Banyumas pesantren-Problematika Pesantren Salaf Masa Kini

Sangat bisa diterima sinyalemen bahwa pesantren adalah lembaga tertua di Nusantara ini tapi masih sangat relevan untuk dipertahankan eksistensinya. Tetapi dengan kenyataan situasi yg terus berkembang maka tidak bisa tidak pesantren perlu modifikasi agar terus bisa dilihat manfaatnya untuk ummat. Pada masa lampau jelas sekali peran pesantren dalam membentuk kultur budaya bangsa sehingga para alumni pesantren sangat dirasakan manfaatnya di lingkungannya masing-masing, baik di tingkat local, regional bahkan nasional/internasio nal.

Ilmu yang ditimba para alumni pesantren dari almamater pesantrennya masing-masing sangat cukup untuk bekal hidup bermasyarakat dan berjuang. Ini tentu ditunjang dengan lebih tekunnya santri tempo doeloe dan berkah para gurunya yang keikhlasan dan kedalaman ilmunya sangat mumpuni.Suatu hal yang menakjubkan, bahwa Ummat Islam Nusantera yg terjajah selama 3 ½ abad dan selalu kalah dalam pertikaian politik dan kekuasaan tapi masih bisa mengembangkan da’wah Islamiyah-nya sehingga sensus penduduk menjadi mayoritas muslim dan transaksi dalam kehidupan masyarakat baik ekonomi atau non ekonomi juga sangat banyak yang dipengaruhi oleh teori fiqih Islamiy.

Ini tidak lepas dari perjuangan pesantren yg bertebaran di pelosok-pelosok tanah air. Kelompok santri memang kalah dalam perebutan kekuasaan dan politik tapi masih berjaya dalam kultur budaya. Konon disebutkan bahwa ketika kolonial datang di Nusantera ini penduduk muslim masih 20 %. Tetapi justru ketika Indonesia memproklamirkan kemerdekaan, umat Islam meningkat menjadi 95 %. Ironisnya, justru ketika kita sudah merdeka, umat Islam menerima tekanan-tekanan dari kultur budaya, ekonomi dan juga politik sehingga jumlah populasinya mengalami degradasi. Dari sinilah pesantren harus intropeksi diri sendiri agar misi pendidikan, sosial dan da’wahnya tetap eksis.

Problem Kurikulum
Kurikulum pesantren salaf yang cenderung berkiblat ke model pendidikan ribath di Hadramaut ini bisa kita maklumi karena para da’i pertama di Jawa memang berasal dari sana (Wali songo juga orang-orang keturunan Hadlorim).

Kurikulum itu yang mencolok adalah penekanannya dalam bidang alat, tashowwuf dan fiqih yang sudah jadi (Maksud penulis: Kitab fiqih yang tanpa disertai adillah istinbathnya. Contoh Sullam Taufiq, Fathul Qorib, Fathul Mu’in). Kemudian, Pesantren yang seperti itu kurikulumnya dikenal denga predikat pesantren salaf.

Kemudian predikat pesantren salaf didikotomikan dengan pesantren modern. Walaupun pada awalnya dikotomi ini juga rancu. Sebab ada pesantren yang mengklaim dirinya modern dengan stressing kurikulumnya yang berbeda dengan pesantren salaf. Yaitu stressing pada bahasa Arab/Inggris dan tidak mau fiqih jadi (maksudnya: Para murid, walaupun murid pemula, diberi pelajaran fiqih dengan sekali gus cara istinbath adillahnya, bahkan muqoronah madzahibnya. Sehingga berdampak murid menjadi tidak fanatik pada madzhab Syafi’i saja). Tetapi (dulu) pesantren modern ini (contoh: Gontor) tidak mau memasukkan pendidikan formal (sekolah berafiliasi DIKNAS/DEPAG) .

Sementara itu ada pesantren yang masih mangaku salafiyah tapi malah sudah mendahului mengadopsi sekolah formal mulai tingkat dasar sampai perguruan tinggi, baik yang berafiliasi ke DIKNAS maupun DEPAG (contoh: Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Asembagus, asuhan K. As’ad Syamsul Arifin).

Untuk saat ini pesantren modern itu (baca Gontor) bisa dilihat hasilnya dengan menempatkan banyak kader alumninya di panggung karier dan politik tingkat nasional (Ketua NU, Muhammadiyah, Ketua MPR dan MENAG). Hal ini mungkin ditunjang dengan kemampuan komunikasinya yang berbahasa Arab dan Inggris tersebut. Walaupun dari sisi ketangguhan dalam bidang fiqih belum memadai dibanding alumni pesantren salaf. Ini bisa dilihat dari forum bahsul masail yang nampak didominasi alumni pesantren salaf yang biasanya lebih fokal.

(Memang realita: Forum Bahtsul masail jarang diikuti alumni pondok modern) Bila mendikotomikan kurikulum salaf (bila difahami sebagai kurikulum agama) dengan kurikulum umum juga masih ada sisa pertanyaan disana. Sebab sebenarnya pelajaran agama itu hanyalah quran, hadits, aqidah, syariah dan pendukungnya. Sementara nahwu, shorof, balaghoh (sastra Arab), manthiq, ‘arudl, falak dll bukanlah ilmu agama.

Sebab mata-mata pelajaran seperti itu juga diajarkan di sekolah-sekolah umum di Timur Tengah. Tetapi karena disini (di Nusantara) ditulis Arab dan dengan bahasa Arab maka dianggap pelajaran agama.Dengan bekal pengetahuan umum yang ditulis arab itulah barang kali para alumni pesantren salaf tempo doeloe sangat bisa berkiprah di lingkungannya. Tetapi setelah Indonesia ini merdeka dan bahasa Indonesia yang ditulis dengan huruf latin menjadi bahasa resmi negara, ditambah bahasa asing selain bahasa Arab, terutama bahasa Inggris, sangat berpengaruh di lingkungan ilmiyah di negara ini, maka mau tidak mau kita rasakan bahwa itu sangat berdampak bagi menyempitnya ruang gerak berkiprahnya alumni pesantren salaf di masyarakat. Apalagi setelah munculnya peraturan pemerintah dan undang-undang, khususnya
Undang-undang Dosen dan Guru, sangat memukul bagi kiprah pengabdian alumni pesantren salaf di bidang pendidikan formal. (Sebab banyak MI/Mts yg didirikan alumni pesantren salaf tetapi alumni itu sendiri nyaris tidak berhak mengajar di madrasahnya, karena tidak memiliki sertifikasi dan kwalifikasi guru sebagai mana UU guru dan Dosen. Apes khan!).

Barang kali berangkat dari sinilah Departemen Agama harus menyiasati dengan mengeluarkan PP No 55 Tahun 2007 untuk menolong kiprah para alumni pesantren salaf agar ruang gerak pengabdiannya di masyarakat lebih leluasa. Intinya, diupayakan agar bagaimana alumni pesantren salaf itu memperoleh penyetaraan dengan sekolah formal dalam dampak civil society. Dan untuk itu memang diperlukan standar kurikulum nasional di pesantren salaf ditambah beberapa mata pelajaran yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat di negeri ini.

Problematika Kualitas dan Kwantitas Pesantren Salaf
Hal yang sangat memprihatinkan di kalangan pesantren salaf adalah degradasi kwalitas pendidikannya. Sebab kwalitas ilmu kiyai dan para ustadznya juga banyak yang menurun. Belum sisi lain yang lebih kita kenal sebagai “berkah” juga sangat berkurang karena kadar kwalitas keikhlasan kiyai dan para ustadznya juga merosot. Apalagi bila pesantren salaf itu berganti kelamin menjadi pesantren formal. Secara umum jelas sekali degradasi kwalitas kemampuan kitab kuningnya, bahkan juga sampai ke budaya para santri yang masih menetap di pesantren itu juga ikut berubah. (contoh: yang semula pakai peci dan sarung sekarang sudah tidak lagi. Tata kerama dengan pengasuh juga berubah. Lihat pondok-pondok di Jombang secara umum).

Inilah tantangan berat bagi pengasuh pesantren salaf khususnya yang sudah mengalami regenerasi (ganti pengasuh). Turunnya kwalitas kiyai dan para ustadz akhirnya juga berdampak merosotnya kwantitas santri. Sering kali ada kebijakan jalan pintas untuk mempertahankan eksistensi pesantren tersebut dengan berganti kelamin tadi (dari pesantren salaf berobah menjadi pesantren formal).Tetapi sekarang secara umum sangat dirasakan kemerosotan kwantitas (jumlah santri) pesantren salaf dan juga pesantren formal di mana-mana.

Ada yang mencoba melaksanakan penelitian dalam kasus ini. Dan akhirnya menyimpulkan beberapa penyebab, di antaranya sebagai berikut:

1. Banyaknya alumni pesantren yang mendirikan pesantren sendiri-sendiri. (Dulu banyak santri luar Jawa yang mondok ke Jawa, tetapi sekarang cukup mondok di daerah masing-masing, karena Alumni luar Jawa sudah mendirikan pondok sendiri-sendiri).

2. Tekanan ekonomi bagi kalangan masyarakat menengah ke bawah. Sementara animo pesantren yang banyak dari kalangan tersebut.

3. Lembaga pesantren dulu dinilai sebagai lembaga pendidikan termurah. Tetapi setelah adanya dana BOS bagi lembaga pendidikan formal maka pesantren terkesan lebih mahal.

4. Bagi pesantren yang sudah mengalami regenerasi, umumnya kwalitas pengasuhnya (penerusnya) mengalami kemunduran, baik dari sisi keilmuan maupun keikhlasan.

5. Banyak alumni pesantren masa kini yang kurang kuat terhadap godaan duniawi, sehingga kurang bisa mencerminkan akhlaqul karimah yang merupakan target utama produk pesantren.

6. (Ini yang paling meresahkan). Keterlibatan para kiyai dalam panggung politik praktis yang sering kali mengambil kebijaksanaan politik berbeda dari hasil ijtihad siyasiy diantara mereka. Sehingga ada kesan tidak kompak antara para kiyai. Akibatnya, sebahagian umat ada yang su-ud dhan dan tidak simpati lagi kepada sebagian kiyai.

7. Dan memang barang kali sudah menjadi suratan Ilahi sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulnya SAW bahwa agama ini grorib dan akan kembali ghorib.

Tetapi apapun realitanya, kita wajib mempertahankan asset bangsa yang berupa pondok pesantren ini. Sebab, banyak orang yang masih bertumpu kepada pondok pesantren sebagai benteng moral dan agama di bumi Pertiwi ini. Wallahu a’lam bis showab.

KH. Achmad Sadid Jauhari, Jember

Similar Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *