Banyumas PesantrenTanah Kelahiran
Bagja hampir 30 tahun tinggal di Negeri Kanguru. Di sana pria kelahiran Jawa itu bekerja di sektor transportasi. Ia diterima baik oleh lingkungannya. Rumahnya bagus. Dua mobil berkelas ada di garasi rumahnya.

Tabungannya cukup. Polis asuransi kesehatan kelas premium di tangannya. Tidak ada kekurangan untuk menjalani hari tuanya.

Ia menerawang saat tetamu dari Jawa menyenandungkan salawat. Ia masih lancar menggumamkan selingan-selingan syair untuk bait-bait diba’i dari kitab karya Syekh Ja’far al-Barzanji itu. Tuturannya rinci dan jelas menyangkut peristiwa, pelaku, tempat dan suasana saat itu.

Hampir setiap tahun ia berkunjung ke desa asal. Ia juga rutin mengikuti acara-acara televisi Indonesia. Aneka berita tentang tanah air jarang dilewatkannya. Tanah kelahiran bukan sekadar tempat lahir. Banyak yang dicerna hingga tua dan semakin bermakna. Nabi Muhammad SAW pun merindukan tanah kelahiran.

Betul, beliau lahir di Mekah bukan Madinah, tetapi masyarakat utama binaan beliau lahir di Kota Bercahaya (Madinah al-Munawwarah) itu. Saat hijrah, begitu tiba di Medinah beliau ditanya para sahabat tentang kabar Mekah.

Beliau paparkan kebaikan-kebaikannya (Tafsir Ruh al-Bayan, Juz 3: 385). Padahal kita tahu, kepedihanlah yang mengiringi hijrah beliau. Beliau mengajarkan, dendam tidaklah berguna.

Bagja meninggalkan Jawa dengan kenangan menyesakkan. Kemiskinan mendorongnya merantau jauh. Dengan tinggal di negeri maju hidupnya lebih tertata, tetapi kerinduannya kepada kampung halaman semakin menggelora. Yang ia rindukan adalah saat menjalani hari tua bersama karib kerabat yang rukun, saling mendoakan dan mengaji setiap hari.

Negeri maju menjadi tujuan orang untuk mengadu nasib. Ratusan tahun lalu kecenderungan itu dikalimatkan Ibnu Qutaibah “Merantau berkecukupan serasa tinggal di tanah air sendiri dan tinggal di negeri sendiri dalam kefakiran serasa menjadi warga asing” (dalam Abu Bakar Ahmad, Juz 5: 268).

Bagja berubah. Saat muda ia sama dengan yang lain, mengejar sukses di negeri maju. Menjelang tua ia bertekad pulang, syukur jika bisa berbagi. Ia prihatin mendengar berita tentang sapi gelonggongan, para pengemis lanjut usia, kerusakan lingkungan hidup dan pengangguran.

Ia ingin bekerja lebih cerdas di hari tua dan menambah lapangan kerja. Untuk itu disiapkannya rumah di tanah kelahiran yang berlokasi strategis. Ia sadar tantangan di usia paruh baya. Ia harus memulai usaha dari awal. Relasi bisnis dirintisnya sejak sebelum kepulangan. Pulang tidak hanya pindah lokasi, melainkan membangun ruang hidup baru. Tidak terasa persiapan-persiapan itu membuatnya kembali bersemangat muda.

Tanah kelahiran dicintai bukan karena melimpah kemakmurannya. Ia dicintai karena mengobati kerinduan dan membuat hidup orang lebih berarti sebagai warga negara. Bagja ingin lebih bermakna bagi tanah kelahirannya. Kisah sukses di negeri jauh akan tinggal kenangan. Kembali ke tanah kelahiran adalah kenyataan yang diperjuangkan.

HM Dian Nafi’ Pengasuh Pondok Pesantrean Mahasiswa Al-Muayyad Windan, Makamhaji, Kartasura, Sukoharjo

Sumber: www.solopos.com

Similar Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *