Pesantren Purwokerto-Dicari: Model Inovasi Pembelajaran

Suatu ketika, Bu Ani mengajar kelas tiga SD. Baru sepuluh menit pelajaran berjalan, beliau mengajak siswa-siswinya keluar kelas. Anak-anak bersorak-sorai menuju sawah terdekat. Mereka berjalan menyusuri pematang. Dari kejauhan tampak petani sibuk bekerja. Ada yang mencangkul, ada yang membajak.

Bu Ani menunjuk ke arah tertentu, meminta para siswa menghitung bajak dan petani yang bekerja. Anak-anak tampak antusias, Bu Ani pun merasa puas. Akhirnya, mereka pun kembali ke sekolah. Setelah masuk kelas, Bu Ani melontarkan pertanyaan: “Berapa buah bajak yang kamu lihat di sawah tadi?”

Jawaban anak-anak sangat kompak: “Ada enam, Bu!”

Bu Ani bertanya lebih lanjut, berapa jumlah kerbau yang menarik bajak, berapa rupiah ongkos total untuk membayar bajak (dengan harga tertentu), berapa total upah para pencangkul, berapa banyak keranjang rumput dibutuhkan untuk pakan kerbau (setiap hari, minggu, bulan), berapa pengeluaran untuk pembelian rumput, dan seterusnya.

Dengan sedikit improvisasi, Bu Ani mengemas pelajaran Matematika menjadi sesuatu yang praktis dan populer di mata anak-anak. Mendasarkan pada hal-hal yang faktual dan logis di atas, pelajaran Matematika terasa membumi serta mudah diterima siswa.

Pak Anton, guru Bahasa Indonesia, sebetulnya tak perlu marah-marah pada Bu Ani karena jam mengajarnya terserobot 15 menit waktu itu. Mengapa Pak Anton tidak bergabung saja menemani anak-anak? Bukankah pelajaran Bahasa Indonesia dan Matematika itu bisa berjalan ‘mesra’ seiring-seirama?

Taruhlah contoh misalnya. Berdasar hasil kunjungan lapangan, para siswa diminta membuat karangan bebas. Anak-anak perlu diberi keleluasaan untuk menulis cerita dengan versi mereka masing-masing. Betapapun, menulis tak boleh terjebak pada teori. Tak boleh terpaku membahas jenis karangan narasi atau deskripsi, tanpa aksi praktik nyata. Jika pembelajaran Matematika saja dapat dikemas secara praktis-logis dan populer, maka hal serupa pasti dapat diterapkan pada bidang bahasa apapun.

Virtual Learning
Sudah menjadi rahasia umum, setiap usai ulangan semester ada waktu luang yang kurang termanfaatkan secara optimal. Siswa tetap datang ke sekolah dan pulang lebih awal dari biasa. Bagi siswa itu merupakan waktu tunggu penerimaan rapor, sedangkan bagi guru/wali kelas ini saat untuk menyalin nilai ke dalam buku rapor. Apakah semua guru sibuk? Tentu tidak. Bagaimanapun, guru mata pelajaran tak sesibuk wali kelas. Kalau mau jujur, sebetulnya waktu luang seperti ini sangat potensial bagi pembelajaran virtual, pengenalan life skill, dan berbagai kegiatan nonkulikuler lainnya.

Tak semua materi pembelajaran harus tertuang dalam kurikulum sekolah. Ironis, selama ini sekolah terlampau terjebak pada kurikulum secara an sich sehingga minim sekali improvisasi. Sebagai institusi pendidikan dan pengajaran, sekolah semestinya responsif terhadap persoalan nyata yang tersua dalam kehidupan sosial sehari-hari.

Dalam keseharian, misalnya, banyak dijumpai anak muda yang ngebut saat naik motor serta mengabaikan aturan lalu lintas. Jika dirunut, ini lantaran anak tak pernah memperoleh bimbingan formal. Mereka hanya meniru teman, atau belajar sendiri secara asal-asalan: starter, tancap gas, melesatkan motor tanpa tengok kanan-kiri. Mengingat hal itu, maka praktik berkendara yang baik dan beretika menjadi urgen diberikan kepada siswa sekolah menengah. Adapun output-nya adalah life skill berupa kecakapan dalam berkendara plus kepatuhan siswa dalam berlalu lintas.

Kegiatan pembelajaran yang mendasarkan pada hal-hal yang dibutuhkan masyarakat (termasuk anak didik) dalam kehidupan nyata, meskipun tak termaktub dalam kurilulum, inilah yang penulis maksud dengan pembelajaran virtual (virtual learning).

Sebetulnya banyak hal yang bisa dijadikan materi pembelajaran virtual (PV). Sekadar contoh, guru dapat mendata siswa yang belum punya akta kelahiran. Untuk praktik di lapangan, siswa dipandu oleh guru mengurus akta di Kantor Catatan Sipil. Jika dilakukan secara rombongan, tentu biaya relatif lebih hemat. Pada kesempatan lain, guru dapat memandu siswa melakukan pembayaran pajak kendaraan bermotor (PKB), pajak bumi dan bangunan (PBB), tagihan listrik, telepon, air minum, dan lain-lain.

Wa ba’du, PV tak perlu diperdebatkan secara heboh sebab tidak akan menggusur atau mengurangi jam mata pelajaran tertentu, melainkan cukup memanfaatkan waktu senggang yang tersua pada setiap usai ulangan semester.***

Oleh Akhmad Saefudin SS ME
Staf Pengajar Madrasah Diniyyah Ath-Thohiriyyah Purwokerto

Wawasan, Sabtu 19 Maret 2011

 

Similar Posts

One Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *