisi lain, mayoritas ummat islam di Indonesia pada umumnya menggunakan jadwal imsakiyah sebagai pedoman dalam mengatur jadwal ibadah termasuk ibadah puasa. Pada umumnya, ummat Islam memahami sepenuhnya bahwa ibadah puasa dimulai pada saat waktu subuh masuk. Oleh karena itu, fungsi waktu imsak tidak lebih sebagai waktu peringatan dini untuk menahan hal-hal yang membatalkan puasa sebelum benar-benar menahannya yaitu ketika fajar shadiq terbit.
Umat Islam yang menggunakan waktu imsak sebagai pertanda dimulainya waktu menahan dari makan dan minum dan segala hal yang membatalkan puasa mendasarkan pada hadis dari Anas tentang makan sahurnya Zaid bin Tsabit bersama Nabi Saw yang artinya “Dari Zaid bin Tsabit Ra, ia berkata: Kami makan sahur bersama Nabi Saw, kemudian mendirikan Shalat. Kemudian saya (Anas RA) bertanya, “berapakah jarak antara adzan dengan waktu sahur?” Zaid menjawab, “sekira 50 ayat.”
Dalam beberapa literatur kitab hadits dan syarahnya, hadits di atas atau yang semakna, dimasukkan dalam bab tentang waktu jeda atau jarak antara waktu sahur dengan waktu Shubuh.” Dengan mendasarkan pada riwayat hadis ini konsep waktu imsak memperoleh legitimasi yuridisnya.
Para ulma berbeda dalam memberikan tafsir lamanya Rasulullah membaca 50 ayat Alquran ketika dikonversi dalam satuan waktu. Sebagian ulama memperkirakan bacaan Rasulullah 50 ayat diperkirakan sama dengan 8 atau 10 menit. Kemudian waktu 8 atau 10 menit tersebut ditambahkan dengan waktu ihtiyat (hati-hati) sekitar 2 menit sebelum subuh. Oleh karena itu, durasi waktu imsak menjadi 10 atau 12 menit dari waktu subuh. Dengan kata lain, waktu imsak yang merupakan waktu jeda antara waktu sahur dengan waktu salat subuh digunakan untuk memmbaca Alquran.
Konsep waktu imsak berpijak pada prinsip kehati-hatian dalam melaksanakan ibadah puasa untuk lebih menjamin keabsahan dan keutamaan ibadah puasa. Dengan berpedoman pada waktu imsak, seseorang mulai mengakhiri kegiatan makan dan minum sebelum tiba saat yang disediakan yaitu ketika masuk waktu subuh. Secara hukum normative, batas akhir waktu sahur atau batas mulainya seseorang yang menjalankan puasa harus menahan segala hal yang membatalkannya adalah sejak terbitnya fajar shadiq atau masuknya waktu Shubuh.
Dalam perspektif ilmu ushul fiqh, posisi hukum waktu imsak dibuat dengan mendasarkan pada dua argumentasi hukum. Pertama, posisi hukum waktu imsak adalah sebagai instrument (wasilah) yang tujuan pokoknya (ghayah) adalah kesempurnaan ibadah puasa. Apabila kesempurnaan imsak puasa tidak akan bisa tercapai kecuali dengan adanya jadwal imsakiyah, maka jadwal waktu imsakiyah juga akan menjadi wajib. Kedua, meskipun waktu imsakiyah tidak dikenal pada zaman Nabi, maka bukan berarti bahwa setiap tidak dilakukan oleh Nabi berarti tidak boleh dikerjakan. Jika dikatakan bahwa waktu imsakiyah tidak diperintahkan secara khusus oleh Nabi, maka bukan berarti tidak boleh, karena tidak ada juga dalil yang secara khusus melarang pembuatan waktu imsak.
Akhirnya, baik yang menggunakan jadwal imsakiyah atau sebaliknya yang tidak mau menggunakan, keduanya disatukan oleh satu pandangan yaitu waktu imsak yang sesungguhnya sebagai tanda ibadah puasa dimulai adalah ketika masuk waktu subuh. Sedangkan waktu imsakiyah dipahami sebagai upaya kehati-hatian dalam ibadah, sehingga ketika waktu subuh tiba orang yang menyelesaikan sahurnya dan sudah bersiap melasanakan jamaah salat subuh.
Dr. H. Ridwan, M. Ag
Sekretaris Umum MUI Kab. Banyumas