Banyumas Pesantren –Bahasa Abjektif
”Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan,” (QS Thaha: 114).
Mas Ahmadi berusia 12 tahun saat hafiz Alquran. Prestasi itu patut disyukuri. Uniknya, para sejawat tidak melihatnya mengaji sebagaimana umumnya santri. Ia lebih sering terlihat tiduran di sebelah Kiai Umar saat ayah asuhnya ini mengajar para santri membaca dan menghafal Alquran.
Di sela waktu bermainnya, Mas Ahmadi kembali ke sebelah ayah asuhnya itu. Sambil mengelus anak yatim itu, sang kiai melantunkan ayat demi ayat.
Anak itu menirukan sambil tetap santai. Begitu pula cucu Syekh ’Abdul ’Adhim Sya’ban yang tinggal di kawasan Darasat Azhar dekat Masyikhah Al-Azhar Kairo Mesir. Mahasiswa Al-Azhar asal Asia Tenggara yang menyelesaikan tahfiz Alquran tidak asing dengan syekh yang satu ini dan cucu-cucu beliau.
Sang cucu bermain di dekat kakeknya hampir setiap kali sang kakek mengajar Alquran. Saat cucu itu terpanggil untuk mengaji maka para mahasiswa pun terkesima. Anak itu lancar dan fasih melantunkan ayat-ayat kitab suci. Tidak jarang ayat-ayat mengalun dari mulut mungil sang cucu saat ia asyik bermain.
Demikian tutur Zaenab, mantan mahasiswi Sosiologi FISIP UNS yang kemudian kuliah di Al-Azhar dan belajar kepada Syekh ’Abdul ’Adhim.
Cucu syekh itu sama dengan Mas Ahmadi, dan sama pula dengan kita; lebih mudah belajar saat tekanan psikologis minimal. Situasi belajar yang dibutuhkan kedua hafiz Alquran cilik itu adalah contohnya, bermain sekaligus mengaji.
Pendidik yang menghayati bekerjanya gabungan beragam modalitas kecerdasan dan yang naluri kemanusiaannya lebih kuat daripada gengsi profesionalnya bisa berperan sebaik Kiai Umar dan Syekh ’Abdul ’Adhim itu.
Dalam hubungan seakrab itu, tidak dibutuhkan bahasa yang canggih dalam pembelajaran. Bahasa yang dipergunakan adalah bahasa abjektif. Itu ragam bahasa sederhana baik tuturan, isyarat, maupun simbolnya; sehingga mudah dipahami. Komunikasi berlangsung seolah-olah sambil lalu. Komunikator tidak menuntut komunikan untuk mencurahkan perhatian khusus. Ia juga tidak mengandalkan wibawa dan formalitas.
Kekuatannya tidak bergantung kepada kerapian gramatikal, melainkan niat baik dan naluri manusiawi dalam penggunaannya. Dengan itu, memori yang bekerja tidak langsung di sisi intelektual, melainkan terlebih dahulu di sisi intuisi. Rekaman masuk menyentuh alam bawah sadar.
Sebagaimana ibu yang menyusui bayi sambil menimangnya. Saat itulah si ibu mengajar buah hatinya melalui bahasa sederhana. Buah hati itu nyaman dan aman dalam gendongan. Ia merekam dengan polos. Sebagian besar direkamnya.
Fakta berbicara, di balik sosok sukses selalu terdapat seorang ibu yang berjiwa besar. Ibu semacam ini cermat memudahkan buah hatinya belajar. Konsep rumit dan filosofis ditularkan dalam nalar kanak-kanak, karena yang didampingi memang kanak-kanak.
Di balik kesederhanaan bahasa abjektif, kata pakar bahasa Alwi Rahman, terdapat daya tembus kuat sekaligus halus. Penerapannya dalam pembelajaran butuh kerutinan, keteraturan, kesinambungan, kepedulian, kasih sayang dan pembelajaran yang mengaktifkan beragam indera.