Pesantren Purwokerto-Warisan Nabi Muhammad SAW
Suatu kali, Abu Hurairah RA bergegas ke pasar. Di sana dia menjumpai banyak orang asyik berjual-beli.
Kepada kerumunan itu, Abu Hurairah RA memberitahukan dengan suara lantang: ”Hai, warga pasar, kalian semua bersibuk ria di sini, bergumul dengan dinar dan dirham, padahal sekarang ini warisan Nabi SAW sedang dibagi di masjid.”
Orang-orang berlarian menuju ke masjid, saling mendahului yang lain agar tidak kehabisan warisan. Manusia mana yang tidak tergerak oleh harapan akan harta benda? Langka, jika ada.
Kata dinar dan dirham dalam kalimat Abu Hurairah RA merasuki pikiran orang-orang. Maklum, nilainya tinggi, bahkan untuk ukuran saat ini. Satu dinar adalah sekeping emas setara 4,25 gram dan satu dirham adalah sekeping perak setara 2,976 gram (Mu’jam Lughat Al-Fuqaha’: 47 dan 255).
Wajar, mereka mengangankan beroleh bagian dari kekayaan itu, apalagi dari junjungan mereka, Nabi Muhammad SAW, yang sangat mereka hormati. Karena itu, mereka bergegas.
Sesampai di masjid, orang-orang dari pasar itu melihat ke kanan dan ke kiri. Seluruh bagian Masjid Nabawi mereka selidiki. Abu Hurairah RA bertanya, ”Apa yang kalian dapatkan?” Mereka menjawab: ”Kami sudah ke masjid dan masuk ke dalamnya, tidak ada sesuatu pun dibagi.”
Abu Hurairah RA bertanya lagi, ”Apakah kalian tidak melihat seorang pun di sana?” Mereka menjawab, ”Ya. Kami melihat sejumlah orang salat, yang lain mengaji Alquran dan lainnya lagi mendalami perihal halal dan haram.”
”Itulah warisan Nabi Muhammad SAW,” (HR Imam Thabarani, Mu’jam Al-Awsath, No 1.429, hadis hasan).
Semula orang-orang dari pasar itu menggambar di dalam benak masing-masing bahwa warisan sama dengan harta. Ketika melihat suasana masjid, mereka menganggap informasi yang mereka terima tidak akurat. Setelah mencerna penjelasan, mereka paham. Warisan tidak hanya harta.
”Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi. Mereka tidak mewarisi dinar dan dirham. Yang mereka warisi adalah ilmu. Barang siapa mengambilnya maka ia mendapatkan bagian yang berlimpah,” (HR Imam Ibnu Hibban, Shahih Ibnu Hibban No 88).
Kisah itu mengingatkan kita tentang warisan berharga dalam kehidupan manusia. Contohnya adalah kerajaan Nabi Daud AS yang terkenal itu. Nabi Sulaiman AS, putra beliau, mewarisi kerajaan itu tetapi yang dianggap lebih berharga oleh sang penerus adalah justru ilmu pengetahuan dari pendahulunya itu. Sehingga, beliau dianugerahi oleh Allah SWT pengertian tentang suara burung (QS An-Naml: 16) dan perkataan semut (QS An-Naml: 18-19).
Jika bahasa burung dan semut dipahami, wajar bahasa-bahasa manusia telah beliau kuasai. Itulah pertanda kecanggihan ilmu pengetahuan dan manajemen saat itu, mungkin juga sampai sekarang. Ilmu tentang keadilan dan kebijaksanaan merupakan warisan tersendiri (QS Al-Anbiya’: 79). Keduanya telah mengantarkan umat Islam hingga agama ini diterima meluas di seantero dunia.
Harta memudahkan, ilmu pengetahuan menentukan dan akhlak menyelamatkan. Kita salut kepada orangtua yang cermat mengantarkan putra-putrinya memperoleh didikan yang lengkap dan bermutu. Tentu semua itu bermanfaat bagi masa depan mereka.
M Dian Nafi’ Pengasuh Ponpes Al Muayyad Windan, Makamhaji, Kartasura
Sumber: www.solopos.com 1 April 2011