Jakarta-Indahnya Hidup Bersama Al-Quran
Alquran adalah sumber kemuliaan. Siapapun yang menjadikan Alquran sebagai panduan hidup, maka tidak ada yang akan dia dapatkan selain kemuliaan. Hidup bersama Alquran adalah kenikmatan tiada tara. Lalu, bagaimana cara mendapatkannya?

Alquran adalah sumber kemuliaan. Siapapun yang menjadikan Alquran sebagai panduan hidup, maka tidak ada yang akan dia dapatkan selain kemuliaan (QS Al-Anbiyaa [21]: 10). Namun, siapa pun yang berpaling dari tuntutan Alquran, maka Allah akan memberikan kesempitan dalam hidupnya (QS Thahaa [20]: 124).

Karena itu, syarat paling mendasar dalam berinteraksi dengan Alquran adalah bagaimana kita mampu menjadikan Alquran sebagai pedoman hidup sehari-hari.

Ada empat keuntungan yang akan kita peroleh bila berinteraksi dengan Alquran. Pertama, melahirkan jiwa yang sabar. Banyak kisah tentang cobaan berat yang menimpa para pejuang Islam. Mereka diintimidasi, disiksa, dipenjarakan, bahkan dibunuh. Namun kebersamaannya dengan Alquran membuat mereka menjadi orang-orang yang sangat tabah. Nadimah Khatul, seorang mujahidah Afghanistan, contohnya. Beliau dipenjarakan oleh kaum komunis selama enam tahun. Dan ia mengatakan, “Kami mengalami berbagai siksaan berat. Namun membaca dan mengkaji Alquran membantu kami bersabar dan bertahan menghadapinya”.

Kedua, melembutkan hati. Seorang ulama mengatakan, “Sesungguhnya hati itu mengkristal sebagaimana mengkristalnya besi, maka lembutkanlah ia dengan Alquran”.

Ketiga, mengokohkan hati. Difirmankan, Dan semua kisah rasul-rasul, Kami ceritakan kepadamu (Muhammad), agar dengan kisah itu Kami teguhkan hatimu (QS Hud [11]: 120).

Keempat, sebagai nasihat dan obat tatkala hati sedih dan gundah. Allah SWT berfirman, Wahai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu nasihat dari Tuhanmu dan obat bagi yang ada di dalam dada, petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman (QS Yunus [10]: 57).

Cara berinteraksi dengan Alquran
Hidup bersama Alquran adalah kenikmatan tiada tara. Lalu, bagaimana cara mendapatkannya? Langkah pertama adalah membacanya (tilawah). “Orang-orang yang telah Kami berikan Al-Kitab mereka senantiasa membacanya dengan sebenar-benarnya bacaan (haqqut tilawah), mereka itulah orang-orang yang beriman kepadanya…” (QS Al-Baqarah [2]: 121).

Haqqut tilawah dalam ayat tersebut adalah berfungsinya lisan, akal, dan hati ketika melantunkan Alquran. Lisan berfungsi dengan baik ketika mampu mentartikannya. Berfungsinya akal adalah dengan memahami isi ayat yang dilantunkan. Sedangkan berfungsinya hati adalah dengan merenungkan nasihat-nasihat yang terkandung di dalamnya.

Dikisahkan, Imam Rafi’i bin Mahran pernah menderita penyakit akalah, yaitu sejenis tumor tulang pada bagian lutut. Satu-satunya cara untuk menghilangkan penyakit tersebut adalah dengan mengamputasi kaki. Waktu itu dokter menawarkan khamr untuk meredam rasa sakit tatkala proses amputasi dilakukan. Tapi Imam Rafi’i menolak dan ia mengatakan, “Aku punya obat yang lebih mujarab dari apa yang engkau tawarkan kepadaku. Datangkan saja kepada saya seorang qari.”

Selanjutnya ia berkata, “Dokter, apabila ayat Alquran tengah dilantunkan dan anda melihat muka saya memerah dan mata saya terbelalak, itulah saat yang tepat untuk memotong kaki saya”.

Ketika qari melantunkan ayat-ayat Alquran, memerahlah muka serta terbelalaklah mata Imam Rafi’i. Khususnya saat ia mendengar ayat yang berisi peringatan serta ancaman Allah SWT Imam Rafi’i merasakan seolah-olah ancaman itu ditujukan pada dirinya. Saat itulah dokter mulai memotong urat-urat serta menggergaji tulang kaki. Subhanallah, tidak terdengar satu pun keluhan yang keluar dari mulut lelaki saleh ini.

Mengkaji Alquran
Setelah membaca, interaksi seorang Muslim dengan Alquran adalah mengkaji serta memahaminya. Hal ini tidak terlepas dari fungsi Alquran sebagai pedoman hidup (QS Al-Baqarah [2]: 2).

Secara redaksional, Alquran diturunkan dalam bahasa Arab. Akibatnya, kita tidak bisa merealisasikan fungsi Alquran sebagai petunjuk bila Alquran hanya dibaca saja. Karena itu, memahami Alquran secara baik dan benar menjadi kewajiban seorang Muslim.

Ada beberapa syarat yang ditetapkan para ulama agar tidak terjadi penyimpangan dalam menafsirkan Alquran, di antaranya: (1) Memiliki akidah yang benar, (2) Bersih dari hawa nafsu, (3) Adil, (4) Memiliki pengetahuan bahasa Arab. Sebab, Allah SWT menurunkan Alquran dalam bahasa Arab (lihat QS Az-Zukhruf [43]: 2), dan (5) Menguasai ilmu-ilmu Alquran.

Memahami Alquran
Pertama, memahami Alquran dengan Alquran itu sendiri (tafsir quran bil quran). Sesungguhnya Alquran merupakan penjelas yang membenarkan satu bagian dengan bagian lainnya. Rasulullah SAW bersabda, “Ssementara Allah menurunkan kitab-Nya untuk saling membenarkan satu sama lain.” (HR Bukhari).

Contoh ayat yang ditafsirkan dengan ayat lain: Dalam QS Al-Fatihah [1] ayat 7, ”(yaitu) orang-orang yang telah Engkau berikan nikmat kepada mereka.” Dalam ayat ini tidak dijelaskan siapa orang-orang yang diberikan nikmat itu. Maka Allah SWT menjelaskan dalam QS An-Nisa [4] ayat 69, ”Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya) mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, shiddiqin, syuhada, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah sebaik-baik teman.”

Kedua, Memahami Alquran dengan sunah nabi yang shahih. Ibnu Taimiyyah berkata, “Cara yang paling shahih dalam memahami Alquran adalah menafsirkan Alquran dengan Alquran. Jika engkau tidak menemukan itu maka engkau mengambil sunnah, karena ia adalah penjelas Alquran”.

Imam Syafi’i mengatakan bahwa seluruh apa yang dihukumkan oleh Rasulullah SAW adalah dari apa yang beliau dapat dari Alquran. Contoh pemahaman Alquran dengan sunah: dalam Alquran ada beberapa ayat yang memerintahkan shalat. Namun, penjelasan bagaimana melakukan shalat hanya akan kita temukan dalam sunnah. Rasulullah SAW bersabda, “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.”

Ketiga, memahami Alquran dengan pemahaman para sahabat dan tabi’in. Imam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Jika engkau tidak menemukan tafsir dalam satu ayat Alquran, tidak juga dalam sunah, maka engkau harus mencarinya dalam perkataan para sahabat. Mereka paling mengetahui hal itu, sebab mereka melihat (qarain) situasi yang terjadi pada saat Alquran itu diturunkan. Ditambah dengan ketinggian kemampuan bahasa dan kejernihan pemahaman mereka.”

Contoh, pemahaman mereka terhadap kalimat “jalan yang lurus” dalam QS Al-Fatihah [1] ayat 6. Maksudnya adalah Islam atau Alquran atau sunnah Nabi atau sunah Khulafaur Rasyidin.

Pemahaman yang benar terhadap Alquran akan melahirkan sikap yang benar. Insya Allah.

Sumber : www.psq.or.id

 

Similar Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *