Banyumas Pesantren-Tausyiah- Harga Obat Rindu

Dengan naik pesawat Udin datang dari Ambon ke Solo. Ia hanya semalam di kota Bengawan ini, untuk menemui guru-gurunya. Keesokan harinya sudah kembali ke pulau nan indah di kawasan timur Indonesia itu. Total, Udin meluangkan waktu tiga hari dengan biaya lebih dari Rp 4 juta.

Untuk ukuran petani, perjalanan sekilas yang mahal itu sangat berarti. Apalagi bagi guru-gurunya yang selalu bangga melihat muridnya berhasil menjadi pelaku kehidupan yang dihormati. Udin rela membayar harga mahal demi mengobati kerinduan kepada guru-gurunya.
Mahalnya biaya tidak menghalangi niatnya untuk bertemu para guru.

Bagi guru-gurunya, kerelaan Udin itu mengharukan. Bagaimana tidak? Udin bukanlah murid yang tampak istimewa saat belajar. Ia terbilang pas-pasan secara akademik. Dalam kegiatan diskusi ia terlihat lebih banyak mengajukan pertanyaan. Fisiknya terlihat biasa. Kelebihan dalam bidang olah raga tidak menonjol.

Tetapi seiring dengan berlalunya waktu, ia tumbuh menjadi santri yang diperhitungkan. Diam-diam ia menghafalkan Alquran dan menempuh program pembelajaran tersendiri dengan para guru senior setiap masa liburan, ketika para sejawatnya pulang kampung.
Udin membuktikan bahwa pendidikan selalu menghasilkan capaian tidak terduga. Kerutinan sederhana di masa muda bisa menghasilkan capaian sukses tahap demi tahap.
Beberapa kalimat gurunya diucapkan kembali oleh Udin. Ia masih hafal kalimat khas beberapa guru. Dan yang membuat gurunya bangga adalah kesaksian si murid bahwa kalimat-kalimat itu sesuai adanya dengan pergumulan hidup yang dijalani si Udin yang masyarakatnya pernah terjebak ke dalam konflik berkekerasan yang berkepanjangan itu.

Udin memilih menempa diri menjadi yang ahli di bidang agama. Dengan itu ia bermaksud menjadi yang sangat diperlukan bagi masyarakatnya. Pilihan keluarganya bijak. Ia dan adiknya dikirim ke Solo, kota yang kaya dengan pengalaman kependidikan sejak ratusan tahun silam, termasuk di bidang keagamaan.

Hampir 12 tahun ia habiskan waktu untuk belajar di kota ini dari SMP hingga PT. Udin mengaku kenangan terbesarnya ada di kota ini. Ia belanjakan uang jutaan rupiah untuk kembali menyusuri kembali kompleks pondoknya yang sudah banyak berubah. ”Semahal itu kau habiskan biaya untuk menemui guru-gurumu?” Udin menjawab: ”Saya belum apa-apa. Uwais Alqarani uswah kita kan?”

Uwais adalah perawat kuda dari Yaman. Bertahun-tahun ia menabung untuk menempuh perjalanan sangat jauh. Akhirnya ia sampai ke Madinah, tetapi nabi yang agung Muhammad SAW itu telah wafat (Tarikh Adz-Dzahabi, Juz 1: 385-387). Dan Nabi SAW menyebut Alqarani sebagai tabi’in terbaik (HR Imam Muslim dari Umar RA, hadis nomor 4612). Tabi’in adalah generasi setelah sahabat Nabi.

Dari mana Nabi SAW mengetahui bahwa sepeninggal beliau akan ada sosok Uwais Alqarani? Wallahualam.

Dari sosok Uwais kita belajar ada kerinduan yang bernilai mahal secara duniawi. Ada pula yang mahal dan berharga secara duniawi sampai ukhrawi. Ternyata Udin masih ingat kisah Uwais yang dituturkan gurunya 20 tahun silam saat ia duduk di kelas I Madrasah Diniyah Wustha.

HM Dian Nafi’, Pengasuh Pesantren Mahasiswa Al-Muayyad Windan Makamhaji Kartasura, Sukoharjo

Sumber:Solopos. 15 Januari 2010

Similar Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *