Banyumas Pesantren-Pakar Bahasa dan Sastra Arab NU Dari Kota Kretek
Tak banyak ulama NU yang bisa menghasilkan banyak karya tulis. Apalagi yang berbahasa Arab. Di antara yang jarang itu Tamu Kita kali ini adalah salah satunya.
Pada masa kejayaan Islam, seorang ulama pasti menguasai berbagai ranah keilmuan, baik di bidang agama maupun sains. Hebatnya lagi hampir semua ulama masa itu meninggalkan karya-karya penulisan besar yang membuat nama mereka terus dikenal dan dikenang hingga saat ini. Karya-karya tulis tersebut sangat fenomenal karena menggabungkan data ilmiah yang cenderung kaku dengan gaya penulisan bersastra yang indah. Beberapa di antaranya bahkan ditulis dalam format nazham (bait-bait syair) dan natsar (prosa liris) dengan gaya bahasa yang memikat hati.
Tengok saja kitab Alfiyyah Ibnu Malik, yang memperkenalkan ilmu tata bahasa Arab dalam rangkaian senandung sepanjang seribuan bait syair. Juga kitab Zubad yang berisi seribuan bait syair tentang ilmu fiqih, Matan Rahabiyyah yang mengulas ilmu faraidh (ilmu bagi waris islami), Aqidatul Awam yang memaparkan kaidah-kaidah ilmu tauhid dan lain sebagainya. Seluruh karya agung tersebut jelas menggambarkan penguasaan penulisnya dalam ilmu tata bahasa dan sastra Arab.
Tak hanya dari Timur Tengah, beberapa kitab bersyair juga pernah ditulis oleh ulama Indonesia masa lalu. Sebut saja kitab maulid Al-Unsyudah An-Nabawiyyah karya Syaikh Abdullah Arfan Baraja’ dan banyak karya-karya lain. Hamzah Fansuri, Syaikhuna Cholil Bangkalan, Kiai Abdullah bin Nuh Bogor, Habib Idrus Al-Jufri (pendiri Al-Khairat) Palu, dan Kiai Turaikhan Kudus, merupakan sebagian kecil dari deretan panjang ulama nusantara yang terkenal sebagai ahli paramasastra Arab.
Sayangnya tradisi agung itu perlahan mulai luntur, terutama di negeri ini. Terbukti dengan semakin langkanya ulama Nusantara yang menghasilkan karya dalam bahasa Arab, apalagi yang bernuansa sastra. Kalau pun ada, ahli sastra Arab tanah air kebanyakan sudah berusia sepuh. Indikasi itu juga diperkuat dengan fakta bahwa jurusan sastra Arab di perguruan-perguruan tinggi Agama Islam jarang diminati –oleh santri sekali pun– karena tingkat kesulitannya yang dianggap sangat tinggi.
Di antara yang tak banyak itu, Tamu Kita kali ini adalah salah satunya. Gelar Doktor dan Guru Besar ilmu sastra Arab yang terpampang di depan namanya menjadi bukti pengabdiannya kepada dunia pendidikan bahasa dan sastra Arab. Belum lagi jika melihat daftar panjang karya tulisnya yang berupa 240an judul buku, 70an makalah dalam berbagai seminar Bahasa Arab dalam dan luar negeri, dan puluhan artikelnya di berbagai jurnal ilmiah dan media massa.
Dialah Prof. Dr. K.H. Chatibul Umam, guru besar bahasa dan sastra Arab di UIN Syarief Hidayatullah Jakarta dan mantan rektor Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran (PTIQ) Jakarta, yang juga rais syuriyah PBNU dan penasehat Lajnah Falakiyah PBNU.
Unsur Imajinasi
Diwawancarai di kediamannya di Perumahan Dosen UIN Ciputat, Tangerang, Banten, ulama sepuh yang bersahaja itu bertutur panjang lebar seputar bahasa Arab, aktivitas menulis para ulama dan suka dukanya bergelut dengan bahasa dan sastra Arab serta sekelumit perjalanan hidupnya.
Ditanya mengenai semakin langkanya ulama nusantara yang menghasilkan karya tulis dalam bahasa Arab, ulama sepuh kelahiran Kudus 81 tahun lalu itu mengatakan, “Sedikit banyak hal itu dipengaruhi oleh semakin populernya penggunaan Bahasa Indonesia dalam proses belajar mengajar di madrasah dan pesantren, sejak Indonesia merdeka.”
“Perlahan para santri dan ustadz lebih enjoy menggunakan bahasa Indonesia dari pada Bahasa Arab dalam menguraikan pelajaran. Bahkan di banyak madrasah dan pesantren, penggunaan bahasa Arab sebagai pengantar pelajaran justru dianggap menghambat pemahaman siswa,” tambahnya.
Efek yang lebih jauh lagi, papar Kiai Chatib, demikian ia akrab disapa, ulama sekarang lebih suka menulis karyanya dalam bahasa Indonesia agar lebih mudah diterima, dicerna dan dipahami pembaca yang mayoritas buta huruf Arab. Kondisi itu diperparah dengan fakta, tak seperti zaman dulu, saat ini tak banyak lagi pesantren, apalagi madrasah, yang mengajarkan ilmu arudh (seni sajak).
“Di IAIN saja tinggal fakultas Adab saja yang masih mengajarkan ilmu arudh,” tambah guru besar yang mengajar ilmu arudh di Pendidikan Kader Ulama (PKU) MUI
Sebuah karya sastra Arab yang baik, menurut suami Hj. Muflichah, itu harus memuat empat unsur : ‘athifah (rasa), khayaliyyah (imajinasi), fikrah (gagasan) dan uslub (gaya penulisan). Contoh karya sastra Arab terbaik sepenjang masa adalah Al-Quran, yang secara sempurna memenuhi keempat unsur tersebut.
Terlahir sebagai putra pengasuh pesantren membuat Chatibul Umam telah akrab dengan bahasa Arab sejak usia belia. Namun demiakian, sulung dari lima bersaudara putra pasangan K.H. Rif’an, pengasuh Pesantren Jagalan, Langgar Dalem, Kudus, Jawa Tengah, dan Nyai Hj. Ruqoyyah itu mengaku tak pernah menduga kelak akan menjadi guru besar ilmu tata bahasa Arab.
Pasalnya, saat remaja, kiai kelahiran Kudus, 7 Juli 1936, itu justru lebih akrab dengan dunia ilmu falak (astronomi), mengikuti jejak ayahandanya yang menjadi penyusun kalender Menara Kudus, sebelum Kiai Turaichan Adjhuri Asy-Syarofi. Bahkan saat masih duduk bangku Tsanawiyyah di TBS ia pernah diperintahkan ayahnya untuk menyusun kalender lengkap tahun 1958. Setelah diperiksa sang ayah, hasil perhitungan Chatibul Umam itu kemudian diterbitkan dan diedarkan oleh Menara Kudus.
Chatib kecil mengawali pendidikan agamanya di rumah sendiri. Ia mengikuti pengajian-pengajian kitab yang diasuh ayahnya. Selain mengaji di rumah, ia juga belajar agama di Madrasah Ibtidaiyyah dan Tsanawiyyah Taywiquth Tulab Salafiyyah (TBS), salah satu madrasah legendaris di kota kretek itu yang rata-rata pengajarnya adalah para kiai.
Di TBS ia belajar ilmu falak kepada sang ayah dan ilmu arudh (seni sastra) kepada K.H. Turaichan Adjhuri Asy-Syarofi. Sementara pengajian Al-Quran diikutinya di Pesantren Yanbu’ul Quran yang diasuh K.H. Arwani Amien, alumnus pesantren Krapyak, Yogyakarta, yang belakangan menjadi salah seorang ulama besar pengajar Tahfizhul Quran terkemuka di negeri ini. Tiga ulama Kudus itulah yang hingga kini ia jadikan sumber inspirasinya.
Nyaris Sempurna
Meski tak lagi menggeluti ilmu falak secara langsung, pengetahuannya dalam ilmu penentuan kalender itu hingga kini masih diakui. Terbukti dari kepercayaan Lajnah Falakiyyah PBNU, lembaga ilmu falak NU, yang mengangkatnya menjadi penasehat. Bahkan setiap kali Departemen Agama mengadakan sidang itsbat untuk menentukan tanggal 1 Ramadhan, 1 Syawwal dan 1 Dzulhijjah, Profesor Chatiblah yang selalu diminta hadir mewakili NU.
Lulus dari TBS, tahun 1953, Chatibul Umam melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Guru Hakim Agama (SGHA) Yogyakarta. Di sekolah berdurasi empat tahun ajaran itulah untuk pertama kalinya ia tertarik untuk mendalami Bahasa Arab, yang bermula dari perjumpaannya dengan Ustadz Nurhasyim, guru Bahasa Arabnya yang alumnus Gontor.
Dengan semangat “belajar Bahasa Arab itu menyenangkan” sang ustadz mendorong murid-muridnya untuk mendalami bahasa Al-Quran tersebut. Khusus kepada Chatib yang mulai menunjukkan ketertarikan, ustadz Hasyim selalu mengajaknya berbincang dalam Bahasa Arab dan meminjamkan buku-buku kontemporer berbahasa Arab, seperti novel dan puisi karya Luthfi Al-Manfaluthi, yang belakangan mengilhami penyusunan disertasinya.
“Karena waktu itu belum banyak mesin foto kopi, buku-buku yang menarik lalu saya salin di buku tulis,” kenang Profesor Chatibul Umam. Sejak itulah ia bertekad untuk terus memndalami Bahasa Arab.
Selepas SGHA, Chatib yang langsung diangkat menjadi guru negeri itu lalu ditugaskan mengajar Bahasa Arab di PGA Kudus. Dengan mengajar kemampuan dan pengetahuan Bahasa Arabnya pun meningkat pesat. Tak melupakan almamater, setiap jadwal mengajarnya di PGA kosong ia pun mengajar mata pelajaran umum, ilmu falak dan kaligrafi di TBS.
Tiga tahun kemudian, 1960, ia mendapat kesempatan mengikuti ujian negara untuk mendapatkan beasiswa tugas belajar di Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA), Jakarta. Dengan modal kemampuan Bahasa Arabnya, ia mampu melewati ujian yang seluruh soalnya berbahasa Arab itu dengan nilai nyaris sempurna, 99 pada skala 100.
Di kampus yang kelak menjadi IAIN Syarif Hidayatullah, Ciputat, itu kehausan Chatibul Umam dalam mempelajari Bahasa Arab menemukan muaranya. Sebab di perguruan tinggi yang merupakan program unggulan pemerintah itu hampir semua mata kuliah di sampaikan dalam bahasa Arab.
Banyak kenangan lucu saat ia pertama kali mengikuti perkuliahan di Jurusan Bahasa Arab yang dipimpin Profesor Busthami itu. Salah satunya ketika perkenalan materi Filsafat yang diampu Zainuddin Manshur.
Tanpa diduga, sang dosen langsung menyebutnama Chatibul Umam dan menyuruhnya maju ke muka kelas dan memperkenalkan diri dan menceritakan kesan-kesannya diterima di ADIA, dalam bahasa Arab. Lucunya, ketika sang dosen menyebut nama Chatibul Umam, ada salah seorang temannya yang bertanya balik dengan mimik serius, “Juz kam, ya Ustadz? Juz berapa, Ustadz?” Rupanya dia mengira sang dosen sedang menyebut judul salah satu kitab.
Tak sampai setahun, ADIA berubah status menjadi IAIN. Ia pun menjadi mahasiswa angkatan pertama kampus kebanggaan umat Islam Indonesia tersebut.
Saat kuliah, Chatibul Umam juga aktif di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Tak tanggung-tanggung, tahun 1963, saat PB PMII dipimpin Mahbub Djunaedi, Chatib diangkat menjadi wakil sekretaris jendral. Ketika Mahbub memimpin Duta Masyarakat, koran harian milik Partai NU, ia juga ikut direkrut menjadi salah seorang wartawan sekaligus sekretaris redaksinya.
Sekali Jadi
Ketika Partai NU berfusi ke dalam PPP, koran Duta Masyarakat pun dilebur dengan beberapa media parta Islam lain menjadi harian Pelita. Merasa tidak sreg, Mahbub dan Chatib memilih keluar lalu bergabung dengan Majalah Risalah Islamiyyah, media yang diterbitkan oleh Lembaga Misi Islam yang dipimpin K.H. Dr. Idham Chalid. Sementara di kampus ia mendirikan dan memimpin Studia Islamika, jurnal ilmiah milik IAIN Syarif Hidayatullah. Media massa terakhir yang digelutinya adalah majalah Ihya Ulumiddin, yang diterbitkan oleh .
Mahbub Djunaedi memang guru terpenting Chatibul Umam dalam dunia tulis menulis. Dari Mahbub ia belajar tekhnik menulis sekali jadi, yakni menulis tanpa terlebih dulu menyusun konsep di atas kertas. “Menurut Mahbub, wartawan sejati harus bisa merumuskan outline dan tulisan jadi di otaknya sebelum mulai mengetik. Dia marah-marah kalau ada wartawan yang bolak-balik mengganti kertas karena kehilangan gagasan di tengah-tengah menulis.”
Kebiasaan itu berlanjut hingga sekarang. Setiap menulis buku, artikel atau makalah, Chatibul Umam selalu mengerjakannya dalam sekali duduk.
Buku pertamanya yang membahas tentang Ilmu Balaghah terbit pada tahun 1969. Buku itu lalu diterbitkan secara besar-besaran oleh Departemen Agama dan disebarkan ke seluruh tanah air sebagai buku pegangan pelajaran Ilmu Balaghah. Dari hasil royaltinya, Chatibul Umam bisa membeli sebuah rumah yang cukup besar di Kauman Semarang, yang ia beri nama Baitul Balaghah, Rumah Balaghah.
Sejak itulah Kiai Chatibul Umam terus produktif menulis. Hingga tahun 1999, ketika diadakan pendataan karya-karyanya sebagai prasyarat memperoleh gelar Doktor, tercatat 218 judul buku, baik karya asli maupun terjemahan kitab-kitab, karya Sang Profesor yang telah diterbitkan. Kebanyakan mengupas persoalan tata bahasa dan sastra Arab.
Jumlah itu belum termasuk puluhan makalah serta artikel ilmiah yang disusunnya untuk berbagai jurnal dan seminar di dalam dan luar negeri. Angka itu masih terus bertambah, karena hingga kini Kiai Chatib masih terus berkarya. Saat ini, misalnya, ia tengah menyelesaikan penerjemahan Kitab Al-Fiqh ‘ala Madzahib Al-Arba’ah, kitab fiqih empat Madzhab.
Tak hanya beredar di dalam negeri, beberapa buku karya Kiai Chatib juga menghiasi rak beberapa toko buku besar di negeri jiran Malaysia, Brunai dan Singapura. Sebut saja buku Pedoman Dasar Ilmu Nahwu, Kaidah Tata Bahasa Arab, dan buku-buku Bahasa Arab lain untuk tingkat MI dan MTs yang versi aslinya diterbitkan Menara Kudus.
Sayangnya buku-buku itu kebanyakan diterbitkan di Malaysia secara ilegal alias dibajak. Tak pernah sepeser pun Kiai Chatib mendapatkan royalti atas karya-karyanya tersebut. Bahkan ketika salah seorang temannya yang mengajar Bahasa Arab di UGM membantunya melacak “penerbit”, ternyata alamatnya fiktif.
Ketika alKisah mengusulkan upaya hukum untuk menuntut si pambajak, dengan ringan sang kiai berkata, “Buat apa nuntut, wong sistem hukum kita saja nggak mendukung. Lebih baik diam. Saya cuma berharap, mudah-mudahan si pembajak diberi kesadaran dan bersedia membayar royalti.”
Kepiawaian Chatib berbahasa Arab dalam sebuah acara PMII yang mengundang tamu-tamu dari Timur tengah juga pernah membuat kagum Menteri Agama K.H. Saifudin Zuhri. “Chatib, tolong bantu aku di departemen ya,” kata Kiai Chatib menirukan permintaan sang menteri waktu itu.
Sejak itu ia sering diminta membantu kementrian dalam hal-hal yang berkaitan dengan Bahasa Arab. Tak hanya itu, Chatib juga diminta mengajar privat anak-anak Saifudin Zuhri.
Peninjau Muktamar
Sedangkan ihwal keterlibatannya dalam kepengurusan NU, Kiai Chatib mengaku semuanya berlangsung tanpa sengaja. Ceritanya juga cukup unik. Pada muktamar Krapyak, 1989, ia ikut hadir sebagai peninjau karena tertarik dengan isu mufaraqahnya Kiai As’ad Syamsul Arifin. Karena cuma peninjau, usai pemilihan Rais Am dan Ketua Umum, pun ia segera kembali ke hotel dan tidur.
Pagi harinya tanpa punya pikiran apa-apa ia berolah raga dengan jalan-jalan di depan hotel. Di tengah jalan ia berpapasan dengan Kiai Najid Mukhtar, mantan ketua PP Ma’arif, yang tengah menuju stasiun. Tiba-tiba ia memanggil namanya sambil meneriakkan kata selamat. Kiai Chatib pun bengong. “Selamat? Selamat untuk apa?” pikirnya dalam hati sambil melanjutkan olah raganya.
Peristiwa yang sama kembali terulang ketika naik kereta menuju Jakarta. Beberapa orang peserta muktamar yang berjumpa dengannya memberikan ucapan selamat. Kiai Chatib pun bertanya heran, “Ada apa ini, kenapa semua orang memberi selamat kepada saya?’.
Salah seorang peserta muktamar memberikan selembar koran pagi baru yang di halaman mukanya tercantum struktur kepengurusan PBNU. Ternyata namanya termasuk yang dipilih tim formatur untuk duduk sebagai wakil katib ‘am. Ayah tiga anak hasil pernikahannya dengan Hj. Muflichah itu pun geleng-geleng kepala.
Pada muktamar berikutnya yang digelar di Cipasung, Kiai Chatibul Umam dipercaya menjadi ketua Lembaga Bahtsul Masail NU. Namun tak lama kemudian, oleh Gus Dur ia dikembalikan ke posisi syuriyah, namun kali itu ia sebagai rais atau ketua.
Profesor Doktor K.H. Chatibul Umam memang sosok langka. Dedikasinya dalam dunia pembelajaran Bahasa Arab sungguh luar biasa. Meski baru mendapat gelar Doktor pada tahun 1999, Kiai Chatib telah menyandang gelar guru besar Bahasa Arab sejak tahun 1990.
Penganugerahan gelar profesor itu merupakan penghargaan atas dedikasinya dalam mengajar dan berkarya di bidang tata bahasa dan sastra Arab serta dianggap memiliki kemampuan membimbing calon Doktor.
Lucunya, beberapa tahun setelah penganugerahan gelar profesor, Kiai Chatib menyusun sebuah disertasi yang akan diajukannya ke senat guna memperoleh gelar doktor. Namun ia malah ditertawakan rektornya, “Walah, anda ini khan sudah profesor senior yang biasa membimbing dan menguji para doktor. Kalau sekarang anda bikin disertasi yang akan membimbing dan menguji siapa?”
Akhirnya rapat senat IAIN Syahid pada tahun 1999, yang mayoritas anggotanya adalah mantan mahasiswanya, memutuskan untuk menganuerahkan gelar Doktor dalam bidang bahasa Arab kepada sang profesor.
Dua gelar itu memang sangat layak disematkan di dada Chatibul Umam, sebagai penghargaan atas khidmahnya di dunia pendidikan. Ia adalah pengajar sejati, seperti yang diungkapkannya kepada alKisah di akhir perjumpaan, “Saya ini pada dasarnya hanyalah seorang guru. Saya paling berat kalau disuruh meninggalkan aktivitas mengajar.”
Dan itu terbukti dalam kesehariannya di UIN. Jika tidak karena halangan yang benar-benar tidak memungkinannya berangkat mengajar, Prof. Dr. K.H. Chatibul Umam tidak pernah mau absen memberikan kuliah.
Luar biasa!
Oleh: Ahmad Iftah Sidik (Pemerhati Kiai Kharismatik NU)