Banyumas Pesantren: Akal Tamyizi
”Dan Kami coba mereka dengan yang baik-baik dan yang buruk-buruk, agar mereka kembali (kepada kebenaran),” (QS Al-A’raf: 168).
Akal itu kecerdasan dan kesadaran. Demikian arti yang kita dapatkan di dalam Mu’jam Lughah al-Fuqaha’. Dengannya manusia memahami berbagai hal. Tanpa akal manusia tidak dapat dituntut bertanggung jawab atas perbuatannya.
Dengan akal pula manusia dapat mengembangkan diri melalui belajar. Kita belajar sepanjang hayat. Dengan kecerdasan dihasilkan inovasi. Dengan inovasi hidup manusia lebih mudah.
Bagaimana dengan akal tamyizi? Kecerdasan jenis ini memampukan manusia untuk memilah yang baik dan yang buruk (Ibnu Khaldun, Muqaddimah: 274).
Dengan akal tamyizi itu pengetahuan dan kecakapan manusia menemukan tempat sebagai pembangun kemaslahatan. Akal bermakna kesadaran, tidak sekadar kecerdasan. Saat kita menambah pengetahuan, bahan belajar kita lebih banyak berupa teks, ujaran dan ajaran. Kepandaian dalam tataran ini setara dengan banyaknya pengetahuan yang dikuasai secara kognitif.
Kepandaian dalam tataran itu masih perlu disemaikan pada tataran sikap. Untuk persemaian itu kita butuh kecerdasan tamyizi. Para fuqaha’ (ahli hukum Islam) menyebutkan bahwa kecerdasan ini mulai berfungsi sejak kita mencapai fase mumayyiz. Potensinya terlihat sejak kanak-kanak (Al-Anshari dalam I’anat at-Thalibin, Juz 1: 116).
Itulah pentingnya bimbingan moralitas sejak dini (Dimyathi dalam Asna al-Mathalib, Juz 1: 26). Contoh dan teladan memainkan peranan sangat penting. Dan banyak sumber belajar dapat dimanfaatkan. Misalnya, kejadian di bus umum. Kita butuh dan berhak duduk nyaman karena kita telah membayar. Hak kita itu wajib dilindungi oleh awak bus.
Kemudian masuklah perempuan paruh baya. Ia tidak memperoleh tempat duduk. Kita bisa memilih tetap duduk dan membiarkan ibu itu berdiri, menuntut awak bus untuk menyediakan kursi cadangan, atau mempersilakan ibu itu duduk di tempat kita dan kita berdiri sambil menunggu sampai tersedia kursi kosong.
Dalam pengamatan, di banyak negara, sikap ketigalah yang dipilih. Mengalah untuk menghormati warga yang lebih tua adalah sikap terpuji. Bahwa hal itu terjadi karena bus yang kita tumpangi kelebihan penumpang, maka hal itu merupakan masalah lain yang menjadi tanggung jawab awak bus di hadapan hukum.
Para pendidik, termasuk Prof Herman Waluyo yang memberikan contoh di atas, menamakan metode yang selaras untuk tujuan pembelajaran itu adalah metode klarifikasi nilai. Seorang warga belajar sengaja dihadapkan kepada peristiwa yang bermuatkan dilema nilai. Dilema nilai memunculkan pilihan-pilihan nilai dengan konsekuensi yang berbeda-beda. Akal tamyizi yang terlatih memampukan orang menetapkan pilihan nilai secara jernih. Buahnya adalah manusia yang bijak. Itulah yang selalu kita harapkan dari dunia pendidikan kita.
Sumber: http:edisicetak.solopos.co.id/zindex_menu.asp%3Fkodehalaman%3Dh17%26id%3D74136+akal+tamyizi+dian+nafi