Banyumas Pesantren-BLK dan Urgensi ’Workshop’ Pesantren
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) Muhaimin Iskandar mengakui, sebagian besar dari 220 Balai Latihan Kerja (BLK) di Indonesia terbengkelai. Saat ini baru 11 BLK yang dikelola langsung pemerintah pusat dan berpredikat baik (Suara Merdeka, 9/8/2010). Masih menurut Menakertrans, sejak era reformasi seluruh BLK ditangani pemerintah daerah sehingga alokasi dana tak maksimal.
Akibatnya, prioritas peningkatan kualitas kerja melalui BLK pun sangat kurang. Melihat kondisi di atas, tak ada salahnya potensi BLKBLK di daerah dimobilisasi untuk mendukung realisasi workshop di pondok-pondok pesantren. Unit pelatihan keliling (mobile training unit; MTU) milik BLK jangan dibiarkan vakum kegiatan lantaran minimnya anggaran. Untuk mewujudkan itu semua, perlu sinergi dari seluruh pihak terkait.
Potensi pesantren
Peradaban suatu bangsa berkembang secara signifikan jika ada upaya-upaya yang dilakukan secara sadar dan berkelanjutan. Dalam konteks umat Islam Indonesia, pesantren memiliki peran strategis dalam turut mewujudkan akselerasi peradaban ke arah yang lebih baik, sesuai tuntunan dan ajaran Islam.
Keberadaan pesantren di Indonesia merupakan aset potensial bagi kemajuan bangsa di masa depan. Potensi itu dapat dilihat dari jumlah pesantren yang mencapai 14.700 lebih dan tersebar di berbagai pelosok negeri (Haidar, 2007). Input pesantren sebagian besar masyarakat menengah ke bawah. Hasil penelitian, mengutip Haidar, menunjukkan 5-10 persen alumni pesantren menjadi kiai, selebihnya jadi tokoh politik, budayawan, pengusaha, dan lain-lain.
Secara umum kurikulun pesantren dapat dibedakan atas kurikulum pengajian nonsekolah, kurikulum madrasah salafiyah, dan kurikulum pesantren modern (Wahid, 1978). Diakui atau tak, kurikulum pesantren sulit dilakukan perubahan secara drastis. Sebab, betapapun, hal itu merupakan keunggulan pesantren dalam memelihara nilai-nilai lama yang baik (al-muhafadzoh ’alal qodiemish sholih).
Meskipun setiap pesantren menerapkan kurikulum berbeda, namun secara umum mengemban peran sama. Tiga peran utama pesantren adalah sebagai basis pendidikan keagamaan (tafaqquh fid-dien), agen pengembangan masyarakat (community development); dan basis pendidikan dan pengembangan teknologi. Peran pertama inheren pada diri pesantren sejak kelahirannya. Adapun dua peran lainnya perlu dukungan stakeholder terkait dalam optimalisasinya.
Untuk meningkatkan peran pesantren sebagai basis community development, perlu dirintis unit baru di lingkungan pesantren. Yaitu unit pendidikan dan pelatihan (training center) murah bagi masyarakat.
Keterbatasan sumber daya pesantren dalam operasionalisiasi workshop dapat diatasi dengan melibatkan seluruh stakeholder terkait dengan jalinan kerja sama secara sinergis.
Resistensi atas kehadiran workshop di pesantren sangatlah kecil mengingat di kalangan pesantren dikenal prinsip almuhafadzotu ’ala qodimiosh-sholih wal-ahdzu bil jadidil ashlah (memelihara tradisi lama yang baik, dan mengadopsi tradisi baru yang lebih baik). Jika kata kuncinya adalah ”demi kemaslahatan umat”, maka pesantran akan menyambutnya dengan tangan terbuka.
Melalui perintisan workshop, misalnya, ada peran praktis dan startegis yang dapat dilakukan pesantren dalam pengembangan sumber daya masyarakat dalam arti luas. Unit workshop atau dengan sebutan lain di sini adalah semacam BLKnya pesantren.
Pendirian workshop di kalangan pesantren boleh jadi merupakan hal baru. Meskipun belum hadir dengan secara fisik, potensi workshop di sejumlah pesantren sudah dapat dilakukan identifikasi awal. Banyak kegiatan pelatihan yang memungkinkan dilaksanakan di pesantren, seperti jurnalistik, keterampilan menjahit, pelatihan pertukangan, kursus automotif, kursus stir mobil, kursus elektronika, pelatihan percetakan atau sablon, pelatihan kehumasan, pelatihan public.speaking, pelatihan kepemimpinan (leadership), diklat kewirausahaan, dan lain-lain.
Untuk meningkatkan peran pesantren sebagai basis pemberdayaan dan pengembangan masyarakat, sudah saatnya di tiap kabupaten/kota dirintis unit percontohan Workshop Pesantren (WP) berbasis potensi.
Potensi tak saja sumber daya pendukung (supporting resources), namun juga potensi masyarakat yang perlu dikembangkan (potential resouces to develop) melalui kegiatan kursus dan pelatihan yang difasilitasi WP bekerja sama dengan instansi terkait.
Betapapun, workshop yang representatif membutuhkan gedung beserta perlengkapannya, dan manajemen yang baik. Perintisan WP di tingkat kabupaten/kota perlu dukungan dan keterlibatan seluruh stakeholder di daerah, yang secara teknis pelaksanaannya difasilitasi oleh Kementerian Agama di dearah setempat. Sebagian fasilitas workshop dapat dipenuhi oleh BUMN, institusi atau badan usaha lain yang memiliki perwakilan di daerah, melalui program corporate social responsibility (CSR).
WP perlu dikelola manajer yang memiliki pengetahuan kehumasan sehingga dapat menjadi fasilitator antara pesantren dengan masyarakat luar, termasuk instansi pemerintah dan swasta. Untuk memenuhi kebutuhan manajer WP yang cakap dan profesional, Badan Litbang & Diklat Kementerian Agama dapat proaktif memberi pembekalan lewat inhouse training atau sejenisnya. Pelatihan diselenggarakan di ibukota provinsi, diikuti delegasi pesantren dari kabupaten/kota.
Penulis: Akhmad Saefudin SS ME Staf Humas Ma’had Ath-Thohiriyyah Purwokerto
Sumber: http://www.wawasandigital.com/index.php?option=com_content&task=view&id=41835&Itemid=62